Tekanan Sosial Bernama Kegemaran

Bullying

“Saya juga merasa tidak semestinya ikut tersinggung ketika sebuah kelompok meninggalkan saya karena keterbatasan saya yang tidak bisa mengikuti bahan obrolan mereka.”

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah berita tentang seorang wanita di Indramayu yang dikucilkan tetangga dan teman kantornya karena tidak pernah menonton sebuah siaran sinetron di televisi. Saya jadi ingat kejadian yang saya alami bertahun-tahun yang lalu, yang mirip dengan kejadian itu.

Waktu saya masih SMP atau SD (saya lupa), sandiwara radio sedang nge-trend dan menjadi menu hiburan sehari-hari banyak orang. Anda yang seumuran dengan saya mungkin kenal judul-judul sandiwara radio seperti Saur Sepuh, Babad Tanah Leluhur, Misteri Gunung Merapi, Tutur Tinular, dan lainnya. Saya dan orang-orang di sekitar saya nyaris suka semua judul.

Sebalnya, episode terbaru sandiwara radio itu diputar di waktu yang pagi banget atau malam banget. Serial Saur Sepuh dan Tutur Tinular diputar di waktu subuh, sedangkan Misteri Gunung Merapi diputar di pukul sembilan atau sepuluh malam. Ini jadi dilema buat saya. Kalau saya mendengarkan episode yang diputar malam hari, karena ceritanya menakutkan, saya jadi susah tidur, akibatnya keesokan hari saya akan kesiangan dan ketinggalan episode sandiwara radio yang diputar di pagi hari. Begitu juga sebaliknya. Parahnya, kalau tidak mendengarkan keduanya, saya jadi cengok keesokan harinya.

Pernah beberapa kali saya kesiangan atau ketiduran sehingga saya melewatkan episode terbaru di hari tersebut. Rasanya sungguh tidak menyenangkan, saya hanya bisa menjadi pendengar ketika teman-teman saya bergosip, mau ikutan ngomong nggak punya bahan, wong belum mendengarkan. Diam saja, kok rasanya saya kudet banget. 

Percayalah, bagi ABG, kudet itu sangat menyebalkan, meski itu hanya tentang satu episode drama radio.

Tapi, ternyata bukan hanya saya yang sebal ketika saya tidak bisa mendengarkan episode di hari itu, teman-teman saya juga ikut sebal, karena acara menggosip kami jadi kurang greget. Mereka akan ngomel karena saya bakal meminta mereka bercerita panjang lebar tentang episode di hari itu. Padahal itu juga supaya saya bisa ikutan ngobrol. Tentu saja cerita mereka hanya singkat dan saya nggak dapat feel-nya. Akhirnya acara gosip kami jadi kurang seru.

Lama-lama, karena saya makin sering kesiangan atau ketiduran sehingga kehilangan episode terbaru, teman-teman jadi agak malas ngobrol sama saya. Saya jadi merasa terkucil dalam hal sandiwara radio itu, meski dalam hal lain, saya nggak merasa terkucil sama sekali.

Ternyata, fenomena kejengkelan orang lain karena kita nggak bisa relate sama bahan gosip kelompok mereka itu juga masih saya alami sampai sekarang. Saya nggak bisa relate dengan teman-teman yang suka nonton sinetron, film, drakor atau dracin yang saya nggak terlalu suka. Kini, saya lebih suka membaca buku daripada nonton, dan ternyata menemukan teman yang suka membaca di era sekarang ini cukup sulit, apalagi dengan jenis buku yang saya minati.

Apakah ini termasuk tindakan bullying? Dulu saya akan menjawab iya, karena saya memang merasa merana. Tapi sekarang, entahlah, saya nggak bilang begitu lagi karena saya sadar kekurangan saya dalam hal ini. Apalagi saya juga merasakan tidak nyaman ketika ada teman yang nggak nyambung dengan pembicaraan saya.

Saya juga merasa tidak semestinya ikut tersinggung ketika sebuah kelompok meninggalkan saya karena keterbatasan saya yang tidak bisa mengikuti bahan obrolan mereka. Wajar sekali, bukan? Kalau mereka tidak menganggap saya karena saya tidak nyambung dengan obrolan mereka.

Daripada merana karena perasaan ditinggalkan, saya lebih memilih mencari kelompok baru yang bisa memahami minat saya, meski itu hanya teman di dunia maya seperti Facebook. Saya juga mencari komunitas dengan ikut kelas-kelas yang sejalan dengan minat saya, seperti kelas menulis. Dengan begini, perasaan merasa ditinggalkan itu berkurang.

Bukan berarti kemudian saya meninggalkan kelompok terdahulu, selama mereka masih mau menerima keikutsertaan saya, saya tetap bergabung. Walaupun hanya sebagai penggembira. Kalau mereka menolak, ya sudah, tinggalkan saja. Hahaha.

Hal ini mudah saya lakukan karena lingkungan saya tidak terlalu cair seperti di desa-desa. Kalau saya hidup di desa, mungkin tidak semudah itu. 

Kakak ipar saya yang hidup di desa, yang mana omongan tetangga masih harus didengarkan, dia tidak bisa bersikap cuek seperti saya. Apalagi ketika ada perbedaan “kegemaran” dengan kelompok ibu-ibu di sekitarnya. Dia terpaksa harus mengalah dan mengikuti kegemaran kelompoknya.

Sialnya, kesempatan kakak ipar saya mencari kelompok baru juga tidak sebesar saya, karena kesibukannya mengurus sawah. Saya bisa menjamin, ketika saya tanya perihal pembulian, kakak ipar saya akan menjawab bahwa tindakan pengasingan oleh tetangganya adalah tindakan bullying. Karena dia merasa benar-benar merana.

Di satu sisi, budaya guyub yang dilakukan masyarakat desa memberi peran signifikan ketika kita membutuhkan bantuan. Namun, di sisi lain ternyata budaya ini juga membuat kita tidak bisa bebas menjadi diri sendiri. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus ikut menjadi anggota kawanan.

Keputusan saya untuk mencari komunitas yang minatnya sama dengan saya juga tidak berarti saya bebas dari tekanan kelompok. Beda antara saya dan kakak ipar saya hanyalah saya bisa agak bebas memilih kawanan yang mau saya ikuti, sedangkan dia tidak.

Hal ini juga terjadi kepada suami saya, dia bukan penggemar sepak bola, satu hal yang dianggap sebagai representasi hobi laki-laki. Tidak satupun bintang sepak bola terkenal dengan gaji bermilyar-milyar dia tahu, apalagi klub  sepak bola.

Di hari-hari biasa, ketidaksukaan suami saya ini tidak menjadi masalah. Tetapi, ketika musim piala dunia di mana seluruh penduduk dunia sibuk memperbincangkan kegiatan menggelikan berupa perebutan satu bola oleh dua puluh dua laki-laki. Kini dia merasa sangat tersisih, apalagi euphoria ini menyebabkan perbincangan teman-teman sekantor sering melebar ke arah sana.

Supaya tidak terlalu tersisih, dia terpaksa ikut nonton. Karena provider televisi di rumah saya tidak menyiarkan Piala Dunia, dia terpaksa membeli antena indoor. Dia memelototi pertandingan di televisi yang layarnya kepyur itu, juga mengorbankan waktu tidurnya agar bisa nonton siaran pertandingan yang sebenarnya tidak disukai. Kalau dia ketiduran ketika menonton pertandingan yang terlalu membosankan baginya, besoknya dia harus mencari berita hasil pertandingan.

Lihatlah, bahkan sebuah kegemaran yang sama bisa menjadi alat tekanan sosial.

Dengan cara yang sama pula, agama menjadi alat sosial untuk menekan seseorang agar mengikuti kelompoknya. Seseorang yang tidak mau mengikuti pola yang sama, akan disingkirkan, atau minimal dikucilkan. Ketika dia sudah merasa tertekan karena tidak punya teman, mau tidak mau, dia akan masuk ke kerumunan. Daripada dia tidak punya teman, lebih baik dia jadi anggota meski jiwanya memberontak.

Diam-diam, saya jadi ingat Gus Dur. Saya merasa kelemahan atau kelebihan Gus Dur itu tergantung dari sudut pandang masing-masing orang. Karena beliau orang yang bebas, beliau ingin berdiri di atas semua golongan, beliau tidak mau mengikuti salah satu golongan, juga tidak mau jadi anggota sebuah kawanan. Dan akibatnya, beliau disingkirkan. [red/rin]

Luluk Choiriyah, penulis tinggal di Tangsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *