PARENTING: Mengenal Baby Blues Sejak Dini, Menyelamatkan Ibu dan Bayi

Parenting

“Seringkali ada anggota keluarga yang memberikan petuah berupa mitos. Hal itu justru memperparah keadaan ibu. Petuah-petuah itu kadang tidak lagi sesuai di masa kini.”

Memastikan bayi yang dikandung selama 9 bulan dilahirkan dengan sehat sempurna menjadi topik utama yang diperbincangkan oleh semua calon orang tua. Menjelang maupun sesudah melahirkan, semua pihak baik itu suami dan kerabat hanya fokus pada si jabang bayi saja. Tidak banyak orang yang memahami bahwa melahirkan adalah suatu peristiwa yang menguras emosi, sekaligus melelahkan. 

Sementara itu, sedikit yang mencermati kondisi ibu. Pihak keluarga cenderung hanya antusias terhadap si bayi. Ibu menjadi nomor sekian, si bayi menjadi topik yang lebih menarik. Anggota keluarga baik itu kakek, nenek, saudara-saudara, dan suami, hanya membahas seputar merawat bayi, tanpa membahas soal merawat ibu dari sang bayi. 

Padahal, kesehatan jasmani dan mental ibu tidak kalah penting. Perlu diketahui bahwa kelelahan setelah melahirkan dapat menyebabkan depresi. Inilah yang kita kenal dengan baby blues syndrome.

Menurut penelitian pakar psikolog, 4 dari 5 ibu setelah melahirkan mengalami baby blues. Mereka mengalami perasaan gelisah, cemas, sedih, dan khawatir yang berlebihan. Ibu yang mengalami baby blues menjadi lebih mudah marah, emosional, serta merasa takut tidak bisa merawat dan membesarkan anak dengan baik. Perasaan ini pada umumnya disebabkan oleh rasa takut gagal, salah satunya gagal dalam menyusui. 

Seringkali ada anggota keluarga yang memberikan petuah berupa mitos. Hal itu justru memperparah keadaan ibu. Petuah-petuah itu kadang tidak lagi sesuai di masa kini. Belum lagi ketika ada yang membandingkan ibu yang sama-sama baru melahirkan. Perihal air susu ibu lain yang lebih banyak hingga mengomentari bayi. Semua itu adalah hal sensitif yang dapat menambah rentannya ibu mengalami baby blues

Pengalaman pertama kali menyusui juga dapat menambah kecemasan pada ibu yang mengalami baby blues. Air susu tidak lancar, bayi menangis terus karena lapar, tubuh yang lelah, dan kurang tidur dapat memperparah baby blues. Ibu dilanda rasa gagal, tidak bisa memberikan ASI, seperti para ibu lain. . 

Beraneka ragam kritik, bentuk tubuh yang berubah tidak seperti sebelum hamil, lalu perasaan dituntut untuk harus mengasihi bayinya membuat ibu berada dalam situasi yang membingungkan. Ibu merasa dituntut harus kuat menjalani masa transisi dari saat sebelum dan sesudah memiliki anak. Semua tadi dapat menjadi hal yang dilematis. 

Mengapa baby blues kerap dialami ibu-ibu setelah persalinan? Hormon estrogen dan progesteron yang menurun drastis mengakibatkan perubahan suasana hati. Hal itu membuat ibu dilanda mood swing, atau suasana hati yang berubah-ubah. Ada beberapa tingkat keparahan baby blues, mulai dari sering menangis, membenci si bayi, hingga menyakiti diri sendiri yang berakhir pada kematian. 

Kasus-kasus tentang ibu yang menganiaya bayi hingga meninggal di Indonesia cukup sering kita dengar. Menurut e-journal Medical, persentase angka kejadian baby blues di Indonesia yakni 50-70%. Angka tersebut dinilai cukup tinggi dan beresiko untuk ibu dan bayi. 

Apa yang bisa dilakukan, untuk mengatasi perihal baby blues yang banyak mengancam kesehatan mental para ibu di luar sana? Ada fase yang kita sebut dengan fase pemulihan, yakni ibu setelah melahirkan menerima suatu treatment yang dapat membantu si ibu pulih dengan sempurna jiwa dan raga. Ibu harus makan teratur dan bergizi. Ibu bisa menggunakan jasa katering, atau meminta bantuan orang lain dalam hal menyiapkan makanan. 

Peran anggota keluarga dinilai mampu memberikan efek yang baik dan penting karena akan mempengaruhi produksi air susu ibu. Suami juga bisa mulai menyiapkan multivitamin, camilan yang dapat dikonsumsi. Melahirkan, menyusui, dan merawat bayi adalah masa yang penting, sehingga peran suami diharapkan dapat menciptakan kenyamanan bagi ibu

Suami bekerja sama secara bergantian menjaga bayi, membantu agar ibu dapat tidur dengan cukup. Istirahat cukup dapat mengurangi stress pada ibu. Idealnya, anggota keluarga lain seperti nenek, atau orang tua pasangan bisa ikut berkontribusi. 

Caranya antara lain dengan membantu merawat bayi, menemani ibu berbicara, menanyakan keadaan dan perasaannya. Hal sederhana seperti memuji keberhasilan si ibu di fase ini, dapat membantu ibu agar lebih percaya diri dan termotivasi. Anggota keluarga lain juga dapat mengajak ibu berjalan-jalan mencari udara segar, atau menyiapkan makanan yang disukai, agar memunculkan rasa bahagia. 

Kita bisa menghadirkan asisten dalam mengurus keperluan rumah tangga yang bermanfaat di masa pemulihan, dan dapat menghindari terjadinya korban jiwa, baik si ibu dan bayi. Adanya seseorang yang mendengarkan cerita, keluhan dan semua yang dirasakan oleh ibu, merupakan dukungan agar ibu mendapatkan kepercayaan dirinya kembali. 

Jika kondisinya sudah lebih parah, kita bisa mencari bantuan profesional medis dan konseling saat semua cara telah dilakukan. Semua bentuk dukungan dan perlindungan ini akan menjadi sumber kekuatan, sehingga ibu tidak merasa sedang berjuang melawan baby blues sendirian. 

Memprioritaskan ibu, bukan bayi semata, akan menyelamatkan dua orang sekaligus. Dukungan keluarga lah yang akan menyelamatkan mental ibu dalam menghadapi masa transisi menjadi ibu dan merawat bayi. Dengan dukungan keluarga, niscaya bayi akan tumbuh sehat selamat dalam pelukan ibu yang bahagia jiwa dan raga.

Arum Weni. Ibu rumah tangga, senang memasak, membaca, traveling, dan menulis.

[red/brsm/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *