Sehat Adalah Upaya Melawan Diri, Bukan Hasil Positif, Angka-Angka, atau Malah Tenaga Medis

Sehat

“Hal yang mengesalkan bagi saya, namun bagi pasien, mungkin itu adalah cara supaya dia bisa nyaman dengan penyakit yang dideritanya.”

“Pak, sampean mau nggak aku cek gula darah, kolesterol, sama asam uratnya?” ucap saya ke bapak sambil menunjukan alat tes yang baru saja saya beli.

Sambil menyeringai, bapak saya bilang, “Hehe, nggak usah.”

Jujur, saya nggak kaget-kaget amat sama respon beliau. Toh banyak orang kayak gitu. Bukan menyalahkan, tapi memang masyarakat kita, dan sebagian besar orang memang demikian. Gara-gara takut dites ini itu dan nantinya malah ketahuan punya penyakit. 

Saya jadi teringat perilaku masyarakat kemarin ketika menghadapi pandemi. Banyak kan dari mereka yang nggak mau swab karena takut ketahuan positif, takut kalau nanti dipaksa harus isolasi, harus pakai masker kemana-mana, dan yang paling susah adalah terpaksa harus terpisah dengan keluarga selama isolasi.

Seakan, hukuman sosial terasa lebih menyakitkan daripada kesehatan diri dan keamanan orang terdekat. 

Salah satu teman saya yang berprofesi sebagai sopir ambulan, juga pernah menceritakan pengalaman pahitnya. Dulu, ketika gelombang dua Covid, teman-temannya di tongkrongan malah menghujat profesinya. Gara-gara dia merupakan bagian dari tim medis. Berikut satu ucapan yang masih diingat jelas oleh kawan saya, ketika sedang cangkruk di warung kopi tempatnya biasa nongkrong:

“Kita-kita ini nggak boleh sakit, kalau sampai swabnya positif, nanti malah keluar uang. Lha uangnya dimakan orang-orang kayak dia.” Telunjuk orang tadi menunjuk kawan saya yang cuma bisa diam di meja seberang. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, dia lantas membayar kopi dan gorengannya, lalu pergi.

“Lha gimana, Mas. Saya ya cuma bisa diam. Kalau saya ladeni, nanti malah nggak karu-karuan,” kenangnya, sambil menundukan kepala. 

***

Sudah, nggak perlu jauh-jauh membahas pandemi. Banyak kan orang yang modelnya seperti bapak saya. Kebanyakan merasa lebih baik jika tidak tahu kalau sedang sakit, mereka merasa berat kalau harus menerima fakta bahwa gula darah atau kolesterolnya tinggi.

Saking seringnya saya berhadapan dengan orang-orang seperti ini. Saya jadi familiar dengan polanya. Coba saya peragakan satu kejadian yang sering saya temui di poli umum:

“Bu, keluhannya apa?”

“Darah saya tinggi, Dok. Sekarang pusing.” Pasien tersebut langsung menjawab to the point.

Saya bersikap biasa, karena yang kayak gini hampir setiap hari ada yang datang ke Puskesmas. 

Setelah melakukan tanya jawab lebih lanjut dan pemeriksaan fisik. Saya lanjut bilang begini: “Bu, ini tensinya 180, tinggi lo, apa belum tahu kalau punya darah tinggi?” Pertanyaan ini sebenarnya cuma pancingan, dari tensi yang segitu dan jawaban pertanyaan di awal yang khas seperti tadi, saya langsung bisa menduga kalau Ibu ini merupakan penderita hipertensi yang sudah cukup lama.

“Iya, sudah tahu, Dok.”

“Kok obatnya nggak diminum rutin ya, Bu?” Saya mencoba menimpal dengan nada lembut.

“Iya dok. Saya minum obat kalau ada keluhan.”

Otak saya berkelana. Jika ibu tersebut hanya minum obat ketika ada keluhan, kemungkinan besar beliau sudah meminumnya sebelum datang ke sini. Fakta bahwa dia terpaksa datang ke Puskesmas, mungkin gara-gara obat yang dia minum sudah tidak cukup meredakan keluhannya. 

Dengan pelan, saya mencoba menggugah kesadaran ibu tersebut: “Bu, obatnya diminum teratur ya. Emaneman lho Bu kalau minumnya jarang-jarang kayak gini.” 

Daripada mengeluarkan kalimat sok menggurui seperti komplikasi-komplikasi yang bakal datang ketika hipertensinya dibiarkan, saya justru menutupnya demikian, dengan menambah beberapa kalimat pemanis. Berharap supaya ibunya tersadar, dan kelak saya bisa mengatakannya dengan lebih nyaman di kontrol selanjutnya. 

Itu masih skenario satu, tetap ada skenario dua, tiga, dan lainnya yang berbeda-beda. Kadang, saya juga langsung memberitahukan komplikasi-komplikasi yang bisa terjadi, tergantung sikap dan pengetahuan pasien beserta keluarganya. 

Sudah tahu kalau sakit, tapi masih mencoba tidak rutin minum obat. Hal yang mengesalkan bagi saya, namun bagi pasien, mungkin itu adalah cara supaya dia bisa nyaman dengan penyakit yang dideritanya.

***

Daripada terus bercerita tentang pasien. Saya coba bercerita tentang kawan dan senior seprofesi saya. Sejujurnya, dokter sekalipun juga kadang lengah dan terjerumus hingga menjadi pasien. Tahu kan, kalau jadwal praktek dan operasi yang padat juga membuat mereka abai menjaga pola makan dan olahraga?

Pun, juga banyak dokter yang menderita hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit lain akibat gaya hidup. Beberapa juga ngeyel nggak mau minum obat hipertensi rutin.

Pada titik ini, saya cuma mau bilang, kalau dokter itu juga manusia biasa, mereka juga bisa jadi pasien. Mereka kadang juga tutup mata tentang penyakitnya sendiri. Sekalipun dokter yang sudah tahu ilmunya, mereka juga harus melawan diri sendiri untuk menjaga kesehatannya. 

Tapi, ya namanya manusia mazzeh, yang enak dan bikin nyaman memang lebih menggoda. [red/rin]

Prima Ardiansah, Dokter internship di Puskesmas Jenangan Ponorogo dan RSU Aisyiah Ponorogo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *