Tak Semua Orang Bisa Turut Berduka, dan Itu Tak Mengapa

ghibahin

“Faktanya, memang tak semua orang bisa dengan mudah merasa berduka, kok. Perasaan nggak relate dengan berita-berita sedih tak bisa serta merta menjadi tanda bahwa seseorang minim empati.”

Belum lama ini, ada dua berita sedih yang mendominasi linimasa media sosial. Kesedihan ini berbeda dari perasaan yang sering muncul saat jumlah pasien Covid-19 masih tinggi. Kedua berita sedih tersebut datang dari sosok-sosok penting di Indonesia. 

Duka pertama muncul saat Buya Syafi’i Maarif berpulang. Banyak obituari yang mengiringi kepergian beliau. Kisah-kisah tentang kesederhanaan beliau banyak diunggah di media sosial, bahkan hingga sepekan setelah Buya berpulang. Mereka yang kehilangan sosok Buya, merasakan duka selayaknya kehilangan ayah kandung. Saya pun sempat membuat obituari walau saya tak mengenal Buya secara pribadi. 

Lalu duka kedua muncul saat Atalia Praratya mengunggah ucapan perpisahannya dengan Emmiril Khan Mumtadz, putranya, yang hanyut di Sungai Aare, Bern, Swiss. Kesedihan kembali menyelimuti media sosial. Banyak yang menceritakan kisah pribadi tentang rasanya kehilangan anak. Tulisan Atalia telah mengajak banyak orang untuk larut merasakan duka mendalam keluarga Ridwan Kamil. 

Kedua berita duka tersebut menyita perhatian warganet. Keduanya bahkan tidak tenggelam atau tertutupi oleh kabar gembira pernikahan Maudy Ayunda, pernikahan Eva Celia, ataupun kemenangan gugatan persidangan Johnny Depp terhadap Amber Heard. Seakan semua orang terlarut dalam duka yang mendalam. Postingan duka berhamburan di linimasa. Ekspresi kesedihan menguar di mana-mana. 

Di saat itu, seorang teman berkata pada saya bahwa ia sulit untuk turut bergabung dalam gelombang kesedihan. Alih-alih ikut tenggelam dalam duka, ia justru berharap Ridwan Kamil masih berkenan mengabdi untuk Indonesia setelah apa yang dialami beliau. Teman saya sempat berkata bahwa ia merasa egois. Padahal, sebenarnya tak apa-apa, lho, kalau tak ikut berduka. 

Ikut bersedih atas berita duka adalah hal yang wajar. Demikian juga untuk tidak ikut sedih atas berita duka. Faktanya, memang tak semua orang bisa dengan mudah merasa berduka, kok. Perasaan nggak relate dengan berita-berita sedih tak bisa serta merta menjadi tanda bahwa seseorang minim empati. 

Ada banyak hal lain yang bisa membuat seseorang menghindari berita-berita sedih. Bisa jadi karena punya trauma terhadap rasa kehilangan, bisa juga karena memang bukan sosok yang ekspresif, atau bisa juga karena ia fokus dengan kehidupannya sendiri. Apapun alasannya, setiap orang berhak untuk tidak ikut berduka walau seluruh penghuni bumi lainnya sedang berduka.

Mereka yang sedang dalam tahap bahagia, ya biarkan saja menikmati momen berbahagianya. Mereka yang sedang menang atas sesuatu, ya biarkan juga menikmati rasa jumawa yang muncul. Tak ada yang berhak mengatur apa yang harus dirasakan orang lain terhadap suatu peristiwa yang tidak berkaitan dengan kehidupannya. 

Bermedsos memang membuat penggunanya seakan diajak untuk terus memberikan reaksi dan berkomentar atas peristiwa-peristiwa di luar diri mereka. Sebenarnya, hal itu sama saja seperti saat pengguna medsos berinteraksi di kehidupan nyata. 

Di cakruk mana pun, sering kali tema obrolannya adalah ngerasani tonggo. Besoknya, ganti membicarakan presiden yang kebijakannya wagu. Lusanya, curhat soal biaya hidup yang semakin melangit sementara gaji segitu-gitu saja. Sama saja dengan medsos, kan?

Nah, SoHib tentu tak asing dengan pengguna medsos yang tak pernah berinteraksi dengan pengguna lainnya. Pasti ada kan yang begitu? Mereka itu serupa dengan seorang bapak yang menyendiri bersama asap rokoknya saat ronda. Serupa pula dengan seorang ibu yang menghindari obrolan dalam kelompok dengan sibuk momong. 

Dalam kehidupan anak muda, kira-kira sama dengan saat kita memilih sibuk memotret ornamen kafe, memilih duduk di sudut dan membolak-balik buku, atau sengaja memasang earphone supaya tidak harus ngobrol dengan orang lain. Golongan ini biasanya sama sekali tak ingin tahu tentang kehidupan liyan. Dan itu adalah hal yang normal di hari-hari yang melelahkan ini. 

Banyak orang yang sudah capek menjalani kehidupannya sehari-hari. Mereka berhak untuk memilih tidak memusingkan hal-hal di luar dirinya. Dan biasanya, orang-orang yang menolak untuk terlibat menanggapi urusan liyan ini enggan untuk menampik saat mereka dituduh tak berempati. 

Alih-alih menjelaskan apa yang terjadi dengan dirinya, mereka justru membiarkan orang lain membuat penilaian. Orang-orang seperti mereka ini sudah terlalu lelah untuk turut berpendapat. Mereka hanya berusaha menjalani kehidupan semampu mereka. Energi mereka hanya dicurahkan untuk keberlangsungan hidupnya. Jadi, bukankah tak mengapa jika ada yang tak bisa ikut berduka, kan?

Butet RSM. Ibu tiga anak, tinggal di Bantul

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *