Tarawih, Ibadah Spiritual atau Sosial?

ghibah

“Meski begitu, saya tetap memaksa diri untuk berangkat tarawih, bagaimanapun bentuk niat saya.”

Sudah dua hari ini saya tidak bisa ikut jamaah shalat tarawih di mushola sebelah. Penyebabnya hanya sederhana, sakit gigi. Saking sakitnya, saya sampai mesti rutin berkumur dengan air hangat bercampur garam. Bukan malah reda, tapi semakin menyiksa kala air garam itu saya buang.

Waktu tarawih telah usai, dan saya sengaja keluar rumah untuk membeli obat pereda nyeri untuk gigi saya. Kebetulan, di perjalanan saya berpapasan dengan Kang Rohim, imam shalat di mushola. Saya berhenti untuk sekadar mengabarkan mengapa saya tidak mengikuti jamaah shalat tarawih.

“Maaf, Kang, sudah dua hari ini gigiku sakit,” kata saya agak keras karena jarak kami agak jauh.

“Inggih, Mas.”

Setelah kembali di rumah, saya bergegas meminum obat itu di depan teras rumah. Sengaja, karena saya suka sekali melamun di teras rumah. Tiba-tiba, saya merenung memikirkan kembali mengapa saya harus “pamit” untuk tidak melaksanakan jamaah tarawih. Bukankah cukup dengan tidak hadir begitu saja tanpa ada kabar apapun. Toh, saya juga bukan seorang bilal, apalagi seorang imam. Saya hanya seorang jamaah baru yang datang dari perantauan.

Lamat-lamat saya menemukan jawabannya. Sebuah pengakuan. Saya mengikuti shalat tarawih sepertinya bukan karena iman, pun bukan karena ingin mendapatkan pahala-Nya. Saya hanya ingin diakui secara sosial bahwa saya ada, eksis, dan mendapat pengakuan atas kehadiran saya dalam jamaah tarawih.

Ada semacam dorongan dari luar yang menyebabkan saya tergerak untuk melangkah menuju mushola. Alih-alih didorong oleh kesadaran diri, keimanan, atau keinginan meneladani Nabi Muhammad SAW, saya justru didorong oleh rasa malu, karena dengan tidak menghadiri tarawih, saya jadi tampak tidak selaras dengan mereka yang menghadirinya.

Benarkah demikian adanya?

Ya, paling tidak itulah yang saya rasakan. Sebagai seorang pendatang, saya membutuhkan seorang kawan atau tetangga yang kelak bisa saya mintai pertolongan. Untuk itu, saya perlu merasa perlu menyelaraskan diri dengan mereka, sehingga saya bisa diterima di lingkungan baru yang saya tempati.

Dan saya mengalaminya belum lama ini. Saat itu, saya membutuhkan seseorang untuk membantu mengecat genteng rumah saya. Siapa lagi yang saya mintai tolong, kalau bukan teman yang ada di sini atau tetangga di sebelah rumah saya. Dan itu semua saya dapatkan dengan berusaha menyelaraskan diri, ikut berkegiatan dengan mereka, mengikuti shalat tarawih, atau bahkan cangkruk, jagongan selepasnya.

Saya merasakan bahwa momentum ini begitu berharga bagi saya sebagai seorang perantau, agar bisa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Manfaatnya pun saya rasakan langsung dan tidak perlu menunggu Hari Pembalasan.

Dengan tarawih, saya jadi mengenal banyak orang dengan berbagai karakternya. Ada Bu Samui, tetangga yang tinggal satu blok dengan saya, yang selalu penasaran dengan pemilik rumah yang belum dihuni. Meskipun Bu Sam tidak pernah mengikuti jamaah shalat tarawih karena (mungkin) perbedaan keyakinan, saya mengenal beliau saat pulang dari mushala dan ngobrol sejenak di depan rumahnya. 

Juga ada Mas Alfan yang sering mampir ke perumahan karena mengunjungi adiknya yang sedang hamil besar. Informasi-informasi semacam ini bisa jadi tidak begitu penting, tapi bahwa saya mengetahuinya menandai usaha saya untuk bisa diterima dalam lingkungan ini.

Selain itu, saya jadi tahu pengalaman para penghuni rumah yang memakai jasa pemborong untuk merenovasi rumah mereka. Ternyata ada beberapa pemborong yang tidak recomended, yang mestinya akan saya hindari untuk menggunakan jasanya. Info-info seperti ini lagi-lagi sangat berharga, bagi siapa lagi, kalau bukan buat saya sendiri.

Hmmmm …, benar kata seorang sejarawan, agama “diciptakan” untuk menyatukan sapiens. Bukan, bukan tentang penciptaan agamanya. Maksud saya, agama memang punya peran penting dalam menyatukan umat manusia.

Bagi saya, ritual ibadah yang dilakukan dengan berjamaah, selain mengekspresikan manusia sebagai hamba Tuhan, juga mengekspresikan sifat manusia yang membutuhkan manusia yang lain. Sebagai contoh sederhana, imam membutuhkan makmum, misalnya. Mana mungkin seseorang menjadi imam tanpa ada makmum?

Dulu, di pesantren, saya pernah belajar sebuah hadis yang diriwayatkan secara mutawatir, “Segala perbuatan bergantung pada niatnya, setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” Nabi Muhammad bahkan menegaskan dengan kalimat selanjutnya, “Maka siapapun yang hijrah (dari Makkah ke Madinah) bertujuan untuk menggapai dunia atau untuk perempuan yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya hanya untuk itu semua.”

Saya tahu betul, bila saya beribadah tarawih, dengan niatan demi menjalin keakraban sosial, maka yang saya dapatkan hanyalah keakraban sosial itu saja. Dengan demikian, saya tak pantas lagi mengharapkan pahala ibadah. Meski begitu, saya tetap memaksa diri untuk berangkat tarawih, bagaimanapun bentuk niat saya.

Lha mau bagaimana lagi? Efek langsung di dunia lebih menggiurkan daripada pahala yang entah kapan saya bisa menerimanya.

Seketika itu juga saya pasrah, menyerahkan segala janji pahala kepada-Nya. Sambil tetap nyangkruk di mushola, dengan mengajak anak saya yang kemarin sempat ngompol di sajadah saya itu. [red/bp]

Ahmad Natsir, pejuang fidyah tinggal di ennatsir@gmail.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *