Serunya Asuh Didik Generasi Alpha sebagai Pembelajar Mandiri

“Jujur saja bila kita sebagai orang dewasa tidak tahu. Katakanlah terus terang, bukan malah bersikap berpura-pura tahu.”

“Mami, i think you have anger issue! Marah-marah mulu kerjanya.” Ucapan spontan bungsu saya suatu malam sebelum tidur cukup mengejutkan. Setelah beberapa kali dalam sehari itu, jujur saya mengomel untuk mengingatkannya akan berbagai hal.

Surya (nama tengah bungsu saya) menjadi full homeschooler bersamaan dengan perpindahan keluarga kami ke Bali. Saya menyadari bahwa saya sedikit ‘tegang’ dalam menyikapi sikapnya yang seperti nggak belajar dan berproses apa-apa. Ia terlihat lebih seru berteman dengan ponsel saja.

Apalagi lewat seminggu awal perpindahan kami, saya harus isoman full 14 hari karena positif Covid. Ritme untuk membersamainya dalam merespon peristiwa dan belajar menjadi tertunda. 

Selepas isoman itu, saya jadi ngebut mendaftar program online learning. Saya juga sering mengirim lembar kerja yang bisa diisinya. Tak lupa, saya mengajarkan beberapa life skills pada Surya. Saya mengajarinya membuat makanan yang mengusik keingintahuannya, seperti bakwan jagung crispy. Saya juga mencontohkan bagaimana mengepel ruangan dalam rumah. 

Sejujurnya tak ada tuntutan akademis dari pihak sekolah karena Surya tak berinduk di sekolah umum yang punya target kompetensi dasar. Proses belajarnya adalah dengan memaknai peristiwa dan riset-riset sederhana. 

Pemahaman saya dan suami akan konsep belajar dan pendidikan tak seperti sekolah mungkin sudah melampaui orang lain. Namun saya akui ada kecemasan tak kentara yang termanifestasi dalam omelan dan suara yang terdengar dengan nada lebih tinggi. 

Seorang teman mengingatkan saya dengan analisisnya. “Surya tuh anak yang pemikiran dan pendapatnya melebihi usianya. Jadi mungkin yang tepat adalah diajak ngobrol mau melakukan apa. Apalagi keingintahuannya tidak terbatas dan untuk beberapa hal malah menemukan jawabannya sendiri.” 

Betul sih, Surya lah yang suka berisik komentar di jalan tentang tidak kreatifnya toko-toko kecil yang warna dan bentuk logonya menjiplak minimarket Grup Alfa. Surya juga cermat mengobservasi kiri kanan jalan sehingga bisa menemukan tanda petunjuk di sebuah hotel, yang faktanya sudah ada sejak tahun 50-an. 

Surya lahir sebagai generasi Alpha, setelah tahun 2012. Ia punya pikiran yang sangat open minded dan cakap teknologi digital. Sejak kecil, ia sudah menemukan cara membuat video-video sederhana stop motion tanpa ada yang mengajari.

Tetiba saya jadi tak bijak kepadanya. Saya lupa bahwa saya ibunya, bukan bos atau majikan yang berkomunikasi dengan si bungsu hanya dalam bentuk perintah untuk melakukan apa yang harus dia lakukan sebagai bagian dari belajar. 

Saya lupa pernah membaca ulasan Psikolog keluarga, Anastasia Satriyo M.Psi, bahwa tumbuh kembang generasi Alpha dan kesehatan mental anak sangat dipengaruhi oleh pengelolaan emosi dan kesehatan mental orang tua. Hal itu terjadi karena orang tua lah yang menjadi role model utama bagi anak generasi ini. 

Nah, memang sebaiknya saya perlu lebih banyak membuka ruang diskusi dengan Surya tentang apa yang perlu dia lakukan. Saya perlu merespon peristiwa yang dialaminya dibanding cuma mengomel saja. 

Istilah dalam parenting yang serupa dengan yang hendak saya perbaiki ini, dikenal sebagai Ask don’t Tell, bertanya BUKAN memberi tahu. 

Beberapa sumber yang saya baca, mengungkapkan langkah-langkahnya untuk beralih ke pengasuhan yang lebih tepat dalam menyikapi kecemasan tentang Surya. Berikut ini langkah-langkah tersebut:

1. Ask them ‘What do you think?’

Alih-alih menjawab seketika saat anak bertanya sesuatu, ada baiknya kita kembalikan pertanyaan itu kepadanya. Saat itu, biasanya, mereka sedang memroses hal yang ditanyakan. 

Dengarkan anak dengan saksama, karena mungkin saja yang menarik keingintahuan itu sederhana saja sifatnya, tak serumit yang kita pikirkan. 

Tak heran bila saat saya spontan menjawab, Surya akan merespon, “Aku sudah tahu kalau itu, tapi yang kumaksud berbeda.” 

2. Ask ‘What do we know?’

Langkah kedua adalah untuk sama-sama menganalisa jawaban dari apa yang kita tahu. Mungkin saja, pemahaman anak-anak malah jauh melebihi kita. Saya sering berbagi info fakta-fakta di dunia entah kejadian, hewan langka, orang terkenal, yang saya juga baru tahu. 

Beberapa kali, informasi yang saya beri direspons Surya dengan jawaban, “Ini sih aku tahu.” Dengan jawaban sedemikian, berarti Surya memang sudah tahu. Ia menyerap informasi bahkan bisa merekamnya dalam benak. 

3. Ask ‘What do we not know?’

Selanjutnya, ini pertanyaan lanjutan, bila ternyata kita dan anak sama-sama tidak tahu. Jujur saja bila kita sebagai orang dewasa tidak tahu. Katakanlah terus terang, bukan malah bersikap berpura-pura tahu. 

Melihat bahwa saya pun sebagai orang dewasa tidak tahu, hal ini malah akan menjadi role model tentang tak masalah untuk tidak tahu dan tak semua hal pasti memiliki jawaban yang sederhana. 

Salah satu hal yang sering saya dan Surya diskusikan malah seputar anime yang saya banyak sekali tidak tahu, termasuk aplikasi Discord untuk para gamer. Atau bahkan ia membahas mengapa belum ada ilmuwan yang bisa membaca kemampuan otak kakaknya yang autistik agar kakaknya tak bersikap impulsif terus. 

Untuk anime, Surya tidak mengecilkan diri tentang saya yang tidak paham. Dia tak segan mengajari, bahkan sampai memudahkan level pertanyaan tentang anime “Kalau begitu yang kamu tahu tuh apa ya. Ayo, dong kasi tahu aku, jadi kita bisa main tebakan.” Usulan seperti ini saja, telah menunjukkan anak 9 tahun itu punya solusi yang sangat mengapresiasi kemampuan orang lain agar bisa beraktivitas sepertinya. 

4. Share ‘how you’ve handled it.’

Berbagilah bagaimana menyikapi pertanyaan atau ketidaktahuan akan sesuatu. 

Hal ini termasuk juga misteri hidup, seperti pertanyaan mengapa perempuan lebih suka mengomel, atau mengapa orang yang ekstra hidup sehat pun, suatu saat bisa jatuh sakit? Atau hal yang paling mencemaskan orang tua, ketika anak bertanya tentang kematian. 

Orang tua bisa mencontohkan bagaimana menyikapi situasi itu, apa yang dirasakan atau dipikirkan, atau respon spontan apa yang segera muncul. Bagaimana akhirnya memaklumi hal itu sebagai sesuatu yang mau tak mau diterima saja, asal tidak mempengaruhi perasaan, pikiran, maupun kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya kita sedang memberi contoh bagaimana memproses pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul sepanjang hidup seorang manusia. 

Setelah melalui empat langkah ini, obrolkan dengan anak apa yang mau dilakukan selanjutnya. Semisal masih besar rasa ingin tahunya, carilah informasi kepada yang ahli atau malah mungkin sama-sama mendiskusikan secara mendalam. Ada pula hal yang menjadi misteri dan belum diketahui kebenarannya.

Toh, dengan demikian anak pun belajar bahwa ‘it’s okay not to know all the answers.‘ Sebagai manusia, kita bukan si Mahatahu, serta tak berarti sebagai orang tua yang tak tahu menjadi tak ‘keren’ di matanya.

Ivy Sudjana, seorang ibu yang suka membaca, menulis dan travelling.

[red/zhr]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *