Tanah Warisan Leluhur, Melihat Bak Tanpa Sekat

“Dalam cerita kaum marginal, seolah biasa, bahkan seolah abadi dengan kata ‘miris’ dan ‘serba kekurangan’.”

Kumpulan cerpen ini berasal dari berbagai cerpen Kak Fanny selama ini, semisal dari postingannya di media sosial. Dan atas saran seorang sahabat, kumpulan cerpen itu Kak Fanny bukukan. Ada 41 cerpen di dalamnya. 

Seluruh cerita bertemakan kemanusiaan. Kak Fanny, demikian saya memanggil sang penulis, menyebutkan dalam Larik Kata (pada laman awal buku) bahwa buku kumpulan cerpen ini berisi kisah kehidupan kaum marginal. 

Buku ini saya beli dari Kak Fanny saat ia menghadiri perayaan hari sastra NTT pada 16 Juni 2022 lalu di Taman Budaya Gerson Poyk. Ada dua buku yang beliau bawa waktu itu yaitu buku Tanah Warisan Leluhur dan buku Gerson Poyk, NTT, Bali, dan Aku. Buku terakhir ini merupakan sebuah novel biografi Kak Fanny dan ayahnya Gerson Poyk.

Lugas

Hal pertama yang saya dapatkan saat awal membaca buku Tanah Warisan Leluhur ialah kesan lugas. Kisah kemanusiaan disajikan tanpa tedeng aling-aling, apa adanya, jadi mudah dipahami oleh pembaca.

Kesan berikut yang saya dapat ialah sepertinya Kak Fanny menceritakan ulang kisah nyata kaum marginal. Kisah itu mungkin ia amati atau dengar langsung dari sang tokoh yang mengalaminya. Ini terlihat dari detil perasaan dan pemikiran tokoh yang ia tampilkan.

Ketika membaca beberapa cerita, pembaca seolah sedang menonton sebuah monolog tokoh marginal, diselingi penyampaian narator, juga pertanyaan-pertanyaan dari audiens. Pertanyaan-pertanyaan itu lantas mengungkap lebih dalam kehidupan tokoh marginal. Pedalaman adalah istilah dalam novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang tampaknya sepadan dengan pertimbangan psikologis atau pemikiran dan pemaknaan tokoh cerita terhadap sesuatu.

Terkait “menyampaikan ulang kisah nyata kaum marginal” ini, Kak Fanny di Larik Kata menulis bahwa dia tidak sedang mengeksploitasi kehidupan kaum marginal. Namun, ini upaya dia untuk memberi informasi (secara lugas) kepada publik, terutama yang kehidupannya lebih baik, agar sekiranya dapat berempati kepada kaum marginal, lalu sekiranya melakukan sesuatu tindakan positif yang membantu kaum marginal keluar dari kehidupan sulit itu.

Miris

Dalam cerita kaum marginal, seolah biasa, bahkan seolah abadi dengan kata ‘miris’ dan ‘serba kekurangan’. Tidak hanya kekurangan soal ekonomi, tetapi juga soal kekuatan politik, keadilan, pendidikan, bahkan hak untuk menikmati kebahagiaan. Apalagi soal ‘menggenggam’ sebuah idealisme, itu sudah terlalu tinggi untuk dicapai kaum marginal.

Namun demikian, dalam cerpen pertama berjudul “Percakapan di Antara Kita” misalnya, ada sedikit idealisme tokoh marginal terkait nasib tubuh fisiknya setelah meninggal. Sang tokoh ingin jasadnya dilarungkan ke laut untuk menyumbang rantai makanan di laut. 

Cerpen dengan sudut pandang orang kedua ini menyoroti keluhan tokoh marginal. Keluhan itu mendapat sanggahan dari tokoh lain bahwa ada kisah orang lain di belahan bumi lain yang lebih menyeramkan lagi.

Saya kira, Kak Fanny sengaja menempatkan cerpen “Percakapan di Antara Kita” di awal sebagai pembuka untuk menggambarkan seluruh cerpen lainnya. Bahwa kehidupan kaum marginal itu seolah berpusat pada kekurangan dan penderitaan tak berujung. Dan tawa mereka hanyalah oase kecil di antara gurun penderitaan yang luas seolah tak bertepi.

Berdasarkan Kisah Nyata

Berdasarkan pembacaan cerpen, lalu saya membandingkan dengan cerita Kak Fanny terkait sang ayah, tampaknya memang ada sedikit kesesuaian. Jadi saya merasa bahwa Kak Fanny men-cerpen-kan beberapa kisah nyata yang dialaminya bersama sang ayah. Paling tidak, ada dua cerpen seperti itu.

Satu, cerpen berjudul “Sepeda Tua Ayah”. Cerpen ini berkisah tentang kehidupan sang ayah mulai dari saat melamar kekasih hati, hingga masa setelah pensiun sebagai guru. Bahkan dalam satu kalimat di cerpen itu Kak Fanny menulis: “Dan alur cerita yang bukan fiksi meluncur lancar tanpa hambatan dari bibirnya (sang ayah).”

Dua, cerpen berjudul “Operasi Katarak”. Di cerpen ini Kak Fanny mengisahkan upaya sang ayah memulihkan mata yang terserang katarak. Dengan bumbu fiksi, Kak Fanny menyinggung soal minimnya apresiasi terhadap penulis sehingga nasib penulis sulit sejahtera. 

Kenyataan ini tampak dalam kalimat: “Bapak kan memang penulis miskin, tidak punya pensiun dan tidak punya asuransi kesehatan.” Lalu: “Kini, di saat ia tua, …, ia seakan terlupakan.”

Cerpen terakhir di buku ini berjudul sesuai judul buku: Tanah Warisan Leluhur. Tampaknya cerpen ini diangkat dari kisah nyata di kabupaten Lembata. Cerpen ini merupakan kritik terhadap konflik agraria masa lalu yang cenderung mengabaikan hak warga suku pribumi sebagai ahli waris tanah ulayat. 

Melalui buku kumpulan cerpen kemanusiaan ini, kita semacam melihat tanpa sekat kehidupan kelompok marginal. Sayangnya, nasib sejumlah orang berprofesi penulis yang turut membangun budaya (sastra) di negeri ini pun tergolong ke dalam kelompok itu.

  • Judul Buku: Tanah Warisan Leluhur
  • Penulis: Fanny J. Poyk. 
  • Tahun Terbit: Oktober 2021 di Jakarta. 

Krismanto Atamou, Guru di Kabupaten Kupang NTT.

[red/sl]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *