Tingginya Biaya Pengamanan Penyebab Eksekusi Putusan Pengadilan Terhambat

ghibahin

“Membengkaknya biaya pengamanan mengakibatkan putusan pengadilan hanya menjadi semacam macan kertas belaka.”

Saya bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri Raha sejak April tahun 2021. Mahkota seorang ketua adalah keberhasilannya dalam melaksanakan eksekusi putusan. Akan tetapi, semua itu tak semudah membalik telapak tangan. Penyebabnya, dalam tataran praktik, kami sering dihadapkan pada kendala, yaitu membengkaknya biaya pengamanan.

Jenis eksekusi putusan yang membutuhkan biaya ekstra tinggi adalah eksekusi pengosongan tanah. Terlebih lagi, jika di atasnya ada tanaman atau bangunan permanen. Dengan adanya eksekusi paksa, maka tanaman dan bangunan tersebut wajib dibersihkan dan diratakan dengan tanah. Ini akan menimbulkan kerawanan, permasalahan baru, dan biayanya yang juga sangat besar. 

Saya merasa prihatin, berangkat dari fakta bahwa tersendatnya pelaksanaan eksekusi perkara Nomor 7/Pdt.G/2018/PN Rah, di Buton Utara, juga terhambat karena masalah negosiasi biaya pengamanan yang tak kunjung usai. Permohonan eksekusi telah diajukan pada tanggal 18 Februari 2020, namun terkatung-katung hingga saat ini karena masalah biaya yang tak kunjung deal antara pemohon dan pihak keamanan.

Terbengkalainya eksekusi pengosongan yang disebabkan masalah biaya dialami oleh hampir semua pengadilan yang berada di wilayah Sulawesi Tenggara. Terlebih lagi, dengan terungkapnya nilai fantastis biaya yang harus dibayarkan oleh pemohon, membuatnya enggan untuk melanjutkan proses itu.

Pernah suatu saat, saya berbincang dengan pihak keamanan, tentang alotnya mencapai kesepakatan biaya pengamanan. Dari perbincangan ini, saya mengetahui bahwa ternyata perkara ini sangatlah pelik. Pemohon menghendaki supaya eksekusi dilaksanakan dengan biaya yang murah, akan tetapi pihak keamanan dihadapkan pada kenyataan bahwa tingkat kerawanan yang tinggi membutuhkan biaya yang tinggi pula.

Semakin rawan kondisi keamanannya, maka biaya eksekusi juga akan melambung, karena tingkat risiko yang dihadapi pihak keamanan juga sangat besar. Untuk mengantisipasi tingkat risiko yang besar, pihak keamanan tentu akan mengerahkan lebih banyak personil. Kalau sudah begitu, tingginya biaya tidak bisa dihindarkan.

Melambungnya biaya pengamanan menjadi obrolan hangat di antara para pencari keadilan. Pemohon eksekusi sering berkeluh kesah terkait tingginya biaya pengamanan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa terkadang biaya pengamanan lebih besar daripada nilai objek sengketa. Masyarakat yang sudah dihadapkan pada melelahkannya proses peradilan, masih harus dirintangi oleh alotnya negosiasi biaya eksekusi yang fantastis nilainya.

Membengkaknya biaya pengamanan mengakibatkan putusan pengadilan hanya menjadi semacam macan kertas belaka. Tegas dan jelas di putusan, namun ompong dalam pelaksanaan. Ketidakjelasan penentuan standar biaya yang pasti, malah menjadikan asas peradilan–yang katanya sederhana, cepat, dan berbiaya ringan–menjadi isapan jempol belaka. Menyedihkan. 

Hal tersebut berdampak pula pada terhambatnya keseluruhan proses eksekusi di badan peradilan. Lambatnya pelaksanaan eksekusi tidak hanya dialami oleh pengadilan di wilayah hukum Sulawesi Tenggara, tetapi hampir merata di setiap wilayah peradilan.

Ini adalah pekerjaan rumah yang tak mudah dan harus segera dicari solusinya. Bukan hanya menjadi permasalahan internal badan peradilan, tetapi isu ini juga menjadi masalah besar bagi masyarakat. Pemohon eksekusi menjadi korban dari buramnya kepastian hukum yang seharusnya didapatkan. Hak masyarakat atas jaminan pelaksanaan putusan menjadi terabaikan.

Problem dunia peradilan kita ternyata begitu kompleks. Pemohon eksekusi yang telah melalui persidangan yang panjang, tentunya juga terkuras tenaga, pikiran, dan dananya. Belum lagi jika perkara yang bersangkutan diajukan upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjaun kembali. Hal ini ini akan memperpanjang perjalanan yang harus dilewati oleh pemohon.

Saya menyodorkan problem mahalnya biaya eksekusi bukan bermaksud membuat yang sudah rumit menjadi lebih rumit. Namun coba bayangkan, di saat pemohon sudah pusing tujuh keliling setiap kali bersidang, putusan menang yang sudah dijatuhkan malah tidak dapat dieksekusi. Bayangkan.

Dalam situasi seperti ini, ingin rasanya saya mengadu kepada negara untuk memberikan solusinya. Sayangnya, negara masih sibuk dengan urusan pandemi. Perkara percaloan paspor yang sempat saya lontarkan juga belum tuntas sampai saat ini. Ditambah lagi negara masih harus mengurus tingginya biaya eksekusi. Ah, entahlah. 

Meski demikian, menurut saya, sebenarnya masalah ini cukup diselesaikan oleh ekosistem pelaksana negosiasi biaya eksekusi. Terlebih untuk pihak keamanan. Saya tidak tahu persis bagaimana cara pastinya, akan tetapi kiranya pihak keamanan dapat membuat aturan standar baku yang mengatur biaya pelaksanaan eksekusi pengosongan dengan variabel rawan atau tidaknya perkara yang diajukan, layaknya panjar biaya perkara di pengadilan.

Dengan adanya aturan standardisasi biaya eksekusi pengosongan, maka akan memberikan kepastian bagi pemohon eksekusi, tidak terkatung-katung hanya untuk membahas nominal biaya eksekusi. Keberadaan aturan standardisasi biaya eksekusi jelas akan memberikan kepastian, daripada taksiran biaya yang asal-asalan dan tak berdasar pada kerawanan yang mungkin timbul. 

Dengan demikian, kepastian pengeluaran yang mesti disediakan oleh pemohon akan lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Terlebih jikalau ada sisa dari biaya tersebut, maka sisanya akan dikembalikan lagi kepada pemohon eksekusi.

Semoga pekerjaan rumah ini segera tuntas.

Muhammad Sukamto, Hakim Pengadilan Negeri Raha.

[red/yes-bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *