CURHAT: Kehilangan Gairah

Curhat

Halo Mbah Ghibah.

Salam ghibah. Kenalan nama saya Bernard, biasa dipanggil B ajah.

Saya mau curhat nih, Mbah. Kenapa ya belakangan (eh udah lumayan lama, dink), hasrat menulis saya menurun drastis? Padahal dulu pernah semangat banget nulis dengan prinsip “tukiran” (tulis-kirim-angpao). Jadi, setelah menulis artikel, kemudian kirim ke media, sukur-sukur dapet angpao. Soalnya kalo nunggu lebaran atau tahun baru China kelamaan. Itu saja belum tentu dapet. Hih.

Apakah ada yang salah dengan diri saya? Atau saya harus mengundurkan diri dari dunia tulis menulis, dan kembali ke dunia meramu dan berburu? Halah.

Gimana ya Mbah, biar gairah (gairah menulis tentunya) saya meningkat kembali? Apakah ada obatnya? Tapi semisal SImbah juga punya obat buat nambah gairah yang lain bisa sekalian juga deh. Eh.

Terima kasih, Mbah.

Juragan Bernard, tinggal di kebunku penuh dengan bunga, ada yang merah, juga ada yang putih.

*****

Salam, Bii. 

Sore begitu temaram hari ini. Simbah perkirakan besok turun hujan di tempat Simbah. Nak Bii nggak pengen mampir ke sini? Menemani Simbah menatap matahari terbenam, syahdu sekali. 

Meskipun matahari tertutup awan, Simbah rasa tiada yang mampu menutup sinarnya. Kalau malam datang, toh ada rembulan yang suka rela mengantar sinar Sang Raja untuk tetap menyapa manusia.

Melihat sore, Simbah teringat dengan sebuah silogisme di sebuah buku karya Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi ‘Struktur Nalar Arab’ di sana ada sebuah kalimat, “Manusia akan mati, Socrates adalah manusia, Socrates akan mati.”

Simbah meyakini hal itu, B. Kita semua cepat atau lambat akan meninggalkan segalanya. Salah satunya adalah tulisan. 

Kata motivator menulis, “Kalau kamu bukan anak raja, menulislah.” Dia salah, B, seharusnya dia bilang, “Kalau kamu bukan anak raja, berarti kamu hanya rakyat jelata.” Nah, itu yang tepat. Hahaha.

Tolong ingatkan Simbah, bukankah saat terjadi kecelakaan pesawat beberapa waktu yang lalu, sempat viral peninggalan seorang pilot? Gambar yang bertuliskan Superman sedang shalat dengan caption “setinggi apapun saya terbang saya akan tetap sembahyang” tersebar di berbagai lini masa.

Bayangkan, B, itu cuma unggahan sebuah meme di WhatsApp yang hanya bertahan 24 jam, tidak lebih. Dan itu sudah cukup untuk menjadikan Sang Pilot “abadi”. 

Jadi, menurut Simbah, nggak usahlah ngoyo-ngeden menulis panjang-panjang di media daring, cukup sedikit-sedikit saja di media sosial. Twitter, Facebook, Instagram dan lain sebagainya. Toh, yang baca juga banyak. Lebih mudah dijangkau lagi. 

Coba deh, kamu lihat para Guru Besar yang ada di universitas itu. Mereka juga menulis, menulis di jurnal internasional. Tapi, B, kamu pernah membaca karyanya? Atau pernah melihat? Mungkin pernah, tapi Simbah yakin itu saat B butuh saja. Kalau nggak butuh pasti nggak tahu. Gitu kan? 

Sebaliknya, tulisan di media sosial, lewat begitu saja tanpa peduli kita butuh atau tidak. Kita seakan ‘dipaksa’ melihat bahkan membaca printilan-printilan tulisan media sosial, panjang maupun pendek, penting atau tidak, manfaat ataupun sekedar sampah.

Bayangkan, B, semudah itu menulis itu. Maka saran saya untuk B, sering-sering saja menghibur umat manusia di jejaring sosial. Tulisan yang bercuan, sudah lah, biar Simbah yang urus. Simbah menerawang Nak B sudah selesai dengan diri sendiri. Tak perlu lagi hiburan apalagi kekayaan materi. Kalau Simbah sih masih saja butuh hingga sekarang. Hihihi.

Hmmm …. Simbah masih ingat kala masih muda, Simbah diajari sama guru Simbah. “Ingatlah kepada-Nya sesuai dengan keinginan hatimu”. Ketika Simbah praktek Simbah merasa tidak terpaksa sama sekali, kadangkala Simbah baca tasbih, kadang minta ampun, kadang shalawat, ketika malas, Simbah hanya menyebut namanya doang, lebih singkat lagi, Simbah hanya menyebut, “Hu, Hu, Hu.” Gitu saja. 

Itu Simbah muda, Simbah tua sekarang sudah lupa dengan semua itu, dan penuh dengan gelimang dosa. Eh, tapi ada satu hal yang Simbah pelajari dari sini, “ritme”. Barangkali itulah yang harus Nak B temukan. 

Ketika Nak B, tidak menulis, saya yakin, Nak B masih menulis, tapi dalam bentuk yang lain. Nggak papa, Nak B. Itulah “ritme” yang Simbah maksud. Dan kelak Nak B akan menemukan ritme menulis lagi di kemudian hari. 

Hanya perlu menunggu saja, sambil jangan lupa, siapkan susu murni dicampur dengan kuning telur ayam kampung, madu, diaduk dalam sebuah gelas dan diminum. Semoga dengan itu gairah menulis Nak B akan kembali. Tapi Simbah nggak tahu ballpoint mana yang akan dipakai. Hahaha.

Selamat memainkan nada-nada indah kehidupan, B. Ritme kehidupan pastilah indah.

Simbah, seseorang tanpa atribusi.

One thought on “CURHAT: Kehilangan Gairah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *