Tiga Hal Yang Bikin Ngelus Dada Ketika Nakes Sedang Halalbihalal

ghibahin

“Perlu waktu yang tepat dan kata-kata yang pas supaya kata-kata saya bisa masuk dan tidak terkesan menggurui.”

Ada beberapa hal yang membuat saya kesal ketika momen lebaran kemarin. Walaupun saya juga tidak boleh serta merta menyalahkan, sebelum tahu betul apa yang menjadi masalah orang-orang yang bikin saya kesal itu. Tapi yang namanya kesal, tetap muncul begitu saja. Ngelus dada tenan slur!

Akibatnya, saya harus pintar-pintar menyimpan perasaan mangkel di balik senyum palsu. Coba saya bedah tiga perilaku tetangga dan saudara saya yang bikin geram yang perlu studi lanjut untuk mengatasinya.

#1 Orang dengan Tuberkulosis tapi Pede Banget Pakai Obat Herbal

Satu waktu, saya bertandang ke rumah tetangga jauh yang sakit batuk cukup lama. Dalam hati, saya sudah mengira kalau tetangga jauh saya ini menderita tuberkulosis paru.Dengan pikiran positif, saya sangat yakin kalau tetangga jauh saya ini telah memeriksakan diri dan mendapat pengobatan.

Ternyata, tebakan saya kurang tepat. Walaupun sudah memeriksakan diri dan telah melakukan foto dada untuk melihat paru-parunya, tapi dia tidak mau melakukan pengobatan.

Tetangga jauh saya tadi sebenarnya sudah pernah minum obat tuberkulosis. Tetapi, karena tidak kuat dengan efek mual muntah. Secara sepihak, dia menghentikannya. Padahal, efek mual muntah ini sudah wajar terjadi pada sebagian orang yang melakukan pengobatan tuberkulosis. Walaupun begitu, pemberian obat antituberkulosis tidak bisa dihentikan seenaknya.

Jika minumnya suka-suka, maka bakteri lama-lama bisa resisten dan memerlukan kategori pengobatan yang lebih tinggi. Pun, kalau memang ada efek samping seperti mual, pasien tadi bisa pergi ke Puskesmas untuk mendapatkan obat antimual. Dan kalau memang obat antituberkulosis tadi menimbulkan efek samping yang parah, obat dan cara minumnya bisa diatur kembali.

Yang bikin saya makin sedih, tetangga jauh saya tadi malah memilih minum obat herbal yang menurutnya lebih bisa memberikan kenyamanan.

Kalau memang obat tersebut memiliki khasiat menyembuhkan tuberkulosis. Seharusnya WHO lebih memilih obat herbal tadi daripada obat antituberkulosis, bukan?

Sayangnya, obat herbal tersebut dia beli dengan harga yang cukup mahal. Mengenaskan, mengingat obat antituberkulosis bisa didapatkan dengan gratis di Puskesmas. Lebih mencekam, pasien dan keluarga sepenuhnya paham kalau obat antituberkulosis bisa didapatkan dengan gratis di Puskesmas.

Entah siapa yang patut disalahkan. Pada keadaan tersebut, saya mengucap selamat kepada sales dan produsen obat herbal yang sukses besar. Alih-alih mengarahkan produk mereka menjadi pendamping obat antituberkulosis, mereka justru mampu membuat pasien percaya bahwa obat herbal tadi bisa digunakan sebagai terapi tunggal.

Di sisi lain, ada pula kemungkinan kalau pasien tadi memang sengaja minum obat herbal, murni atas kemauannya sendiri.

#2 Orang yang Punya Hipertensi dan Diabetes tapi Ngotot

“Saya punya hipertensi mas, tapi sekarang sudah tidak minum obat.” Begitu kalimat yang diucapkan saudara jauh saya. Saya pun balik bertanya.

“Lho kenapa nggak diminum? Betul, sama sekali nggak diminum?” balas saya dengan raut muka sok tenang.

“Ya, kadang saya minum Mas, kalau pusing.”

Pada titik ini saya terdiam.

Ada pula saudara jauh saya yang lain.

“Gula saya pernah tinggi Mas, ini saya sudah tidak minum obat lagi.”

“Tapi sampean beratnya apa masih berkurang Pak?” sanggah saya.

“Iya, ini masih turun terus.”

Saya pun jadi berpikir keras untuk memberikan pengertian yang tidak menyinggung saudara-saudara jauh saya tadi. Bukannya apa, tapi munculnya pusing pada penderita darah tinggi, dan masih turunnya berat badan pada orang dengan diabetes itu, menunjukan kalau dua penyakit tadi belum terkontrol dengan baik.

Padahal kalau terus dibiarkan, hipertensi tadi lama-lama bisa merusak tiga target organ, pertama otak, kedua jantung, ketiga ginjal.

Sudah sering dengar kan? Ada orang yang tiba-tiba stroke, atau serangan jantung, atau malah gagal ginjal, yang jika ditelusuri ke belakang, ternyata menderita hipertensi yang cukup lama. Bukan cuma satu dua tahun, namun bertahun-tahun.

Demikian juga pada orang yang punya diabetes yang tidak terkontrol. Tiba-tiba setelah absen minum obat lama, mereka datang karena luka di kaki yang nggak kunjung sembuh. Kadang juga tergeletak lemas karena kadar gula darah yang terlalu tinggi.

Tidak seperti pegal linu, hipertensi dan diabetes memang perlu pengobatan yang terus-menerus. Kadang ada pasien yang khawatir kalau ginjalnya bakal rusak kalau mereka minum obat terus menerus.

Padahal, obat-obat hipertensi dan diabetes tadi justru melindungi ginjal. Lewat tekanan darah dan gula darah yang terkontrol, ginjal tidak akan menanggung beban untuk menerima tekanan tinggi dan beban pengeluaran gula berlebih.

Beda dengan obat lain, misalnya anti nyeri non steroid seperti ibuprofen atau asam mefenamat. Penggunaannya dengan jangka waktu yang panjang memang mempengaruhi ginjal.

Jadi, sebelum terjebak asumsi, baiknya Anda bertanya dulu ke tenaga kesehatan. Kalau malu atau tidak punya kenalan, Anda bisa memulainya dengan bertanya pada Google. Toh, tenaga kesehatan yang punya media sosial di era ini juga sudah bejibun kan?

#3 Orang-orang yang Hanya Ingin Mendengar Pembenaran dari Perilaku Kurang Sehat Mereka

“Saya kalau merokok, itu bisa lebih fokus Mas.”

Lain waktu saya juga mendengar:

“Kalau nongkrong, terus nggak merokok itu, malah bingung. Masa ngemil terus?”

Lebih mengesalkan lagi, ada yang bilang begini:

“Yang merokok itu lho, malah nggak kena Covid.”

Ketiga pernyataan tadi memang tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Pada situasi yang memaksa untuk bekerja keras, merokok memang bisa meningkatkan fokus.

Dalam situasi obrolan yang lagi panas waktu di warung kopi, memang iya. Merokok bisa membuat obrolan makin gayeng dan si perokok tidak perlu mengunyah banyak gorengan.

Dalam kasus Covid pun, hal tersebut masih dalam perdebatan. Namun, jika paru-paru sudah terlanjur rusak karena perilaku merokok yang sudah cukup lama. Maka gejala yang lebih parah tentu memiliki kemungkinan yang besar untuk terjadi.

Ya, walaupun tiap orang memiliki sensasi dan testimoninya sendiri terhadap rokok. Penggunaan yang terus menerus selama berpuluh-puluh tahun, perlahan akan merusak paru-paru secara permanen.

Anda sering melihat bukan, orang lanjut usia perokok aktif yang kurus dengan rongga dada yang tampak membusung, disertai bekas tarikan nafas yang tampak jelas di sela-sela tulang dadanya? Kalau susah membayangkan, coba Anda cari di Google image dengan keyword barrel chest COPD.

Dengan mencari pembenaran dari nakes. Kemungkinan-kemungkinan tadi tetap tidak bisa disingkirkan begitu saja, bukan?

***

Tiga hal tadi memang membuat saya pusing. Dan tampaknya saya tidak bisa kalau langsung memberikan perlawanan di tempat. Perlu waktu yang tepat dan kata-kata yang pas supaya kata-kata saya bisa masuk dan tidak terkesan menggurui.

Tapi ya nggak apa-apa, setidaknya pengalaman tersebut bisa saya sebarkan di sini. Sebagai konten. Hehehe. (red/rien)

Prima Ardiansah, dokter yang suka menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *