Prey: Ketika Manusia Akhirnya Mengalahkan Teknologi

Di masa depan, akan lebih banyak lagi pekerjaan-pekerjaan yang dirampas oleh teknologi.

Jujur, saya bukan termasuk yang fomo film baru. Sebagaimana Prey, film yang menginspirasi tulisan saya ini, bagi para pecinta film mungkin termasuk kategori film lama. Meski tayangnya masih di tahun 2022.

Prey berlatar abad 17 tepatnya tahun 1719, ketika teknologi belum ada. Mengisahkan tentang Naru, wanita pejuang dari suku primitif Comanche Indian yang harus berhadapan dengan Predator, makhluk dengan segudang teknologi. Predator diturunkan dari pesawat luar angkasa untuk mencari spesies terkuat. Menggunakan baju zirah berteknologi tinggi yang bisa membelokkan cahaya dan melakukan kamuflase sehingga membuat dirinya tidak terlihat. 

Dalam menghadapi Predator, tentu saja Naru mengalami berbagai rintangan. Apalagi Predator dari luar planet bumi itu punya senjata yang canggih, tak sebanding dengan senjata suku Comanche yang hanya berupa panah, tombak, dan kapak. Naru berkali-kali menyaksikan bagaimana Predator yang tembus pandang itu dengan mudahnya membantai beruang ganas, atau siapapun yang terdeteksi sebagai species terkuat.  

Yang menarik, setiap kali Naru berjumpa dengan Predator, Naru selalu berhasil lolos darinya. Predator tidak mendeteksi adanya ancaman atau bahaya pada diri Naru. Dari situ Naru mulai mengetahui sifat dari Predator, bahwa meski Predator suka membunuh, dia hanya memburu species terkuat saja, atau yang terdeteksi memiliki senjata. 

***

Kian hari, kita kian mesra dengan teknologi yang memanjakan. Dengan teknologi, begitu mudah hajat kita terwujud hanya dengan menekan beberapa tombol. Contoh kecil teknologi yang telah akrab dengan keseharian kita, magicom. Kehadirannya telah merubah secara fundamental kegiatan menanak nasi. Urusan memasak menjadi lebih praktis. Anak jaman now, mungkin tidak tahu, kalau dulu, pekerjaan rumah tersebut selain merepotkan juga menyita waktu yang tidak sedikit.

Sampai tahap ini kehadiran teknologi memberi dampak yang positif pada kehidupan manusia. Sialnya, hari ini kita terjebak dalam situasi apokaliptik. Manusia tidak mampu mengendalikan teknologi yang dikembangkannya. Teknologi, baik otomasi atau lebih luas lagi internet, telah mengambil alih sebagian—bahkan semua—tanggung jawab kita. Masalahnya bagaimana kalau yang diambil alih oleh teknologi, justru pekerjaan yang menjadi mata pencaharian kita? 

Tapi tunggu sebentar. Kalau kita berpikir ulang, bukankah profesi-profesi yang diambil alih oleh teknologi itu memang sepantasnya dikerjakan oleh robot. Bayangkan Sohib bekerja menjadi petugas penjaga gerbang tol atau petugas loket kereta api, selama delapan jam per hari. Bukankah pekerjaan template semacam itu membosankan? Sementara untuk mendapatkan pekerjaan itu setidaknya seseorang harus lulus SLTA.

Di masa depan, akan lebih banyak lagi pekerjaan-pekerjaan yang dirampas oleh teknologi. Terutama pekerjaan-pekerjaan yang mengandalkan keterampilan. Misalnya saja teknologi autonomous car, jelas akan mengancam profesi sopir. Apakah mungkin pekerjaan-pekerjaan lain seperti dokter, pengacara atau guru suatu hari nanti akan digantikan oleh robot? 

Secerdas-cerdasnya robot, ia tidak memiliki rasa dan tidak bisa menganalisa.  Secanggih apapun teknologi yang dimiliki Predator, tetap saja memiliki keterbatasan. Bahkan ia gagal mendeteksi potensi bahaya yang sebenarnya. Ia gagal mendeteksi Naru sebagai species terkuat. Karena ia hanya menggunakan batasan-batasan umum, dengan kriteria bahaya sesuai algoritma yang dibenamkan dalam “otaknya”.  Ia tidak bisa belajar dari informasi yang acak. 

Naru memang tidak memiliki teknologi tinggi. Tapi ia mampu berperilaku sebagai manusia yang otentik. Naru mempelajari perilaku dan cara kerja peralatan canggih yang dimiliki Predator. Naru mampu mengatur ulang berbagai informasi yang dimilikinya.  Di akhir pertarungan, Naru meletakan helm Predator yang telah ia rebut sebelumnya dan mengarahkan lasernya tepat ke kepala Predator, sehingga ketika Predator menembakan sumpit canggihnya, sumpit tersebut justru mengarah kepada dirinya sendiri.  

Seberapa besar bahaya robot mengancam eksistensi manusia? Selama kita tetap mampu berperilaku sebagai manusia yang semestinya, maka robot tidak akan pernah bisa menggantikan kita. Manusia mampu menyerap informasi secara acak untuk belajar dan berkembang, sementara robot dengan programnya hanya fokus terhadap suatu tugas spesifik.

Beberapa tokoh terkemuka mengungkapkan kekhawatirannya terhadap artificial intelligence yang memiliki potensi berbahaya bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Saya sendiri lebih percaya pada hasil konferensi World Economic Forum yang berlangsung di Davos, Swiss, beberapa waktu lalu. Salah satu kesimpulan dari forum itu “Orang bodoh lebih berbahaya dari mesin (robot) pintar.” Berbekal akal pikiran perasaan dan hasrat, manusia jauh lebih berbahaya dibandingkan mesin yang sangat pintar sekalipun.

Dalam konfrontasi head to head manusia mungkin akan dikalahkan teknologi. Misalnya, bisa saja robot humanoid menjadi guru mengajar dan di ruang kelas. Ia akan memiliki ensiklopedia pengetahuan yang sangat luas. Mungkin juga penyampaiannya akan lebih terstruktur. Tapi apa mungkin robot bisa mendidik? Karena mendidik bukan perkara transfer pengetahuan. Mendidik perlu kasih sayang, empati dan kesabaran. Profesi guru tidak akan tergantikan oleh robot, kecuali manusia sudah tidak menjunjung tinggi keagungan moral.

Roy Waluyo, pengajar yang suka menulis, tinggal di Bogor.

[red/ rien]

One thought on “Prey: Ketika Manusia Akhirnya Mengalahkan Teknologi

  1. Keren tulisannya membuat kita percaya bahwa manusia akan tetap unggul dari AI. Terimakasih pak Roy, tulisan yg menginspirasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *