Yakin, Ngamen Untuk Menghibur?

“Kedudukannya bisa dibilang penting. Ia menjadi semacam jembatan penghubung kesenjangan akses masyarakat terhadap lagu-lagu baru yang sangat terbatas.”

Suatu malam, di depan deretan mobil dan motor yang sedang menunggu lampu hijau menyala, tiba-tiba muncul seorang badut ngamen sambil berjoget-joget. Di lehernya tergantung music box dengan casing triplek. Di tangan kanannya dia memegang ember bekas cat. Ember itu dia gunakan untuk meminta uang, setelah selesai mempertunjukan aksinya. Saya berpikir, apa iya para pengendara yang tengah lelah, karena seharian beraktivitas, terhibur dengan aksi badut tersebut?

Alih-alih terhibur, kehadiran pengamen pada saat yang tidak tepat, seringkali membuat kita malah merasa terganggu. Warung pinggir jalan yang lumayan rame, biasanya menjadi incaran operasi para pengamen. Baru duduk beberapa menit, pengamen silih berganti berdatangan. 

Yah, kadang mereka tidak melihat situasi dan kondisi. Di tengah keramaian dan bisingnya suara kendaraan, ditambah udara yang panas, kehadiran pengamen bukanlah sesuatu yang diharapkan. Karena bagaimanapun musiknya jadi terdengar tidak karuan.

Terlebih ketika mereka hadir dengan peralatan musik yang minimalis dan skill yang ala kadarnya. Ada yang membawa ukulele. Ada yang membawa tamborin, terbuat dari tutup botol kemudian dikasih gagang kayu. Ada yang membawa alat musik dari botol bekas air mineral yang diisi beras. Lebih parah ada yang tidak mau modal, alat musiknya berupa tepukan tangan dia sendiri. Belum lagi kalau bicara kualitas vokalnya yang ah, sudahlah!

Fenomena ngamen memang bukan hal baru. Juga bukan hanya ada negara kita. Sejarah mencatat di Eropa pengamen sudah ada sejak abad pertengahan. Malah di Bulgaria pemerintahnya membuat regulasi tersendiri terkait keberadaan pengamen. Kota Poldiv yang merupakan kota terbesar dan terpadat dibuat menjadi beberapa zona. 

Zona pertama yang merupakan tempat perbelanjaan dan wilayah Kota Tua diperuntukan hanya untuk para pengamen yang memiliki ijazah. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa para musisi jalanan tersebut, cukup bagus dan berkualitas untuk menghibur para wisatawan dan warga kota itu sendiri.

Musik memang bahasa universal. Ia akrab di telinga sebagian besar masyarakat kita. Menyertai berbagai aktivitas kita. Masalahnya apakah pengamen dengan alat musik yang ala kadarnya itu, mampu menyusun nada dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal yang tepat, sehingga memiliki harmoni dan kesinambungan. Menciptakan alunan musik dapat mempengaruhi perasaan. Memperbaiki suasana hati. Membuat kita rileks dan lebih bersemangat. 

Dulu, media tidak sebanyak seperti saat ini. Bahkan sebelum ada televisi-televisi swasta, kita hanya bisa menonton TVRI. Termasuk siaran radio pun terbatas. Akses masyarakat terhadap musik juga terbatas. Buat generasi 90-an pasti tahu, acara musik di TV waktu itu hanya ada Album Minggu, Aneka Ria Safari atau Kamera Ria. Dan itu pun tidak setiap hari. Sementara kaset dan tape (playernya) untuk ukuran waktu itu termasuk barang yang mahal. 

Durasi acara-acara musik tersebut pun tidak lama. Dan tentu saja kita tidak bisa request lagu. Kita hanya bisa menunggu dan berharap-harap lagu kesukaan kita diputar. Sambil menunggu lagu kesukaan diputar, kita harus sabar menikmati satu persatu lagu-lagu yang diputar suka atau pun tidak. Adakalanya sampai acara berakhir lagu yang kita tunggu tidak diputar. 

Pada masa itu para pengamen memiliki peran yang strategis. Kedudukannya bisa dibilang penting. Ia menjadi semacam jembatan penghubung kesenjangan akses masyarakat terhadap lagu-lagu baru yang sangat terbatas. Selain dia mampu lebih dulu mengakses lagu-lagu baru. Tentu dia punya bekal talenta yang tidak dimiliki banyak orang. Dia mampu menghafal lirik lagu-lagu baru sekaligus menghafal chord-nya. 

Coba bandingkan dengan hari ini. Di kantor, kita bisa bisa mendengarkan musik. Di mobil, kita bisa berkendara sambil mendengarkan musik. Berbekal smartphone dan handsfree, di mana pun kita bisa mendengarkan musik dengan kualitas suara yang jernih. Dengan begitu banyak video di YouTube, kita bisa memilih musik favorite kita. Lagu lama maupun baru dapat kita nikmati. Akses terhadap musik tidak lagi eksklusif.

Nah, dengan kondisi semacam itu apa iya ngamen masih relevan? Jawabannya kembali kepada para pengamen. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri. Namun selama dia mau melakukannya sepenuh hati dengan terus meningkatkan skill, bukan tidak mungkin apresiasi masyarakat akan jauh lebih besar. 

Siapa tahu, di antara ribuan kali petikan gitarnya, dia bertemu owner atau pengelola kafe dan semacamnya. Bukan tidak mungkin dengan kemampuan yang dimilikinya, dia mendapatkan tawaran mengisi acara live music. 

Apresiasi masyarakat akan sebanding dengan bagaimana para pengamen menghargai profesinya tersebut. bagaimana dia selalu berusaha tampil dengan performa terbaik. Kita tahu, banyak para artis papan atas tanah air yang mengawali karirnya dengan menjadi seorang pengamen. 

Kenapa bisa demikian? karena mereka melakukannya dengan penuh dedikasi. Ada kemampuan bermain musik yang dia suguhkan. Ada hiburan yang dia tawarkan. Karena kalau hanya berharap belas kasihan, lalu apa bedanya ngamen dengan ngemis? 

Roy Waluyo. Pengajar yang suka menulis, tinggal di Bogor.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *