Suatu Hari yang Sungguh “Babarsari” Sekali

“Bisa saja suatu saat nanti, jika satu hari saja tak ada gesekan di Babarsari, malah terasa ada yang kurang.”

Aku tahu, ramalan, bagi sebagian kepercayaan dianggap sebagai dosa akumulatif. Namun, aku tetap ingin membuka tulisan dengan kalimat ini: Meramalkan kematian manusia itu sulit. Namun, jika kau adalah orang Jogja, atau setidaknya tinggal di Jogja, ramalan tentang penyebab kematianmu mungkin akan benar. Hanya ada dua kemungkinan kematian yang dialami orang Jogja, pertama adalah usia tua, kedua adalah kekerasan jalanan.

Babarsari bergejolak lagi. Kali ini yang terjadi adalah kerusuhan antara dua kelompok yang diduga adalah susulan dari peristiwa Sabtu (2/7/2022) di sebuah tempat karaoke. Saling ejek, ribut, lantas terjadi gesekan. Puncaknya adalah Senin (4/7/2022) saat ruko-ruko di sekitar terkena imbas, api membakar sejumlah tempat, serta raung mobil kepolisian yang terus membisingi daerah Babarsari sampai Seturan. 

Lini masa Twitter seperti api yang menyambar minyak. Kata kunci Babarsari naik di puncak klasemen daftar trending. Guyonan yang menyebut bahwa Babarsari adalah Gotham City semakin tak layak ditertawakan.

Sejak tahun 2007 lalu, kejadian demi kejadian yang terjadi di tempat penuh cahaya berpendar ini disebabkan antara lain karena banyaknya kelompok masyarakat yang bermukim, terdiri dari mahasiswa, pekerja, dan penduduk asli, lantas ditambah tempat hiburan malam yang tersebar bak jamur thelethong ketika musim hujan tiba. 

Mungkin masih ada yang ingat, tahun 2007 silam ditandai dengan tiga orang kena bacok, disebabkan dua kelompok mahasiswa dari paguyuban daerah luar Jogja yang saling ejek, kemudian saling serang. Selanjutnya, tindak kekerasan yang tadinya hanya terjadi di antara mahasiswa, pada 2011 justru melibatkan warga sekitar dengan mahasiswa asal Timor Leste, akibat masalah parkir di depan Cafe Internet Illuzion. Terakhir, pada Desember 2021 lalu, di Tambak Bayan, sekitar Kantor Batan, ditemukan mahasiswa Papua ditusuk. Rentetan peristiwa ini jelas merupakan preseden yang buruk dalam penanganan kekerasan di Jogja.

Gesekan antar etnis, suporter sepak bola, dan drama kekerasan jalanan seperti klitih dan bacok membacok di jalan raya seperti dibiarkan begitu saja. Solusi pol mentok dari pemangku kuasa ya cuma mengeluarkan surat perintah seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Selain membosankan, saya berpikir, apakah pemerintah kehabisan ide? Atau malah malas berpikir? Atau…, sudah tidak ingin menjabat lagi? Untuk yang terakhir, sepertinya tidak mungkin.

Jika pemerintah tidak segera memberi solusi konkret, kekerasan demi kekerasan yang terjadi malah bisa jadi kebiasaan. Bisa saja suatu saat nanti, jika satu hari saja tak ada gesekan di Babarsari, malah terasa ada yang kurang. Tidak ada darah yang tercecer di jalanan terasa seperti makan tanpa nasi. Atau akan ada yang mbatin begini, “Ada yang kurang hari ini, tapi apa, ya? Oh, iya, belum ada usus manusia yang terurai di Jalan Tambakbayan.” Jika ini terjadi, ya edan wae.

Pemerintah getol memelihara romantisasi tempat wisata dan menggembar-gemborkan narasi keistimewaan, tapi abai dan tidak cakap dalam mengurus kasus seperti di Babarsari kemarin. Hal ini tentu turut melanggengkan kekerasan yang kian marak di Jogja. Aturan yang tidak tegas mengenai dunia gemerlap Babarsari, diperparah oleh lobi-lobi para preman, serta tegangan tinggi antar mahasiswa pendatang, ditubruk begitu saja dengan aturan yang dibuat Raja kita perihal jam malam, yang justru menambah acak-acakan distrik ini.

Aturan jam malam bukan solusi yang mampu mengurai kekerasan jalanan di abad 21. Kecuali ya pola pikir pemerintah Jogja masih terjebak di zaman dua atau tiga dekade lalu. Kebutuhan mobilitas dan segala tuntutan perekonomian secara tak terelakkan memang telah mengaburkan perbedaan siang dan malam. Membatasi segala aktivitas malam hari di Babarsari hanya akan menyulut ledakan yang lebih kencang dari yang kemarin.

Kecuali jika pemerintah kita sejatinya memang sekelompok komedian yang ingin membuat masyarakat tertawa dengan kebijakan-kebijakannya. Jika tidak kreatif dan hanya terbentur dalam aturan yang itu-itu saja, tidak usah jadi raja, bahkan remaja yang hobi main karambol di cakruk seperti saya juga bisa melakukannya.

Mungkin seseorang akan bilang, “Anda terlalu berbuat-bual dan tidak menyertakan solusi.” Saya sih mau menyertakan solusi dalam tulisan ini, tapi apa iya dengan solusi yang saya berikan, saya bakalan dapat jatah tanah untuk usaha, mengingat saya bukan mantu raja? Kan, tidak. “Jika hanya komentar saja mudah, coba selesaikan masalah ini!” Ya, bisa aku usahakan. Tapi jika aku punya solusi, memangnya ada peluang untuk jadi gubernur agar bisa mewujudkannya? Kan, tidak. 

Aku rasa, jika seseorang mencaplok jabatan seumur hidup, konsekuensinya ya harus mampu bergerak bersama dengan laju zaman, berpikir ke depan, menyelesaikan persoalan yang kian beranjak dinamis. Soal-soal yang dihadapi saat ini bukan tentang apakah si kuda penarik kereta kencana sudah makan atau belum, tapi sudah atau belumkah kesejahteraan rakyat tercapai? 

Darah manusia yang tercecer di tanah Jogja, aku rasa akan selalu menjadi tanggungan bagi pemimpinnya, sampai kapanpun itu. Tanah, air, dan udara mestinya bukan kepunyaan raja, namun dikelola bersama karena ada yang namanya negara. Jabatan bolehlah absolut, tapi mbok ya pisan-pisan turun ke bawah, untuk melihat wajah-wajah lelah manusia sub-urban Yogyakarta.

Jangan sampai kekacauan di tanah ini kian masif. Tak elok jika dalam sebuah kerajaan, pembuka sebuah dedongengan tidak lagi, “Pada suatu hari yang indah sekali, …” lantaran diganti begini, “Pada suatu hari yang sungguh Babarsari sekali, ….”

Gusti Aditya. Pernah makan belut.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *