Karena Setiap Anak Istimewa, Mereka pun Perlu Diperlakukan Istimewa

Sejak kecil saya memang bercita-cita menjadi seorang guru. Namun tidak pernah terpikirkan sedikit pun menjadi guru dari anak berkebutuhan khusus. Perjalanan lah yang akhirnya mengantarkan saya bertemu dengan Mazaya. 

Pertemuan yang sangat saya syukuri. Ia anak yang cantik. Bulu matanya lentik. Sekilas tidak ada yang mengira kalau ia seorang anak berkebutuhan khusus jenis autism dan Speach Delay

Ia anak yang baik. Mau mendengarkan perintah dan arahan saya sebagai guru, Senang membantu teman, hanya saja ia kesulitan berbicara. Di awal pertemuan saya dengannya, ia belum bisa berkontak mata dengan siapa pun, bahkan dia belum mampu mengeluarkan emosinya. 

Dingin, tak ubahnya seperti robot. Jangankan berbicara, mengeluarkan sepatah kata pun ia belum mampu. Berbekal ilmu psikologi—perkembangan anak berkebutuhan khusus—yang saya dapatkan sewaktu kuliah di program studi Pendidikan Anak Usia dini, ditambah Ibunya begitu baik dan kooperatif, saya selalu berusaha memberikan yang terbaik saat berinteraksi dengan Mazaya. 

Ibunya selalu membagikan apa yang Mazaya pelajari di tempat terapi. Saya dan ibunya memiliki program yang sama, untuk membantu proses terapinya Mazaya. Tujuannya adalah mengoptimalkan kemampuannya. 

Usaha kami berdua akhirnya membuahkan hasil. Suatu hari, saya dibuat terharu oleh Mazaya, ketika ia mau menatap mata saya, meski hanya beberapa detik. Dan saya pun langsung memeluknya. Saya bahagia tiada tara. Bukan hanya itu, perlahan-lahan ia pun mulai menyadari kehadiran teman-temannya. Jika temannya menyentuhnya, Mazaya sudah bisa langsung berbalik memandang temannya dan tersenyum. Bahkan Mazaya pernah berlari hanya untuk memeluk temannya dari belakang. 

Saya pun tak kuasa, menahan tetesan air mata, ketika ia pertama kali mengeluarkan kata pertamanya. “Popo,” sambil menyuruh saya tidur ketika bermain dengannya. Semakin lama, Mazaya bisa duduk tenang di kursinya yang biasanya ketika belajar. 

Mazaya suka kabur keluar kelas dan semakin lama ia semakin banyak mengerti kata dan instruksi. Mazaya bahkan sudah bisa mengeluarkan ekspresi sedih ketika ditinggal ibunya pulang setelah mengantarnya ke sekolah. Bahkan pernah marah. Tetapi, saya bahagia melihatnya karena ia sudah bisa mengeluarkan emosinya. 

Ah, tak terasa sudah tiga tahun saya mendampingi Mazaya. Teringat masa-masa awal pertemuan kami. Setiap bertemu Mazaya, saya suka memegang kedua pelipisnya dan mengarahkan agar wajah sejajar dengan wajah saya. Lalu saya berkata padanya “Lihat,” agar mata kami saling melihat. Begitulah cara saya men-stimulus kontak Mazaya. 

Stimulus Kemampuan Bicara dan Kontak Mata

Untuk menstimulus kemampuan bicaranya, saya suka memegang pelipisnya, dan memberikan instruksi atau kata yang pendek pada Mazaya.  Misalnya ketika ia menginginkan bola. Saya langsung bilang “Bola” pada Mazaya sambil  memegang pelipis matanya dengan kedua tangan saya.

Selain itu, setiap temannya datang, saya suka meminta mereka untuk menyapa dan menyentuh Mazaya. Selain untuk melatih kontak mata, saya ingin Mazaya pelan-pelan bisa merasakan kehadiran orang lain di sekitarnya. Sedangkan untuk menstimulus emosinya, saya menggunakan gambar orang yang sedang emosi (marah, senang, sedih, dan takut). Saya juga yang suka sering kali ber-acting emosi di depan Mazaya. Sesekali menggunakan cermin besar. 

***

Anak Istimewa

Kemajuan Mazaya memang relatif kecil dibanding anak pada umumnya. Tetapi, bagi kami para pendidik dan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, kemajuan sekecil apa pun sungguh sangat berarti. Begitu berartinya membuat kami begitu mudah menangis.  Saya belajar banyak hal dari setiap anak yang saya didik. Mulai dari pentingnya konsistensi, menjadi teman dalam membersamai proses belajarnya, termasuk bagaimana membuat anak bahagia dalam belajarnya.

Mazaya adalah satu dari sekian banyak anak berkebutuhan khusus. Ada begitu banyak anak berkebutuhan khusus di luar sana, tentunya dengan jenis yang berbeda-beda. Namun saya percaya setiap anak yang terlahir itu istimewa. Maka sudah seharusnya kita memperlakukan mereka secara istimewa pula. Sangat tidak bijak melabeli anak dengan cap negatif, seperti nakal, bodoh, dan sebagainya. Apalagi membanding-bandingkan satu anak dengan anak lain.

Membanding-bandingkan anak hanya akan membuat mereka merasa tertekan. Dalam keadaan tertekan anak sulit untuk menunjukan potensinya. Padahal keberhasilan pendidikan bermula dari kejelian guru dan orang tua dalam mengenal potensi anak. Potensi yang berbeda akan menuntut perlakuan berbeda pula. Perlakuan yang tepat akan membuat potensi anak tumbuh dan berkembang. Dukungan dan cinta dari orang-orang sekitar menjadikan anak merasa percaya diri dan nyaman menunjukan potensinya.

Nazia Halim. Guru Pendidikan Anak Usia Dini, berasal dari Denpasar.

[red/zhr]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *