PARENTING : Yuk Kenali Instrumen Pendidikan Charlotte Mason

ghibahin

“Taburlah ide, tuailah aksi. Latihlah aksi, tuailah kebiasaan.”

“Ampun lho biaya sekolah sekarang! Sekolah A yang tadinya hanya tujuh ratus ribu per bulan, sekarang jadi tiga juta! Gak kira-kira kan naiknya!” Seru salah seorang ibu di sebelah saya. 

Fenomena anak mogok sekolah karena berteman laptop sepanjang hari membuat para orang tua merasa rugi membayar harga tinggi untuk biaya sekolah kala pandemi merebak dua tahun silam. 

Tak ayal lagi banyak siswa-siswi ditarik orang tuanya untuk dididik sendiri. Kini saat sekolah-sekolah mulai terbuka seperti sedia kala, bagaimana respon mereka? Tahun ajaran baru menanti di depan mata. Keputusan tiap keluarga tentu mencerminkan filosofi pendidikan yang dipegangnya.

Tak bisa dipungkiri, arah pendidikan kini disetir oleh prinsip ekonomi, hukum permintaan dan penawaran yang menuju utilitarian. Pendidikan diwarnai praktik “belajar demi lulus ujian”, “belajar demi profesi bergengsi”, “belajar agar menonjol dan diapresiasi”. Apakah salah? Tentu tidak, karena semua kembali pada keyakinan yang dipercayai tiap orang. 

Saya sendiri mempercayai bahwa fungsi pendidikan itu untuk mengasupi budi, mengasah hati, mengenali diri dan Sang Ilahi. Sedangkan keterampilan dan keahlian tidak perlu didapatkan lewat pendidikan melainkan kursus. Kalau ingin jago coding, ikutlah kursus coding. Kalau ingin terampil menciptakan robot, ikutlah kelas robotik. Bila hendak menguasai pajak, ikutlah kelas brevet

Apalagi sekarang dunia dalam genggaman. Hendak belajar apa saja, sudah tersedia di dunia maya, tak sulit mendapatkannya, bahkan dari berbagai sumber di seluruh dunia. Tengok saja pada aneka platform belajar digital coursera, edX. Udemy, Harvard online courses dan masih banyak lagi.

Lantas apa yang sebenarnya paling dibutuhkan oleh anak-anak zaman ini? Saya tidak akan menjawabnya, tapi silakan Anda pikirkan sendiri. Pendidikan yang mengasup budi tidak bisa menunjukkan hasil kilat secepat datangnya heli. 

Seringkali lambat, bahkan lebih lambat dari kecepatan bayi yang merangkak. Jadi jangan ditagih-tagih dulu mana buktinya, saya juga masih menanti. Ayah menanam, Bunda menyiram, tapi Allah-lah yang memberi pertumbuhan. 

Sekarang saya ingin bercerita tentang tiga instrumen pendidikan yang dipopulerkan oleh seorang guru dari Inggris bernama Charlotte Mason. Dialah yang menggugah jiwa saya untuk menghargai dan mengagumi kepribadian unik tiap manusia, termasuk anak-anak saya. Instrumen pendidikan ini dia buat berdasarkan beberapa prinsip penting dalam memandang seorang anak. Namun saya tidak akan membahas prinsip-prinsip itu sekarang. 

#1 Atmosfer

Instrumen pendidikan yang pertama adalah atmosfer. Anak-anak layaknya spons yang menyerap gagasan-gagasan yang melingkupinya. Atmosfer bersifat spiritual, sehingga atmosfer mampu merasuk ke relung jiwa anak. Seorang wanita yang menolak kehamilannya, sekalipun dia tak pernah mengucapkannya, akan mempengaruhi anak yang dilahirkannya. Gambar dirinya bisa rusak, merasa tertolak dan tidak berharga. 

Ayah dan Bunda yang suka bertengkar, sekalipun itu adalah perang dingin yang disembunyikan dari hadapan anak-anak, akan tetap berdampak. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang juga gemar memendam amarah tak mencari solusi. Orang tua julid yang gemar mencibir dan mencemburui prestasi anak tetangga, membuat anak terobsesi untuk mengalahkan siapapun atau bahkan malah tertekan tak berdaya. 

Itulah kekuatan atmosfer, sering tak kasat mata tapi dampaknya luar biasa. Ada juga atmosfer yang tampak jelas oleh indra anak kita, misalnya ayah yang suka mendengarkan musik jazz akan menularkan kecintaannya itu kepada anak-anaknya. Ibu yang rajin menata rumah agar tampak indah, secara tidak disadari sedang membangun gagasan tentang keindahan dan keteraturan dalam benak anaknya. 

Orang tua yang rajin belajar hingga usia senja, biasanya akan serta merta melahirkan anak-anak yang juga senang menimba ilmu. Jadi bila ingin mendidik, perhatikan betul atmosfer yang melingkupi anak kita. Jangan terlena!

#2 Ide atau gagasan mulia

Instrumen yang ke dua adalah ide atau gagasan mulia. Taburlah ide, tuailah aksi. Latihlah aksi, tuailah kebiasaan. Kebiasaan yang menetap, membentuk karakter. Ide-ide sangat banyak kita jumpai kapan saja dan di mana saja. Bisa dari berita di media massa, bisik-bisik tetangga, bahkan lirikan mata yang tak sengaja mengintip sastra. 

Namun masalahnya adalah ide apa yang kita inginkan untuk diserap dan dipercayai oleh anak-anak kita? Tentulah ide-ide mulia dari para pemikir agung di segala abad dan tempat yang tertuang dalam buku-buku pustaka hidup. 

Proses menjadikan ide milik anak yang mengakar dan menjadi karakter, tidak terjadi begitu saja. Anak perlu terlatih berpikir, mengunyah dan mencerna setiap gagasan yang dijumpainya, lalu merelasikan gagasan itu dengan pemikiran dan pengalaman yang telah dimilikinya. 

Jadi tak semua gagasan yang kita jumpai, akan kita percayai. Latar belakang dan jam terbang latihan olah pikir sangat besar peranannya untuk menentukan gagasan-gagasan mana yang hendak diadopsi menjadi prinsip pribadi, yang akan terwujud dalam tindakan dan pilihan-pilihan hidup kita.

#3 Disiplin

Instrumen yang terakhir adalah disiplin melakukan pelatihan kebiasaan-kebiasaan baik. Karakter apapun yang ingin anda miliki, tidak akan terbentuk dalam semalam, perlu durasi panjang untuk melatihnya dengan disiplin hingga kebiasaan itu mengakar tak tergoyahkan. Keterampilan atau keahlian apapun memerlukan fokus dan ketelitian untuk mempelajarinya. 

Latihlah atensi anak agar tekun dan cermat serta pantang menyerah. Profesi apapun, menuntut tanggung jawab dan ketaatan pada otoritas yang mengaturnya. Misalnya perawat harus tunduk pada kode etik yang mengaturnya agar kehormatan pasien tak diinjak-injak. Latihlah anak-anak kebiasaan untuk taat kepada otoritasnya. 

Kejujuran dituntut di semua bidang. Jadi latihlah anak-anak menjadi pribadi yang dapat dipercaya. Masih banyak lagi karakter-karakter utama yang sangat penting, yang akan mendukung kiprah manusia berkarya di dunia. Sayangnya, sekolah tak mengajarkannya. Jadi siapa lagi kalau bukan kita, orang tuanya? 

Eliani Angga Safitri. Ibu rumah tangga homeschooler dari dua anak.

[red/zhr]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *