5 Penderitaan Anggota Arisan yang Perlu Kamu Ketahui

“Kadang-kadang ikut arisan malah bikin hidup saya dipenuhi rasa gelisah, galau, dan ujungnya merana, alias GEGANA.”

Rasa-rasanya arisan selalu melekat dalam kehidupan saya. Dulu waktu masih SD, saya sudah bikin arisan-arisanan. Waktu itu setoran peserta arisan berupa uang receh Rp 50,00. Kalau yang ikutan 10 orang, hasilnya dapat Rp 500,00. Nilai segitu pada tahun 80-an sudah lumayan, bisa untuk beli macam-macam. 

Entah sejak kapan mulai ada tradisi arisan di Indonesia. Yang jelas, arisan adalah hal yang lumrah di lingkungan saya. Sejak kecil saya sudah diajak ibu untuk ikut ke acara arisan. Di acara itu suasananya selalu riuh dan seru. Seingat saya , teman-teman ibu bicara ngalor ngidul tentang banyak hal sambil tertawa-tawa. Saya juga ingat dengan banyaknya kue yang dihidangkan. 

Kalau tiba saat undian, yang disuruh ambil kertas yang digulung kecil-kecil biasanya anak-anak yang pada ikut. Katanya kalau anak kecil yang ambil, bisa dapat arisan, sebab anak kecil belum banyak dosanya. Ah, itu cuma kata orang-orang zaman dulu, lho. SoHib nggak perlu menguji kebenarannya. Toh, bukan hal yang penting. 

Lalu ketika saya sudah bekerja, komunitas di tempat kerja ada yang mengajak untuk ikut arisan. Berhubung saya masih orang baru, segan rasanya kalau menolak. Jadilah saya ikut menjadi anggota arisan dengan motivasi ingin membaur dalam komunitas. Kan nggak enak kalau sampai disebut sombong, angkuh, nggak mau berbaur, dan sebagainya hanya karena nggak mau diajak ikut arisan. Ya, waktu itu saya ikut arisan karena terpaksa.

Tak hanya di tempat kerja, di kampung juga saya mengikuti beberapa arisan. Ada yang dari kumpulan pengajian, dasa wisma, dan kumpulan beberapa tetangga yang bisa dibilang se-geng . Lagi-lagi, saya terpaksa ikutan karena alasan yang sama. Nggak enak kalau menolak, apalagi kalau tetangga sendiri dan ada kegiatan rutin. 

Daftar kegiatan arisan saya masih belum selesai sampai di lingkup tetangga. Masih ada arisan keluarga, baik dari keluarga suami, maupun keluarga saya sendiri. Jika ditotal, uang untuk membayar semua arisan bisa menghabiskan 50% dari anggaran operasional rumah tangga. Fantastis, bukan? 

Namun, lain arisan zaman ibu saya dulu, lain pula arisan di saat saya sudah menjadi ibu-ibu. Ikut arisan saat ini nggak semenyenangkan yang saya rasakan di masa kecil. Kadang-kadang ikut arisan malah bikin hidup saya dipenuhi rasa gelisah, galau, dan ujungnya merana, alias GEGANA. Menurut analisis yang saya lakukan, hal tersebut dikarenakan beberapa hal berikut ini. 

#1 Nomor urut tak sesuai harapan

Saya pernah ikut arisan yang undiannya sudah dilakukan pada awal pertemuan. Jadi, peserta akan mendapat giliran menerima uang arisan sesuai nomor urut yang didapatkan. Semua anggota arisan sudah tahu dapat nomor urutan berapa sejak mereka menyetorkan iuran. Masalahnya, kadang nomor undian arisan ini jumlahnya sampai ratusan. Sebenarnya bukan jumlah orangnya yang banyak, tetapi kadang satu orang ikut 10, 5, bahkan ada yang 20. 

Saat itu saya bersemangat ikut karena iming-iming bisa dapat sekitar 5 jutaan, dengan bayar Rp 100.000,00 per minggu. Karena saya ikut 2, artinya tiap minggu bayar Rp 200.000,00. Satu bulan saya mengeluarkan Rp 800.000,00. Ketika mendapat nomor urut di atas 100, ingin rasanya menangis lalu mengambil benang wol untuk merajut.

#2 Arisan barang yang tidak perlu

Kadang-kadang ada teman yang menjual barang dan memasarkannya dengan sistem arisan. Dijual dengan cara seperti itu, jelas karena barangnya mahal. Kalau untuk arisan ibu-ibu, biasanya peralatan dapur. Pernah saya ditawari. Katanya pancinya para sultan yang harganya Rp 1.500.000,00. 

Untuk ukuran saya sebagai IRT, membeli panci dengan harga segitu bukanlah cita-cita saya. Bahkan memikirkannya pun tidak pernah. Buat apa panci sultan kalau lauknya pepesan pindang dan gorengan tempe tahu. Pakai wajan 40 ribuan juga bisa. Sama-sama matang. Tetapi apa daya nasi sudah menjadi bubur. 

Saya sulit menolak, mungkin daya pengaruh penjual panci sultan itu begitu kuat, atau saya yang terlalu ringkih tidak berdaya. Jadilah saya harus membayar sekitar Rp 200.000,00 per bulan untuk barang yang belum saya dapat dan tidak saya inginkan! Huhuhu.

#3 Ditagih pas nggak punya uang

Nah ini, yang mengenaskan. Uang yang ada di dompet sudah ada jatah untuk urusan dapur ngebul, lalu datanglah seseorang yang menagih arisan. Saya tidak berdaya untuk tidak membayar, meskipun uang di dompet langsung kosong melompong. Apalagi belum dapat arisan. Kesedihannya dobel-dobel. Mau berhenti ikut, sudah separuh jalan. Lagi-lagi ngenes, keluar uang untuk sesuatu yang belum bisa kita ambil saat kita butuh. 

#4 Jantung berdebar-debar saat undian arisan 

Nah ini yang paling membuat saya menderita. Saat kita butuh uang, arisan menjadi tumpuan harapan. Arisan bagaikan pegadaian. “Menyelesaikan masalah tanpa masalah”. 

Tetapi akan menjadi masalah manakala kita sudah mengharapkan dapat, tetapi harapan itu berlalu bersama angin yang berembus. Datang dengan semangat membayangkan dapat arisan, dan di saat undian berlangsung, jantung rasanya berdebar-debar juga keluar keringat dingin. 

Mata yang tidak lepas dari kertas kecil yang digulung-gulung itu, berharap dengan sangat tertera nama saya, akhirnya pupus. Yang muncul memang nama seseorang yang ikut 15. Pantas saja bisa dapat berkali-kali. Jelas-jelas itu mengalahkan saya yang cuma ikut 1 arisan. 

#5 Sudah dapat tetapi uangnya habis buat bayar arisan lagi

Sebenarnya ikut arisan itu ngeri-ngeri sedap. Senangnya jelas kalau dapat. Tetapi sebenarnya uangnya tetap saja habis diberikan lagi untuk setor arisan. Apalagi arisannya mingguan dan harian. Jadi, kayak uangnya muter-muter saja. Kita tetap saja ditagih arisan.

Dan jika putaran arisan satu sudah selesai, rasa-rasanya seperti momen proklamasi kemerdekaan. Terbebas dari penjajahan. Namun, sebagaimana biasa, selalu datang tawaran arisan yang sulit saya tolak. Terpaksa! [red/brsm-sk-sl]

Fataty Maulidiyah. Penulis merupakan Guru PAI di MAN 2 Mojokerto.

7 thoughts on “5 Penderitaan Anggota Arisan yang Perlu Kamu Ketahui

  1. Lepas dari arisan bahagianya kek gitu. Nggak bisa dibayanhkan nanti ketika saya lepas dari KPR. Huhuuuuhu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *