Mari Bercinta Bersama Asmita

“Novel ini pun menjadi menarik karena kisah percintaan di dalamnya mengaitkan kisah Roro Mendut karya YB. Mangunwijaya.”

Jika dirimu diberi kesempatan untuk merasakan kembali momen-momen kala jatuh cinta, maukah dirimu mengulanginya? Jika jawabanmu adalah “ya”, menurut saya novel ini menjadi media yang tepat untuk mewujudkan itu. Atau mungkin, saat ini dirimu justru sedang merasakan jatuh cinta? Jika jawabanmu juga “ya”, mari nikmati cinta bersama Asmita, tokoh utama dalam buku ini.

Novel ini menceritakan kisah Asmita, seorang mahasiswi program Doktoral yang juga menjadi anggota riset pendidikan yang dipimpin oleh Profesor Arityo. Kebersamaan mereka selama bertahun-tahun membuat Asmita jatuh cinta pada sang profesor, tanpa ia tahu bagaimana perasaan sebenarnya dari sang profesor. 

Di lain sisi, ada dua pemuda yang mencintai Asmita; Mahesa, dan Barata. Perang batin Asmita antara mempertahankan cintanya pada sang profesor atau membuka hatinya untuk cinta yang lain, menjadi salah satu konflik yang tersaji dalam novel ini.

Bagi saya, novel ini adalah sebuah “album” cinta. Ia bisa membuatmu melayang-layang, tersipu malu dan tanpa sadar memerahkan pipimu; seperti itu reaksi yang saya alami kala membacanya. Hah, sialan sekali memang. Kisah cinta Asmita seakan memaksa saya untuk membongkar kembali memori dengan para mantan pacar dan mantan gebetan. 

Saya seperti merasakan lagi bagaimana ‘nggak enak’-nya hati ini ketika hanya bisa menebak-nebak perasaan sang pujaan hati. Saya seperti ikut deg-deg-an kala Asmita saling berbalas ‘pesan pengantar tidur yang tidak biasa’ dengan Arityo. Saya juga seperti ikut merasakan desiran-desiran ketika menemukan “lakon” kulit bersentuhan yang tak sengaja. 

Hati saya bahkan seperti “melorot” ketika Barata menggoda Asmita dengan merespon, “Ya, Sayang?”; fragmen favorit saya di novel ini, yang sukses bikin saya ketar-ketir! Ah, bajingan yang sempurna!

Tapi, novel ini tidak sekadar menghadirkan romansa. Ada pesan yang dititipkan disini, terutama terkait dunia pendidikan di daerah pesisir; tentang bagaimana penduduk di wilayah pesisir sepertinya tidak memiliki kepercayaan pada sesuatu yang bersifat konseptual, atau anggapan bahwa keterampilan dalam menyelesaikan persoalan hidup mendasar jauh lebih penting daripada datang ke sekolah dan belajar berbagai teori (halaman 98). 

Bisa disimpulkan bahwa pada tataran tertentu, budaya dan cara pandang terhadap pendidikan menjadi persoalan penentu tidak meratanya pendidikan (halaman 11). 

Pesan pendidikan ini bisa jadi relate dengan latar belakang sang penulis, Mbak Katarina Retno Triwidayati, yang saya kenal selain sebagai penulis cerpen maupun esai di berbagai media, juga seorang dosen.

Selain persoalan pendidikan, novel ini juga menyoroti pemikiran bahwa pernikahan tidak selalu menjadi solusi terbaik bagi korban pemerkosaan. Derita yang harus ditanggung korban sangatlah berat, dan mampu merusak hidupnya sampai mati. 

Yang juga hampir terlupakan adalah bahwa kekerasan dan pelecehan seksual bisa juga dialami oleh kaum laki-laki. Dan ketika laki-laki menjadi korban, dampaknya pun tak kalah mengerikan karena mereka akan terjebak pada pemikiran bahwa ‘laki-laki kok lemah?’ (halaman 204). Pemikiran-pemikiran seperti ini yang menggambarkan Asmita sebagai sesosok perempuan yang cerdas, dan berani berpendapat. 

Sekelumit kisah Asmita sendiri sebenarnya pernah ditayangkan dalam bentuk cerpen di laman Ghibahin.id, dengan judul Vel Inchoata, bagian 1 dan 2. 

“Vel Inchoata” sendiri merupakan kata dalam bahasa Latin yang berarti unfinished; sesuatu yang tak selesai. Saya menangkapnya sebagai sebentuk perasaan yang belum selesai antara Asmita dan Arityo, sesuatu yang akhirnya “diselesaikan” di edisi novelnya. 

Novel ini pun menjadi menarik karena kisah percintaan di dalamnya mengaitkan kisah Roro Mendut karya YB. Mangunwijaya. Cerita legenda ini tak hanya mencuat dalam beberapa dialog perdebatan, namun juga dileburkan menjadi klimaks cerita. Saya sangat menyukai cara Katarina Retno mengemas akhir ceritanya (walaupun sebenarnya saya tidak mengharapkan Asmita memilih tokoh tersebut sebagai pendamping hidupnya, lho. Hahaha).

Selain hal tersebut, ada beberapa hal juga di novel ini yang agak mengganggu pikiran saya. Pertama, hubungan antara Barata, Arityo, dan keluarga Mahesa yang menurut saya terlalu “kebetulan”. Mengapa diantara mereka harus ada keterkaitan satu sama lain? 

Dan ke-kompleks-an hubungan para pengagum Asmita yang dipaparkan dalam satu adegan itu membuat benak saya seketika “penuh” karena “dipaksa” mencerna konflik yang padat di antara mereka. 

Sementara, di bab-bab awal saya merasa cerita ini mengalun perlahan. Sehingga ketika sampai di bab ini, saya tak bisa menahan kening untuk tidak berkerut, dan mengulang kembali beberapa paragraf kalimat untuk disimpan di memori saya. Saya merasa banyak hal yang tiba-tiba dipadatkan menjadi satu.

Kedua, penyelesaian konflik dalam satu adegan ini juga saya temui ketika Asmita menentukan pilihannya. Seperti yang telah saya utarakan sebelumnya, saya suka sekali cara Katarina Retno menutup cerita, namun kembali lagi, bagi saya penyelesaian yang dilakukan dalam satu adegan menjadi terlalu “kebetulan”.

Tapi, secara keseluruhan saya menyukai novel ini. Hal-hal itu tidak terlalu mengganggu kenikmatan saya kala membacanya, karena justru sensasi jatuh cinta lah yang akhirnya membekas di benak saya. Mulai dari sulitnya melupakan cinta walaupun sang pujaan hati tidak merespon, sampai membayangkan betapa asyiknya “curi-curi” ciuman. Adududu …

  • Judul buku: Asmita
  • Pengarang: Katarina Retno Triwidayati
  • Penerbit: Galuh Patria
  • Halaman: 230
  • Tahun Terbit: 2022

Dessy Liestiyani, wiraswasta tinggal di Bukittinggi.

[red/nuha]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *