PARENTING: Melatih Pola Berpikir Jiwa dengan Asupan yang Baik

ghibahin

“Serupa dengan raga, jiwa pun demikian, perlu diberi makan agar terus hidup.”

Hari ini saya menyantap mie instan yang sudah setahun lebih tidak saya konsumsi. Dua suapan pertama rasanya begitu nikmat. Cita rasa gurih, asin, dan manis dari kecapnya yang kecoklatan sungguh lezat. Suapan ketiga, kenikmatannya mulai berkurang. Suapan selanjutnya, entah kenapa saya mulai mual. 

Mungkin porsi jumbo terlalu besar buat saya, atau jangan-jangan perut saya sudah terlalu terpengaruh oleh gagasan hidup sehat yang beberapa tahun belakangan ini saya geluti. Seluruh saluran cerna saya mulai dari lidah, kerongkongan, lambung, usus, hingga anus menolak untuk melanjutkan mencerna makanan ultra proses tersebut. 

Agaknya otak saya terus bekerja memengaruhi setiap sel di saluran cerna saya agar tak melanjutkan menelan sampah, yang bukannya menyirami tubuh ini dengan nutrisi, tapi justru menyiangi bakteri baik pencerna di dalamnya menjadi semakin gundul. Maka tak berminat lagi saya menghabiskannya.

Kebutuhan Jiwa

Kini saya tidak sedang memikirkan kesejahteraan tubuh saya, melainkan akal budi dan jiwa saya. Bagi saya sebagai seorang ibu, mendidik anak-anak saya sama artinya dengan mendidik jiwa dan akal budi mereka. Sama seperti tubuh yang hidup itu akan terus bertumbuh makin tinggi dan besar, demikian pula pikiran dan akal budi manusia yang hidup itu akan terus bertumbuh makin tinggi dan besar. 

Untuk bertumbuh, tentu perlu makanan. Bila tak ada makanan tersaji di meja makan, anak-anak akan keluar dan mengonsumsi apa saja yang dijumpainya untuk dimakan, karena mereka kelaparan. Maka, perlu disadari bahwa raga perlu berbagai macam nutrisi secara berkala dengan porsi seimbang dan sumber beragam. 

Raga perlu asupan real food yang ramah cerna bukan makanan ultra proses yang sudah kehilangan penampakan asalnya. Raga perlu istirahat agar stress fisik dapat terkelola dengan baik. Bahkan olah raga pun diperlukan agar metabolisme dapat berjalan lancar. Jika pencernaan bekerja optimal, setiap makanan yang dikonsumsi dapat dicerna dan diserap dengan baik oleh tubuh kita. 

Sayangnya masih banyak orang mengira bahwa tujuan makan adalah untuk membuat kenyang dan memuaskan selera lidah semata. Banyak yang belum sadar bahwa makan adalah salah satu sarana penting manusia untuk bertahan hidup. 

Serupa dengan raga, jiwa pun demikian, perlu diberi makan agar terus hidup. Syarat-syarat makanan sehat bagi jiwa ternyata tak beda dengan raga. Jiwa memerlukan asupan makanan sarat gizi secara berkala dengan porsi seimbang dan sumber beragam. Tentu kita ingat bahwa jiwa dan akal budi adalah roh sehingga juga memerlukan makanan yang bersifat rohani, yaitu gagasan atau ide-ide. 

Makanan Jiwa

Bila makanan bagi raga saja diperhatikan sedemikian rupa, apalagi makanan bagi jiwa. Tubuh daging kita akan kembali menjadi debu saat kita meninggal nanti, namun jiwa kita abadi. Janganlah kita asupi jiwa kita dengan sajian minim nutrisi, tapi sungguh layak bila kita bekerja lebih keras menyajikan suguhan padat gizi agar tak melukai jiwa kita. Layaknya roti dan mie yang mengenyangkan dan enak di lidah namun sayang kurang asupan nutrisinya. Makanan tersebut bisa jadi merusak tatanan dan fungsi organ cerna kita. 

Pun demikian dengan ide-ide kotor yang dicuri dengar oleh telinga kita, atau pemandangan tak senonoh yang ditangkap oleh mata kita, sangatlah merusak akal budi, hingga tak jarang perlu diobati. Berbagai penyakit mental disandang oleh manusia-manusia berbagai usia yang benaknya dipenuhi oleh pengalaman-pengalaman tak sehat yang diterimanya. Untunglah ada imunisasi jiwa yang diharapkan mampu menangkal berbagai luka jiwa itu datang membawa penderitaan dan kehancuran. 

Imunisasi Jiwa

Imunisasi adalah gagasan-gagasan besar dan mulia yang diasupi manusia sejak dini, yang menolongnya mencicipi pengalaman orang lain dari berbagai abad dan tempat. Sehingga anak-anak kita tak perlu mengalami sendiri seperti apa rasanya mendendam, tapi bisa mencicip sensasinya lewat pustaka hidup. Gagasan-gagasan yang tertuang dalam pustaka hidup memberinya gambaran tentang berbagai kehidupan yang ada di dunia ini. “Seperti guru yang didatangkan pada kita,” kata Charlotte Mason.

Pustaka Hidup

Makanan yang baik mempunyai karakteristik atau ciri-ciri yang membedakannya dari makanan tak sehat. Pustaka hidup sebagai salah satu sumber penyedia gagasan hidup yaitu makanan bagi jiwa, juga memiliki ciri tersendiri. Buku-buku ini haruslah ditulis oleh orang-orang yang memiliki kecintaan yang mendalam dengan topik yang dituliskan. Saat seseorang bergairah dengan bidang yang ditekuninya, dia akan mencari tahu sebanyak dan sedetail mungkin untuk mengenal bidang itu lebih dalam lagi dan lagi. 

Seseorang yang bergairah dengan sesuatu hal, akan menceritakannya dengan berapi-api penuh semangat. Setiap kata akan berusaha ditata dengan seksama agar terasa indah sehingga membuat setiap orang berminat mendengarnya lebih lanjut. Kecintaan seperti itulah yang dapat menular kepada pembacanya. Kehati-hatian penulis pustaka hidup dalam berkarya, membuatnya bertutur layaknya bercerita tentang apa yang dinikmatinya namun tak memaksa. Show but not tell. 

Mereka memberikan ruang bagi pembacanya untuk merenungkan dan merelasikan gagasannya dengan kehidupan mereka. Sehingga pustaka hidup itu bukan sekedar menginspirasi, tetapi menelisik ke sanubari. Pustaka hidup dapat membuat pikiran pembacanya seperti sapi yang terus memamah biak. Pembaca dapat mencerna dan terus mencerna gagasan yang diasupnya hingga mampu melahirkan pemikiran-pemikirannya sendiri. Ide-ide hidup itu dapat menggugah pembaca untuk bertindak, memperbaiki diri dan bumi.

Melatih Jiwa untuk Berpikir

Lantas, bagaimana cara mengkonsumsi ide itu? Bila tubuh fisik memiliki sistem pencernaan, maka akal budi pun demikian. Semua sama-sama berawal dari panca indera, yaitu mata yang melihat dan hidung yang mencium aroma membangkitkan selera, dikunyah oleh gigi dan lidah secara mekanik, dilanjutkan proses cernanya oleh kerongkongan dan usus dengan gerak peristaltik. 

Lambung dan pankreas menghasilkan enzim yang tak kasat mata namun sangat berguna untuk proses pencernaan kimiawi. Setiap bagian usus pun turut bekerja sesuai perannya masing-masing untuk menyerap dan membuang zat sisa. Proses cerna tak selesai sampai di sana. Semua yang berhasil diserap akan dialirkan ke seluruh tubuh sehingga tubuh bertumbuh dan setiap bagiannya mampu melaksanakan fungsinya. 

Maka demikian pula akal budi mencerna gagasan. Seperti makanan jasmani yang diawali dari perangkat inderawi, mengasup gagasan pun demikian. Telinga kita mungkin mendengar puisi dideklamasikan atau alunan melodi dimainkan oleh sang pujangga. Atau bisa saja mata kita memandang lukisan indah sang maestro. Atau saat mata kita  membaca bacaan yang sastrawi dan naratif. Semua rangsangan fisik yang ditangkap oleh indera kita akan dibawa masuk ke dalam hati dan pikiran untuk dikunyah dan dicerna. 

Semua perangkat cerna rohani telah Tuhan ciptakan dalam diri setiap manusia layaknya organ pencernaan ragawi. Hasilnya tentu berbeda-beda, karena setiap manusia diciptakan unik, tak ada yang sama. Ditambah lagi dengan latar belakang serta pelatihan yang berbeda, tentu setiap orang akan mampu memaknai gagasan yang sama dengan cara dan hasil yang berbeda. 

Pustaka hidup adalah penghargaan bagi keunikan pribadi tiap manusia. Ada beraneka macam gagasan di dunia ini. Tentu tak semua yang dijumpai akan otomatis dicerna dan diserap sempurna. Inilah pentingnya untuk memastikan apakah seluruh perangkat pencernaannya terlatih untuk mencerna dan berfungsi optimal, yaitu lewat olah pikir atau pelatihan layaknya olahraga. 

Akal budi yang tidak dilatih berpikir, tentu tak akan mampu diajak memikirkan gagasan yang berat dan utuh. Layaknya balita belum mampu mencerna sayuran utuh, perlu dipotong-potong atau bahkan dimasak agar lebih lembut. Tentu tubuh manusia tak selamanya balita, demikian pula akal budi anak-anak kita. Tak maulah kita memiliki anak-anak yang tubuhnya telah menyamai ukuran tubuh kita namun jiwanya kerdil tak mampu berpikir.

Eliani Angga Safitri. Seorang ibu rumah tangga homeschooler dari dua anak yang baru saja pulang dari negara Inggris menemani suami melanjutkan pendidikan pascasarjana.

[red/zhr-brsm]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *