WC dan Peradaban Manusia di Beberapa Negara: Bukan Cuma Urusan Berak Belaka

ghibahin

Wong cuma buang air saja, masa iya butuh teknologi canggih nan mewah seperti itu. Padahal yang dibuang ke dalamnya semua sama. Kotoran! Tapi setelah saya renung-renungkan lagi, perkara toilet ternyata memang tidak bisa sesederhana itu.

Minggu lalu, saya menemani istri yang diundang makan-makan oleh kawan lamanya dari Jakarta. Tempatnya di sebuah hotel yang terletak di kawasan Nusa Dua, Bali. Jika tidak ada yang mengajak ke sana, tak terpikir oleh kami untuk menginjakkan kaki di hotel tersebut. Mahal banget, soalnya.

Rupanya, kami tiba lebih awal. Restoran yang dituju juga masih sepi. Maka, sambil menunggu teman yang mengundang tadi datang, kami jalan-jalan berkeliling untuk menikmati pemandangan di area hotel yang keindahannya lumayan mengintimidasi itu.

Di tengah perjalanan, istri saya mampir ke toilet yang terletak tak begitu jauh dari lobby. Cukup lama ia berada di dalam situ, sampai-sampai saya selesai mengetik dua paragraf di gawai yang saya bawa. Ketika akhirnya keluar dari toilet, ia bercerita betapa mewahnya toilet itu. Ia berlama-lama di toilet bukan karena sakit perut atau kebutuhan lain, tapi karena mencobai fitur-fitur yang ada pada toilet tersebut.

Fitur-fitur? Iya. Istri saya bercerita bagaimana tutup WC-nya membuka dan menutup sendiri secara otomatis, dudukan WC yang bisa diatur suhunya menjadi hangat dan meniupkan angin (ini teknologi lho, bukan mistis!), dan berbagai fitur lainnya yang bisa diatur lewat layar sentuh. “Canggih!” kata istri saya.

Dasar norak, pikir saya, walau aslinya juga sangat penasaran dengan toilet ajaib itu. Ingin masuk dan melihatnya sendiri, tapi si pengundang sudah tiba di tempat. Lagipula saya juga belum kebelet saat itu. Cerita tentang toilet ini membuat benak saya berkelana. Wong cuma buang air saja, masa iya butuh teknologi canggih nan mewah seperti itu. Padahal yang dibuang ke dalamnya semua sama. Kotoran!

Tapi setelah saya renung-renungkan lagi, perkara toilet ternyata memang tidak bisa sesederhana itu.

***

Secara common sense, urusan buang air (selanjutnya, biar gampang, saya generalisir menjadi BAB) mungkin cuma butuh tiga hal utama: ruangan untuk menjaga privasi, sebuah lubang, dan air yang mengalir.

Konon, orang jaman dulu bisa BAB di mana saja, bahkan di alam terbuka. Tak harus menggunakan air, mereka bisa membersihkan kotorannya dengan daun atau batu. Sedikit lebih maju, di desa-desa masih sering kita temukan toilet umum sederhana dari kayu atau bambu, yang diletakkan menjorok ke atas sungai sehingga kotoran langsung hanyut terbawa air.

Tak jarang, keberadaan WC umum seperti ini mengindikasikan bahwa keluarga-keluarga yang tinggal di sekitarnya masih banyak yang tidak mempunyai WC sendiri di rumahnya. Karena WC dimanfaatkan secara kolektif, BAB juga harus dilakukan sesingkat mungkin karena mesti bergantian dengan warga lain. Berlama-lama di WC umum bisa mengundang pergunjingan, umpatan, bahkan amukan warga. Bisa repot, kan?

Beda peradaban, berbeda pula cara manusia berurusan dengan perkara buang hajat. Sebagaimana halnya dengan orang-orang Romawi Kuno membangun toilet-toilet umumnya. 

Menurut Ann Olga Koloski-Ostrow dalam wawancaranya dengan Smithsonian Magazine, orang-orang Romawi kuno umumnya memiliki toilet di rumahnya masing-masing. Sayangnya, belum ada sistem sanitasi memadai yang tersambung ke rumah-rumah, sehingga menyebabkan kotoran manusia menumpuk di jalanan. Konon, mereka harus membayar seseorang yang pekerjaannya memang membuang kotoran-kotoran itu ke suatu tempat.

Menurut peneliti yang memang secara khusus mempelajari toilet umum Romawi Kuno ini, pemerintah Romawi saat itu membuat toilet-toilet umum agar warga tak harus melewati jalanan penuh tumpukan kotoran setinggi dengkul hanya untuk BAB di rumahnya (jijik, ya). Agar bisa mengurangi kotoran yang menumpuk di jalanan, toilet umum ini dibuat di atas saluran air yang langsung bisa membuang kotorannya ke sungai.

Uniknya, bentuk toilet umum ini sangat berbeda dengan toilet umum yang kita kenal sekarang. Tidak ada bilik-bilik yang memisahkan antara lubang WC satu dengan yang lain. Satu baris tempat duduk bisa berisi empat sampai lima lubang, bahkan lebih. Para pengguna toilet duduk berbarengan dengan jarak yang memungkinkan sikut mereka senggol-senggolan.

Dilihat dari bentuk dan tata letaknya, toilet umum antik ini memungkinkan para penggunanya BAB dengan teramat gayeng. Beberapa peneliti menduga, mereka bisa buang hajat sambil ngobrol, mungkin ngomongin politik lokal atau ngrasani majikannya. 

Setelah hajatnya beres, mereka membersihkan diri dengan tongkat yang diberi spons di ujungnya, yang diduga dipakai bergantian. Waduuuh… nggak higienis blas, ya. Tapi begitulah, konsep gaya hidup higienis memang belum banyak dikenal kala itu.

***

Semakin berkembang peradaban, rupanya kegiatan di WC tidak lagi semata-mata urusan buang air. Ketika orang-orang sudah punya kamar mandi di rumahnya masing-masing, mereka bisa memanfaatkan WC sesuka hatinya, tanpa gangguan orang lain (selain keluarga, tentunya). Walaupun menggunakan WC jongkok, mereka bisa berlama-lama melamun dan mencari inspirasi saat BAB. Tentu saja tergantung seberapa kuat otot-otot kakinya. 

Awalnya memang banyak orang yang terbiasa menggunakan WC jongkok. Tapi sulit dimungkiri bahwa WC duduk memberikan lebih banyak keleluasaan. Dengan melakukannya sambil duduk, tangan kita jadi lebih bebas, tak perlu lagi menjaga keseimbangan badan seperti saat jongkok. Tidak hanya bisa melamun dan mencari inspirasi, WC duduk memungkinkan kita membaca buku, bekerja dengan laptop (saya pernah), atau segala hal yang bisa dilakukan dengan smartphone.

BAB di atas toilet-bowl modern bukan lagi sekadar membuang ampas-ampas dari dalam tubuh, tapi juga menjadi cara untuk mencuri waktu, ketika jeda adalah mitos di era yang serba kebut-kebutan ini.

Terakhir, ada satu lagi hal menarik. Slavoj Zizek, seorang filsuf Marxis asal Slovenia, dalam beberapa kuliah umum menyampaikan analisis anekdotalnya mengenai toilet. Menurutnya, keberhasilan sebuah ideologi bisa tercermin dalam hal-hal keseharian yang amat subtil, contohnya pada bagaimana bangsa-bangsa merancang WC-nya. 

Di Jerman, misalnya, WC model Jerman memiliki bagian mendatar pada lubangnya, sehingga kotoran akan jatuh ke atasnya dan tak bisa masuk ke air kecuali disiram. Bagian mendatar itu berfungsi agar kita bisa menginspeksi (melihat, membaui) kotoran yang kita keluarkan, sehingga kita bisa memperkirakan sesehat apa kondisi kita berdasarkan makanan dan cairan yang kita konsumsi.

Menurut Zizek, rancangan WC yang seperti itu mencerminkan ketelitian observatif orang-orang Jerman. Keahlian bangsa Jerman dalam mengobservasi tidak hanya ditunjukkan oleh filsuf-filsufnya, tapi juga hal sesederhana model WC.

Di Perancis, WC-nya dibuat agar kotoran bisa langsung meluncur ke dalam lubang segera setelah dikeluarkan. Rancangan seperti ini, kata Zizek, mencerminkan ketergesaan dalam budaya yang ditimbulkan Revolusi Perancis.

Sementara itu, WC model Amerika, yang banyak saya lihat di perkantoran Jakarta, adalah perpaduan antara gaya Jerman dan Perancis. WC Amerika selalu buaaanyak airnya, sehingga kotoran kita akan kompal-kampul di atas air sebelum kita flush. Kotorannya bisa kita lihat, tapi tidak ada keharusan untuk menginspeksinya. Kata Zizek, ini mencerminkan pragmatisme dalam ideologi liberal.

Sedangkan toilet umum Jepang mirip dengan toilet canggih yang ada di hotel tadi, walau mungkin tidak semewah itu. Di toilet umum Jepang, kadang ada tombol untuk mengeluarkan suara-suara, gunanya menyamarkan semaraknya bunyi yang muncul saat kita BAB. Agaknya, bunyi-bunyi seperti itu dianggap sebagai bagian dari privasi. Dan kita sudah sering mendengar betapa privasi sangat diutamakan oleh masyarakat Jepang.

Gila, ya. Dari cuma ngomongin WC, bisa lanjut ngomongin sejarah sampai ideologi bangsa-bangsa. Jadi, WC di rumahmu ikut yang model mana, nih? Hehehe.

***

Akhirnya acara makan-makan selesai. Dengan perut kenyang dan hati senang, kami menuju concierge, menunggu petugas valet parking mengembalikan mobil kami. Setelah lima menit, akhirnya mobil kami datang. Saya masuk mobil, memasang sabuk pengaman, dan tancap gas. Baru di saat perjalanan pulang itulah saya kebelet BAB. Sialan, jadi nggak bisa nyobain toilet ajaib di hotel tadi.

Bhagaskoro Pradipto, pemuja keheningan dan ketoprak Jl. Haji Royani.

(red/pap)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *