Self Healing Ala Lik Tumini

“Karena, pada intinya aktivitas healing itu haruslah hal-hal yang disukai, bukan karena terpaksa, dan yang pasti harus berdampak positif, bisa memperbaiki suasana hati, bikin rileks juga happy.”

Dhok-dhok-dhok … sreeng … glodhaaak .…”

Terdengar suara berisik aneka barang sedang beradu jotos di dapur. Heran sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi, membuat Lik Darmini melangkah ke dapur tetangga sebelah. 

Begitu sampai di pintu dapur, dahinya langsung berkenyit. Dari arah belakang, dilihatnya Lik Tumini sedang berdiri di belakang kompor dengan sebuah wajan besar nangkring di atasnya. Benturan keras sothil dan penggorengan besar menimbulkan suara krompyangan dengan tingkat kebisingan mirip konser dangdut di kampung. Di pintu itu disaksikannya pula tetangganya itu memukul-mukul jahe dan laos dengan kekuatan ekstra. Tak berapa lama, terlihat Lik Tum mengupas beberapa telur sambil dumat-dumit mengajak ngobrol telur-telur itu. 

Dia jadi teringat peristiwa kemarin, dilihatnya Lik Tum berdiri di atas kursi dengan satu kaki nangkring di atas meja makan yang di sana tertata piring dan mangkuk entah apa isinya. Tak jelas apa yang dilakukannya. Kemudian, Lik Tum juga senyum-senyum melihat HP-nya. Terus diam serius. Tak lama kemudian, tertawa-tawa. Nganeh-anehin sekali. 

Sebagai tetangga yang baik, demi mencegah terjadinya keadaan yang tidak diinginkan, Lik Dar merasa harus segera bertindak. Dia pikir tetangganya itu butuh penanganan segera.  

Akhirnya, saat Si Nok –anak Lik Tumini– yang kuliah di kota sebelah mudik di akhir minggu, dilaporkannya semuanya. Tapi, bingunglah dia melihat reaksi Si Nok. Bukannya khawatir, malah setengah tertawa. 

Nganuu Lik … Simbok itu sedang melakukan selfhealing. Sedang melakukan proses penyembuhan diri, menyeimbangkan kesehatan mentalnya.”  

“Haah … jadi Mbokmu edan, Nok? “

“Enggak!”, sahut Si Nok buru-buru. 

“Gini Lik. Semua orang itu dalam hidupnya pasti pernah mengalami pengalaman yang nggak menyenangkan. Pernah merasakan luka batin yang akan memengaruhi kejiwaannya. Nah, kondisi seperti itu tidak baik kalau dibiarkan begitu saja. Harus disembuhkan, wajib dipulihkan.” 

“Trus, apa hubungannya dengan aksi nganeh-anehin simbokmu di dapur itu?” tanya Lik Dar. 

“Jadi, Simbok itu memilih berakrobat di dapur sebagai satu cara untuk melepaskan gronjalan-gronjalan di hati dan pikirannya. Simbok sedang mencoba menguraikan sesuatu yang mungkin mbundhet di dirinya. Dengan polahnya itu, bisa jadi simbok sedang mencoba mencari solusi dari masalah yang dihadapinya.”

“Aksi tak biasa simbok di dapur, macam nuthuki bumbon di ulekan sekuat tenaga, ngosreng-osreng wajan dengan sothil bersuara pating krompyang, nyincang daging pakai tenaga sak kayang’e itu sebetulnya menunjukkan bahwa Simbok sedang berusaha mengeluarkan energi negatifnya. Sedang meluapkan emosinya yang mungkin sudah muntup-muntup di ubun-ubun, tapi tak mungkin disampaikannya kepada orang lain. Simbok sedang menyeimbangkan kondisi dirinya” jelas Si Nok.

Makin nggak paham Lik Dar.  

“Simbok pernah iseng juga lho, Lik. Pernah waktu ngracik soto buat Pak’e dengan sengaja ditambahkannya garam banyak-banyak. Tak lain ini adalah cara Simbok mengekspresikan ke-mangkel-nya. Untung Pak’e paham dan cepat tanggap dengan masalah ini. Tapi ya, kalau bisa sih keusilan Simbok ini jangan ditiru lah. Hahaha ….” 

“Woo … kalau gitu kesuntukan itu bisa disalurkan dengan aktivitas gaya krompyangan gitu ya, Nok?” tanya Lik Dar polos. 

“Ya ndhak sesederhana gitu, Lik. Intinya, self-healing itu bisa dilakukan dengan apa saja. Dengan catatan apapun aktivitasnya harus dilakukan secara mindful alias dengan kesadaran penuh. Harus sesadar-sadarnya dan tahu betul sedang melakukan apa serta untuk apa. Jadi bukan sekadar mengalihkan perhatian tok.” 

“Untuk Simbok kebetulan urusan perdapuran adalah sarana self-healing-nya.”

“Saya lihat, Simbok sekarang telah bisa memaknai masak-memasak sebagai sesuatu yang baru. Tak hanya sebagai kewajiban menyediakan makanan untuk keluarga, tapi juga sebagai media untuk healing dan sarana untuk mengeksplorasi bakat serta kemampuannya. Dia menikmati proses itu, Lik. Itu bagus sekali lho untuk penyembuhan diri.” 

“Ooo … makanya, simbokmu itu sekarang sering beli bahan makanan aneh di pasar, juga alat-alat masak baru lainnya. Sampai heran aku, Nok.” 

“Trus, apakah aksi simbokmu naik-naik meja kursi dan senyam-senyum dengan HP itu juga dalam rangka hiling?”

“Betul, Lik. Naik meja kursi dan menata hasil masakan di piring, menyandingkannya dengan pernak-pernik lainnya di meja, dan kemudian memotretnya itu juga termasuk proses ngudar roso.  Nah, kapan hari Simbok aku bikinkan akun dan aku ajarin posting di sosmed. Biar bertemu dengan orang-orang sealiran gitu. Jadi, sangat mungkin senyum-senyum dengan HP itu karena Simbok sedang hepi foto masakannya diapresiasi orang atau Simbok sedang saling bertukar sapa tentang olah-olahannya atau apapun itu dengan bestie-bestie onlinenya. Ini juga self-healing lho, Lik. Jadi yang Lik Dar lihat itu sebagian bukti dampak positif dari healing yang dilakukannya. Simbok jadi merasa senang, nyaman, dan plong pastinya.”

“Gitu ya? Berarti demi kewarasanku, aku juga baiknya sering-sering hiling ya, Nok? Tapi aku ndhak pinter masak kayak simbokmu je.” 

“Semua orang punya caranya sendiri, Lik. Cocok untuk orang lain belum tentu cocok untuk kita. Buktinya, kita semua tahu kalau Lik Karjo itu sering mancing dan meskipun tanpa hasil dia terlihat sumringah saat pulang. Trus, lihat Pakde Marto. Meski sudah tua terkadang masih asyik nggabur doro. Bisa jadi itu adalah aktivitas penyembuhan diri yang cocok buat mereka, Lik.”  

“Jadi, coba aja deh Lik Dar nyari aktivitas sederhana. Bisa yang selama ini sudah biasa dilakukan dan kemudian mencoba memaknainya dengan cara lain.  Menambahkan nilai positif dalam aktivitas tersebut serta mencoba lebih menikmatinya lagi. Jadi nggak perlu melakukan aksi yang ndakik-ndakik, yang akhir-akhir ini sering dicontohkan oleh orang-orang kota macam wisata di tempat tertentu, makan di tongkrongan kekinian, dll-nya itu. Pokoknya lakukan saja aktivitas yang bikin hati Lik Dar jadi plong. Itu saja, Lik.”

“Karena, pada intinya aktivitas healing itu haruslah hal-hal yang disukai, bukan karena terpaksa, dan yang pasti harus berdampak positif, bisa memperbaiki suasana hati, bikin rileks juga happy. Syukur-syukur lewat aktivitas tersebut bisa mengevaluasi diri dan memperoleh hikmah dari hal-hal tidak enak yang kita rasakan. Dengan begitu, maka kesehatan fisik dan mental kita akan terjaga, Lik.” 

“Makanya saya biarkan Simbok bereksperimen bikin ini itu yang aneh-aneh. Kadang ya rasanya nggak karuan, Lik. Tapi kami biarkan aja, karena kami merasa apa yang Simbok lakukan itu bagus untuknya. Kalau Simbok senang, maka kesehatan lahir dan batin Simbok ya akan bagus to, Lik? Kami semua juga akan senang”.

“Ooh … jadi itu yang dimaksud hiling. Suwun ya Nok, kalau gitu aku juga mau nyari sarana hiling yang paling memungkinkan untukku, ah.”

Tak berapa lama, Lik Dar membawa gombalan seabrek-abrek ke sumur. Terus dikeluarkannya ember, dingklik, dan barang lainnya. Entah healing model apa yang mau dilakukannya.

Bagaimanapun ayo kita cari sarana self healing yang paling sesuai dengan diri kita!

Y.D. Widyaningrum. Simbok-simbok yang terkadang masih aeng-aeng

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *