Trend Media Sosial dan Meningkatnya Kebutuhan Akan Pengakuan

Sepenting itukah pengakuan orang lain untuk hidup kita? Apakah kita perlu mengikuti segala trend yang booming di media sosial?

Beberapa waktu yang lalu, beredar video sekelompok remaja  yang membuat konten dengan menghentikan truk. Nahasnya, salah satu dari mereka tewas mengenaskan, terlindas oleh truk yang mereka hentikan. Para remaja itu membahayakan diri mereka, bahkan mengorbankan nyawa demi konten di media sosial.

Bukan yang pertama, sudah terlalu sering video dan berita yang serupa berseliweran di dunia maya. Tidak hanya remaja, bahkan juga orang-orang dewasa. Demi foto dan video terbaik mereka abai dengan keselamatan.

Sejak internet merajalela, media sosial bermunculan, perkara selfie bukanlah sekedar memfoto diri tetapi menjadi bagian dari eksistensi. Unggah foto terbaik ke media sosial seolah-olah sudah menjadi kebutuhan yang maha penting hingga mengabaikan keselamatan.

***

Dua dekade belakangan ini, dunia berubah dengan sangat cepat, dan internetlah serta media sosial adalah penyebabnya. Hari ini, hampir sebagaian orang telah terhubung dengan internet dan media sosial.

Menurut laporan We Are Social, pengguna aktif media sosial di Indonesia pada awal 2022 berjumlah 191 juta. Jumlah tersebut tumbuh 12,35% dibandingkan tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2021 jumlah jumlah pengguna media sosial di Indonesia adalah 170 juta.

Masih dari laporan yang sama,  aplikasi yang paling banyak digunakan adalah Whatsapp, Instagram, dan Facebook. Prosentase yang mengakses Whatsapp sebesar 88,7, Instagram 84,8 serta Facebook 81,3%. 

Dari data yang ditampilkan di atas, kita bisa melihat betapa besarnya pengguna media sosial di Indonesia. Selain besar, netizen Indonesia juga dinobatkan sebagai salah satu netizen teraktif, yaitu menempati posisi empat.

Berbagai jenis unggahan dan konten dapat kita temukan dari unggahan edukatif sampai unggahan yang sifatnya pamer semata. Unggahan-unggahan pamer di media sosial atau “flexing” makin marak.

Ada berbagai cara untuk pamer di media sosial. Bagi yang tajir bisa dengan memamerkan barang branded. Bagi yang tidak punya barang branded, masih ada cara lain dengan memposting prestasi anak misalnya. Yang punya wajah cakep bisa narsis dengan memajang foto-fotonya. Dan bagi yang tidak punya semua potensi di atas, jangan khawatir, Anda bisa lakukan tindakan nekat yang orang lain tidak berani lakukan, salah satunya seperti yang dilakukan sekelompok remaja tadi.

Bila kita telisik lebih dalam lagi, berbagai unggahan pamer tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mendapat pengakuan dari orang lain dalam bentuk like atau komentar-komentar sanjungan.

***

Salah seorang tokoh psikologi, Abraham Maslow, menyusun teori yang disebut sebagai Psikologi Humanisme. Menurut psikologi humanisme, setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tersusun secara hierarkis atau bertingkat, di mulai dari kebutuhan yang paling dasar sampai yang paling tinggi.

Dimulai dari kebutuhan fisiologis (physiological need), kebutuhan akan rasa aman (safety need), kebutuhan dicintai dan disayangi (belongingness need), kebutuhan harga diri dan diakui (esteem need), dan kebutuhan aktualisasi diri (self actualization need).

Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling dasar untuk dipenuhi. Kebutuhan ini adalah kebutuhan yang sifatnya mutlak seperti makan, minum, tidur, oksigen dan kebutuhan dasar lainnya. 

Kebutuhan rasa aman, merupakan kebutuhan untuk terhindar dari situasi yang mengancam, seperti cemas,bahaya, takut serta situasi mengancam lainnya. 

Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, merupakan kebutuhan manusia untuk menjalin hubungan emosional yang hangat dan akrab dengan orang lain. 

Kebutuhan yang keempat adalah kebutuhan akan harga diri, atau dengan kata lain adalah kebutuhan akan pengakuan dari orang lain. Sedangkan kebutuhan yang tertinggi adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. 

Dari pandangan psikologi humanisme tersebut, kita dapat melihat bahwa esteem need atau kebutuhan akan harga diri berada pada level empat. Artinya, secara teori kebutuhan tersebut akan kita penuhi setelah kita memenuhi kebutuhan yang lebih dasar, yaitu kebutuhan fisiologi, kebutuhan rasa aman, dan kebutuhan untuk dicintai disayangi.

***

Berbagai unggahan yang berkeliaran di media sosial bisa jadi bertentangan dengan teori kebutuhan tersebut. Hal tersebut bisa kita lihat dari beredarnya banyak video konyol dan membahayakan diri yang beredar di media sosial.

Di tahun 2022, beberapa kali beredar berita orang-orang yang tewas tersambar kereta saat sedang selfie. Lalu ada juga mahasiswa yang tewas tercebur bendungan demi selfie. Bahkan, ada 2 orang nenek-nenek yang tewas terseret arus salah satu pantai di Sukabumi saat asyik selfie. 

Pada kasus lain, sempat ramai di negeri ini, para selebgram yang pamer barang mewah di media sosial. Namun, pada akhirnya terungkap modal mereka membeli barang mewah tersebut berasal dari penipuan, sehingga hidup mereka berakhir di sel tahanan.

Masih belum cukup, bertebaran tantangan atau challenge di media sosial, berbondong-bondong orang melaksanakan challenge tersebut. Tantangan-tantangan itu, terkadang ada yang membahayakan keselamatan jiwa atau bisa juga melanggar norma susila. Tetapi anehnya, banyak orang yang melakukanya dengan suka rela demi konten semata.

Melihat berbagai kejadian di atas dapat ditafsirkan bahwa kebutuhan akan pengakuan, terutama di media sosial membuat banyak orang mengabaikan kebutuhan yang lebih dasar. Mereka mengabaikan kebutuhan lain yang secara teori lebih mendasar yaitu rasa aman.

Memang, perilaku semacam ini bukan suatu hal yang baru. Di masa sebelum media sosial booming, kita juga bisa melihat, banyak orang yang melakukan aktivitas berbahaya, olahraga ekstrim misalnya. Seperti trail atau mendaki gunung yang juga mempertaruhkan nyawa.

Tetapi bisa saya katakan, di era sebelum media sosial, orang yang melakukan itu dorongannya bukan untuk mengejar pengakuan orang lain tapi lebih ke dorongan internal hobi misalnya. Dan tentunya, mereka sudah dibekali dengan ketrampilan dan sarana keamanan. Sehingga bisa dikatakan dorongan mereka bukanlah esteem need tetapi self actualization need.

***

Dalam pandangan psikologi behaviour, perilaku merupakan hasil interaksi, antara stimulus (lingkungan) dan respon. Internet menyediakan berbagai aplikasi media sosial dengan banyaknya orang yang dapat mengakses internet. Hal itu memberikan peluang yang sama kepada setiap orang untuk menampilkan dirinya ke publik.

Like dan komen menjadi reward, dari postingan. Apabila ada satu postingan yang viral dan banyak mendapat like serta komen, maka dengan cepat perilaku tersebut akan ditiru oleh orang lain.

Dengan begitu, hari ini kita bisa melihat, seolah-olah pengakuan dari orang lain (esteem need) adalah segala-galanya, menjadi kebutuhan yang sangat penting. Banyak orang melakukan tindakan konyol, dan bahkan membahayakan jiwa, atas nama pengakuan.

Pada akhirnya, kita bisa bertanya kepada diri sendiri, sepenting itukah pengakuan orang lain untuk hidup kita? Apakah kita perlu mengikuti segala trend yang booming di media sosial? Dan, jawabannya ada dalam kepala kita masing-masing.

Sigit Purwanto. Pekerja kantoran, tinggal si pinggiran Sidoarjo.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *