Salahkah Jika Berharap Terima Kasih?

“Intinya, apakah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan atau kewajiban, perlu dihargai dengan ucapan terima kasih?”

Jangan pamrih! Jangan pamrih! Jangan pamrih!

Kata-kata itulah yang berbulan-bulan bergayut di benak saya. Penyebabnya sederhana; suatu saat saya dimintai tolong menjadi panitia inti sebuah acara. Ya, dimintai tolong. Saya sadar, ini “proyek thank you”. Tidak apa, saya tidak mengharapkan apa-apa. Saya sudah mengikhlaskannya dalam hati sejak awal. Tapi, benarkah demikian? 

Jujur saja, saya kemudian jadi mempertanyakan keikhlasan diri saya sendiri, ketika ternyata acara yang saya tangani itu menguras tenaga, otak, dan dalam beberapa hal bahkan menggores batin saya. Tentu saja, hal-hal tersebut akhirnya membuat saya lelah luar biasa, dan berharap acara cepat selesai; sesuatu yang menunjukkan betapa tidak nyamannya saya mengerjakan pekerjaan tersebut. 

Dan ketika saya tersadar bahwa itulah yang akhirnya menguasai hati dan pikiran, saya seperti mengingkari “janji” tentang keikhlasan yang telah saya niatkan dari awal mengerjakan proyek ini. Saya tidak mengharapkan apa-apa; jika yang dimaksud “apa-apa” itu adalah segenggam upah, atau sebentuk materi lainnya sebagai balasan. Saya sadar sekali, bukan itu yang saya harapkan. 

Yang saya harapkan adalah sesuatu yang sangat sederhana, yang bagi sebagian orang mungkin bahkan terkesan remeh. Saya mengharapkan ucapan terima kasih. Ya, saya kok ingin sekali orang yang “mempekerjakan” saya itu mengucapkan terima kasih kepada saya; terutama karena saya merasa sangat lelah baik secara fisik maupun mental.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah keinginan saya ini wajar, atau sebaliknya; pikiran itu tidak seharusnya ada? Apakah jika saya berharap terima kasih berarti saya termasuk orang yang pamrih? Saya jadi bertanya-tanya, apa sebenarnya pamrih itu? 

KBBI mengartikan pamrih sebagai maksud tersembunyi dalam memenuhi keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dari berbagai sumber, pamrih sendiri disematkan pada orang-orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikannya, mengharap dibalasnya kebaikan yang telah diberikan dengan sesuatu yang semestinya atau lebih baik, serta orang-orang yang suka mengabadikan kebaikan yang dilakukannya untuk mendapatkan pujian.

Membaca itu, saya menjadi ragu apakah saya benar-benar berada di luar golongan itu? Bukan karena perkara mengungkit kebaikan, atau mengabadikan kebaikan untuk mendapatkan pujian. Saya meyakini kedua hal tersebut sama sekali tak terpikir di benak saya. 

Namun, ketika kemudian saya berharap untuk dibalas dengan sesuatu yang (menurut saya) semestinya, yaitu (sekadar) ucapan terima kasih, saya jadi bertanya-tanya apakah benar hal tersebut termasuk kategori pamrih?

Mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa saya sepertinya cemas sekali kalau dilabeli pamrih? Mari saya jelaskan. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, saya diajari untuk tidak mengharapkan balasan kalau menolong orang. 

Jangan pamrih! Jangan pamrih! Jangan pamrih!

“Kalau menolong orang, tidak boleh berharap balasan. Ikhlaskan, biar Tuhan yang membalas (kebaikannya) nanti.” Itu, ajaran yang saya pegang teguh sampai saat ini. Ya, kalau apa yang kita lakukan itu baik, tapi kita kan tak pernah tahu apakah Tuhan juga menganggap itu sebagai sebuah kebaikan, toh? Saya sering memikirkan hal-hal seperti ini dalam hati.

Jadi, kalau akhirnya saya punya harapan diberi ucapan terima kasih, harapan tersebut justru membuat saya resah. Apakah itu berarti saya sudah menyalahi aturan agama? Apakah itu berarti saya sebenarnya tidak ikhlas? Atau, apakah Tuhan menganggap hal itu wajar saja untuk seorang manusia? 

Namun karena pada akhirnya saya tidak mendapatkan ucapan terima kasih, saya jadi bertanya-tanya. Apakah teman saya itu merasa apa yang telah saya kerjakan merupakan sebentuk kewajiban, dan bukan sebuah pertolongan? Perkara kewajiban, saya jadi teringat status seorang teman yang sempat mengutarakan hal ini. Intinya, apakah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan atau kewajiban, perlu dihargai dengan ucapan terima kasih?

Jika seorang istri menyiapkan baju kerja suaminya, perlukah sang suami mengucapkan terima kasih? Jika ya, bisakah sang suami melakukan hal itu setiap hari; berterima kasih pada istrinya? 

Atau, alih-alih berteriak ‘asyiiik…!’ dan ngacir ke kamar, apakah seorang anak terpikir untuk mengucapkan terima kasih pada orang tuanya ketika ia diizinkan camping bersama teman-teman sekelasnya?

Bagaimana dengan sang ibu yang mengantarkanmu daftar ulang di sekolah swasta? Adakah hal-hal tersebut membuatmu mengucap terima kasih, tanpa perlu menunggu eforia Hari Ibu setiap 22 Desember di medsos?

Saya yakin, mereka; seorang istri yang menyiapkan baju kerja suami, orang tua yang mengizinkan anaknya camping, atau sang ibu yang mengantarkanmu daftar ulang, sejatinya tidak mengharap terima kasih karena melakukan hal-hal tersebut.

Tapi tahukah sang suami bahwa sang istri mungkin saja saat itu sedang sakit kepala sehingga sangat berat baginya untuk bangun dari tempat tidur, dan mungkin saja saat itu ia memaksakan dirinya bangkit untuk menyiapkan keperluan suaminya berangkat kerja?

Tahukah sang anak jika, mungkin saja, setelah ia ngacir ke kamar, kedua orang tuanya cemas memikirkan bagaimana mencarikan sangu untuk anaknya camping nanti? Tahukah kau jika ibumu bisa saja terpaksa terlambat ngantor saat menemanimu daftar ulang sekolah?

Lalu, bayangkan jika kau berada di posisi mereka. Apa iya, pengorbanan-pengorbanan yang mungkin saja terjadi itu, pada akhirnya tidak pantas diganjar (sekadar) ucapan terima kasih, karena dirasa sudah menjadi rutinitas, dan atau kewajiban?

Demikian pula dengan perkara membantu acara teman yang menjadi pembuka tulisan ini. Ketika acara tersebut ternyata menciptakan pengorbanan-pengorbanan yang cukup signifikan bagi saya, hei, Anda tak perlu memuji saya. Cukup ucapkan terima kasih, itu sudah membuat saya merasa dihargai. 

Mengapa kata sesederhana itu terasa begitu sulit terucap?

Dessy Liestiyani, wiraswasta tinggal di Bukittinggi.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *