PARENTING: Membedakan Kebutuhan dan Keinginan Anak

Parenting

“Kebutuhan adalah sesuatu yang harus didapatkan si anak, kalau kebutuhan itu nggak dipenuhi, si anak akan sakit atau terlantar. Sedangkan keinginan adalah saat kebutuhan itu menjadi selera.”

Sambil menangis, seorang sahabat menceritakan kepada saya bahwa saat dia masih kecil, ibunya membiarkan adiknya menggigit lengannya ketika adiknya itu marah dan menangis. 

Ibunya bahkan selalu memaksanya agar menerima perbuatan adiknya tanpa protes dengan alasan si ibu pusing mendengar tangisan adiknya. 

Akibat gigitan adiknya itu, lengannya sampai terluka. Lukanya nggak hanya di satu tempat, tapi di banyak tempat. Setiap kali marah adiknya harus selalu menggigit lengannya baru merasa puas dan berhenti menangis. 

Walau ibunya selalu mengobati lukanya, dia merasa sakit hati karena dijadikan sasaran kemarahan, hanya karena ibunya pusing mendengar adiknya menangis.

Beberapa hari yang lalu, saya menonton sebuah video pendek yang menampakkan situasi yang terjadi di sebuah pesawat. Seorang anak kecil menangis karena ingin duduk di dekat jendela. Laki-laki yang duduk di dekat jendela cuek saja mendengar rengekan dan tangisan anak itu.

Ketika pesawat hampir mendarat, si ibu meminta si lelaki pindah tempat duduk agar anaknya bisa melihat saat pesawat itu mendarat dan juga agar anak itu lebih tenang. 

Lelaki itu menolak meski dia berkata dia sangat ingin melakukannya. Menurut lelaki itu, yang lebih penting adalah memberikan satu pelajaran yang sangat berharga kepada si anak, yaitu bahwa dalam hidup ini dia nggak akan selalu mendapatkan apa yang dia inginkan.

Terdengar sangat kejam, bukan? Wong hanya masalah sederhana pindah tempat duduk di pesawat, tapi lelaki itu nggak mau melakukannya. Kok ya kebangetan.

Anda pernah atau sering mendengar kalimat yang diucapkan orang tua kepada anak yang lebih besar? Kalimat itu berbunyi, “Kakak ngalah sama adik, ya. Kasih mainannya ke adik. Kasihan adiknya nangis, tuh.”

Hal ini sering dialami anak sulung atau anak yang lebih tua. Bukan hanya soal mainan saat kecil, bahkan sampai dewasa pun anak sulung sering terpaksa mengalah demi adik-adiknya. Anak sulung seolah diberi beban lebih untuk membantu orang tuanya dengan mengalah kepada adiknya.

Ketiga hal ini menceritakan hal yang sama: orang tua meminta, bahkan memaksa, orang lain atau anak lain memenuhi keinginan anaknya dengan mengorbankan kepentingan orang lain itu hanya karena si anak menangis. 

Anda mungkin berpikir seperti saya bahwa si lelaki di pesawat tadi sangat egois. Tadinya saya juga berpikir begitu sampai saya ingat cerita sahabat saya tadi. 

Apa jadinya jika setiap anak merasa bahwa dia harus selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, meski dia akan membuat orang lain terluka? Tidakkah perlakuan seperti ini akan membuat anak itu merasa benar ketika melakukan tindakan sewenang-wenang atau bahkan kekerasan?

Mengajarkan anak untuk mengalah memang sikap yang sering dianggap baik, tetapi meminta orang lain mengalah karena kepentingan anak kita (atau kepentingan kita agar si anak nggak menangis) jelas satu hal yang berbeda.

Kebutuhan vs Keinginan

Sebagai orang tua, memenuhi semua kebutuhan anak adalah kewajiban. Tetapi orang tua juga perlu belajar memahami mana kebutuhan dan mana keinginan. 

Kebutuhan adalah sesuatu yang harus didapatkan si anak, kalau kebutuhan itu nggak dipenuhi, si anak akan sakit atau terlantar. Sedangkan keinginan adalah saat kebutuhan itu menjadi selera.

Contoh, kalau Anda haus, Anda membutuhkan air untuk meredakan rasa haus itu. Ini adalah kebutuhan. Karena merasa haus, Anda ingin minum es teh manis atau es buah. Ini adalah keinginan. Berbeda sekali, bukan?

Kebutuhan adik sahabat saya ini adalah melampiaskan kemarahannya. Dia bisa melampiaskan kemarahannya dengan menggigit bantal atau guling, misalnya. 

Saat dia memilih menggigit lengan kakaknya, jelas ini bukan kebutuhan tetapi keinginan. Kebutuhan si anak di pesawat adalah duduk di pesawat. Saat dia menginginkan kursi di dekat jendela, jelas itu bukan kebutuhan. 

Kebutuhan si adik adalah mainan. Ketika dia memilih mainan kakaknya, kebutuhan itu telah berubah menjadi keinginan.

Kemampuan membedakan mana keinginan dan mana kebutuhan ini sangat diperlukan, bukan hanya oleh anak tetapi juga oleh orang tua. 

Saat orang tua bisa memahami mana keinginan dan mana kebutuhan, orang tua akan bisa menyederhanakan masalah dan membantu anak memahami keinginan dan kebutuhannya. Yang nggak terlalu penting dan urgensinya kecil bisa kita abaikan meski si anak menangis kejer.

Saya juga setuju dengan lelaki di pesawat itu. Daripada mengabulkan keinginan si anak hanya agar dia berhenti menangis, lebih penting mengajarkan kepada anak bahwa hidup ini nggak selalu memberikan apa yang kita inginkan. 

Kita perlu belajar mengelola emosi ketika keadaan tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Kalau kemampuan ini nggak dilatih sejak kecil, anak akan kesulitan membedakan mana keinginan dan mana kebutuhan. 

Hal ini juga akan membuat anak berpikir bahwa kebutuhan dan keinginan adalah dua hal yang sama. Nggak heran banyak remaja yang ngotot meminta apa yang bukan merupakan kebutuhan utamanya.

Kalau orang tuanya mampu secara finansial, hal  ini nggak menjadi masalah. Kalau sebaliknya, tentu akan jadi masalah.

Mengelola Emosi 

Selain mengajarkan mana kebutuhan dan mana keinginan, orang tua juga perlu mendidik anak untuk mengelola emosi ketika keinginannya tidak tercapai. Tanpa kemampuan ini, kejiwaan si anak nggak akan berkembang.

Dia akan tetap menjadi anak kecil yang menggunakan segala cara agar keinginannya tercapai. Padahal anda sebagai orang tuanya nggak akan selalu ada untuknya, bukan? 

Suatu saat, si anak harus mandiri dan belajar mencukupi kebutuhannya sendiri. Bayangkan apa yang dia lakukan jika dia tidak memiliki kemampuan ini.

Saya pernah membaca seorang remaja putri menjual keperawanannya hanya agar bisa membeli iphone. Ada juga yang mau menjadi sugar baby agar bisa membeli barang bermerek. 

Remaja putra pun melakukan hal yang sama dengan cara yang berbeda, bahkan tak jarang melakukan kekerasan untuk mendapatkan keinginannya.

Menyedihkan sekali, bukan? Anda tentu nggak ingin anak Anda mengalami kejadian seperti itu. Saya jadi teringat kalimat seorang teman, “Lebih baik anak saya nangis sekarang, daripada saat tua nanti saya menangis melihat kehidupan anak saya.”

Luluk Choiriyah, Ibu dua anak laki-laki, tinggal di Tangerang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *