Serunya Mudik Sambil Deep-Cleaning Rumah Mertua

ghibahin

“Generasi milenial seperti kami sedikit demi sedikit sudah memahami, bahwa tempat tinggal yang nyaman adalah tempat tinggal yang lapang dan bersih.”

Sebelum mulai bercerita, izinkan saya memperkenalkan diri, agar nanti konteks cerita ini lebih masuk akal. Saya seorang perempuan Batak, asli lahir dan dibesarkan di tepian Danau Toba. Berwajah keras, terbiasa berteriak, namun hati penuh kasih sayang.

Saya menikah dengan laki-laki asal Kotagede Yogyakarta yang … begitulah, saya yakin Anda pasti sudah paham. Saya sih sadar ya, saya ini bukanlah tipe menantu idaman, apalagi impian. Generasi milenial seperti kami sedikit demi sedikit sudah memahami, bahwa tempat tinggal yang nyaman adalah tempat tinggal yang lapang dan bersih.

Saya, si menantu bandel ini, tak pandai menemani mertua saya di dapur. Level kemampuan memasak saya mentok, sekadar hasil masakannya bisa dimakan. Mengenai rasa, terus terang masakan saya belum tentu enak, apalagi layak disuguhkan. Masih jauh perjuangan.

Jadi, jika mengacu pada stereotip menantu idaman: pintar masak, lemah lembut, halus perasaannya, dan pandai mengambil hati mertua, maka saya jauh dari kriteria tersebut. Ibarat fried chicken, jika menantu idaman adalah KFC, maka saya adalah ayam goreng tepung 10 ribuan yang dijejalkan di etalase kaca pada sebuah gerobak di pinggir jalan.

Kemarin kami mudik ke rumah masa kecil suami saya, yakni rumah mertua saya, di Kotagede, Yogyakarta. Mertua saya bisa dibilang sudah lama tinggal sendiri. Anak-anaknya memang tinggal bertetangga dengan mertua saya, namun secara konsisten, mertua saya tinggal sendirian di rumah yang tidak kecil itu.

Pada hari pertama kami tiba di rumah, satu hal yang sama-sama kami rasa agak mengganggu adalah rumah itu penuh dengan barang-barang. Sekilas, rumah yang mestinya luas itu terasa sempit dan pengap.

Namun dapat dimaklumi, mertua saya yang masih berjualan sate sapi di Kotagede itu memang memiliki banyak sekali peralatan masak dan perlengkapan makan untuk menunjang usahanya. Di luar itu, banyak pula barang-barang yang kurang jelas fungsinya diletakkan begitu saja, menjadi tumpukan tanpa makna di atas tiap-tiap lemari.

Dengan sadar, saya mengajak suami saya untuk merapikan rumah. Tentu bagian terberat adalah meminta izin mertua saya. Kami sadar betul, rumah ini sepenuhnya adalah milik mertua saya. Tentu untuk melakukan sesuatu perlu izin dan restu si empunya rumah.

Apalagi, nantinya aktivitas kami ini akan melibatkan kegiatan membuang barang. Jangan sampai ada barang dengan nilai sentimental yang ikut menjadi rombongan penghuni kantong plastik besar berwarna hitam itu. Mertua saya memang katanya cukup “manut” terhadap usulan si bungsunya, suami saya itu. Restu sudah di tangan, saatnya kami berdua beraksi.

Beberapa tahun terakhir, kami sudah mulai menerapkan hidup minimalis. Belum sampai pada tahap hidup ala Marie Kondo memang. Namun beberapa kali berpindah, lalu tinggal di rumah yang relatif sempit, membuat kami terbiasa hidup dengan barang seadanya, sesuai kebutuhan.

Pekerjaan berberes kami di hari pertama berlangsung sekitar 8 jam, dipotong jam makan siang dan istirahat. Kami membereskan tiga lemari perabotan, satu lemari tempat menyimpan bahan makanan, dan satu lemari kaca di ruang tengah. Menata ulang letak lemari-lemari itu. Di akhir kegiatan, tujuh kantong plastik hitam super besar nongkrong dengan manisnya di depan rumah, siap diantarkan ke tempat pembuangan terdekat.

Kami hanya membuang barang-barang dengan seizin mertua. Kardus-kardus, botol-botol plastik bekas minuman kopi kekinian, tak terhingga kotak plastik es krim, serta barang-barang aneh bin ajaib yang tidak jelas fungsinya. Sepanjang kesibukan merapikan barang itu, saya juga menemukan gelas-gelas suvenir pernikahan yang bahkan plastiknya saja tidak dibuka. Yang paling tua adalah gelas pernikahan dari tahun 2014.

Kami tertawa-tawa sambil mengomel, seraya bolak balik menghadap mamak mertua untuk memastikan apakah benda ini boleh dibuang atau tidak. Bisa ditebak bukan, pasti akan selalu mendapat jawaban, “Rasah diguwak. Eman, eee…

Tidak bisa kita salahkan, tho? Karena penelitian telah membuktikan bahwa manusia punya kecenderungan tinggi untuk hoarding atau menimbun barang yang tidak berguna. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin Marie Kondo bisa menjadi sekondang itu, coba?

Sepertinya memang ada kecenderungan orang-orang jaman dulu–termasuk mertua saya ini–untuk menyimpan barang yang tidak diperlukan lagi, semisal kotak plastik bekas makanan, wadah plastik bekas puding, maupun kardus bekas kemasan barang. Belum sampai pada tahap hoarding disorder, sih, namun kecenderungan untuk menimbun barang sebenarnya bisa dimaklumi.

Orang tua kita lahir pada masa ketika wadah plastik masih langka dan mahal harganya. Sehingga ketika mendapati bahwa wadah bekas jajan masih bisa digunakan kembali, serta-merta wadah tersebut dianggap barang yang berharga. Padahal, sesuai perkembangan zaman, ya memang manusia sedang hidup di era yang mengutamakan kepraktisan.

Sama halnya dengan menyimpan kardus bekas, dengan pemikiran nantinya kardus itu akan berguna lagi. Padahal belum jelas mau dipakai untuk apa. Lama kelamaan, hal ini menjadi kebiasaan. Akumulasi kemasan plastik dan kardus selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan lautan barang bekas yang sejatinya tidak akan pernah digunakan.

Generasi milenial seperti kami sedikit demi sedikit sudah memahami, bahwa tempat tinggal yang nyaman adalah tempat tinggal yang lapang dan bersih. Belum lagi yang tinggal di daerah perkotaan dengan lahan hunian seiprit. Jangankan menimbun barang, space untuk barang kebutuhan pun terbatas. Harus pintar-pintar mengakali rumah kecil agar terasa luas.

Kelelahan kami terbayar, ketika akhirnya melihat ruang luas terbentang, yang sebelumnya terhalang lemari dan meja, serta berbagai printilan yang tak jelas manfaatnya. Kini, semua lemari sudah bersih dan rapi, tanpa penghuni asing yang menumpang di atasnya. Dan yang paling menyenangkan, akhirnya mamak mertua saya menemukan koleksi sendoknya yang dianggap sudah hilang beberapa tahun belakangan.

Saya tidak tahu ya, apakah ini akan menaikkan level kebandelan saya di mata mertua. Yang jelas, rumahnya sekarang terasa lowong, resik lan padhang. [red/sk-bp]

Listra Mindo, Ibu rumah tangga dengan 2 anak.

8 thoughts on “Serunya Mudik Sambil Deep-Cleaning Rumah Mertua

  1. Pernah melakukan hal serupa dirumah mertua, yang membuat berbeda adalah kami tak mendapatkan ‘ijin’ sehingga tak ada barang bekas yang berhasil kubuang, hanya saja tumpukannya dirapikan.

  2. Aduuuh, aq pernah gt Mak, tapi gak pake ijin..pas mertua mudik Padang, aq langsung beraksi buang2 botol bekas saos, kecap, sirop ama plastik kotak2 itu..dan besoknya, aq di WA “tapperwer Ibu kemana ya? Ikut kebuwang?”
    Udahlah aq senyum kecut aja Mak

    1. Hahaha. Lah sama mak. Sehari setelah dip klining, tiba2 mamak mertuaku nanya, “toples kecil isi kayu manis, di mana?” duh biyung… rohku sempat meninggalkan ragaku.

    1. Iya memang, kak. Bagian terberat itu bagian perizinan. Semoga suatu hari nanti diberi lampu ijo ya, kak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *