Pertaruhan Asa pada Sepiring Nasi

Padi

Dari beberapa kesempatan menemani berbagai jenis orang ke sawah, yang sering saya temukan adalah ekspresi kekaguman atas keindahan. Gawai dikeluarkan, story dibuat, kata-kata puitis dibumbukan, puja-puji dilangitkan. Hampar hijau persawahan, suasana asri, dan kesempatan me-refresh diri adalah beberapa sumber kekaguman itu.

Dari berbagai kesempatan itu pula, saya merasakan bagaimana orang-orang lupa, bahwa dari sawahlah sepiring nasi berasal, dan itu tidak tiba-tiba. Sayangnya, itu semua tertutupi aneka citra soal sawah dan petani. Suatu kali, saya iseng bertanya ke anak-anak TK tentang asal muasal sepiring nasi yang paginya mereka makan. Banyak dari mereka bingung. Satu anak menjawab dengan berani. “Dari pasar, Mas,” katanya.

***

Alkisah di masa dahulu, seorang pemimpin negeri mengeluarkan sebuah kebijakan bernama revolusi hijau. Setelahnya, padi ditanam di seantero negeri. Piring nasi, perlahan tapi pasti, menggeser keberadaan piring sagu, piring nasi jagung, atau piring umbi-umbian. 

Persatuan diterapkan hingga ke meja makan. Pangan alternatif tinggal cerita setelah diganti biji Oryza sativa. Sebelum revolusi digaungkan, rakyat punya jenis pangannya masing-masing. Dengan terjadinya revolusi hijau, artinya perut rakyat mesti terdampak oleh penyeragaman yang diakibatkan kebijakan ini. 

Namun, sepiring nasi tentu saja tidak hadir dari jargon dan omongan para dewa di kahyangan. Di sudut-sudut negeri, banyak petani yang harus terus menanam tanpa peduli lakon yang sedang dimainkan. Mereka ada di lapis bawah struktur kekuasaan, yang hanya diingat saat menjelang pemilihan para penguasa.

Sepiring nasi dimulai dari biji-biji padi yang disemai para petani. Sembari menanti 21 hari hingga siap tanam, petani mesti menyiapkan lahan dengan membajaknya. Selain dibajak, petani beberapa daerah juga punya kebiasaan mengolah lahan dengan menebalkan pematang sawah, supaya rumput tidak kian liar dan struktur pematang sawah tetaplah kuat.

Ketika lahan sudah siap, mereka bisa segera menanam padi. Waktu terjeda sekitar dua minggu sebelum para petani mulai menyiangi rumput liar. 

Di Jawa, cara ini disebut matun. Caranya beragam, mulai dari menggunakan tangan secara manual hingga memakai alat bantu. Di pedesaan Jogja misalnya, dikenal alat bernama sorok, sebuah papan dengan gerigi besi untuk menggilas rumput liar di sela tanaman padi. Di Purworejo, alat ini disebut sodokan.

Selepas menyiangi rumput, tanaman harus dipupuk dan disemprot pestisida. Itu semua mereka dapatkan dari uang, bukan dari doa lugu yang membuat pupuk jatuh dari langit ketujuh. 

Setelah semua usaha sudah dilakukan, masih ada berbagai ancaman terhadap tanaman padi para petani. Entah itu serangan hama, serangan tikus, atau banjir yang tiba-tiba melanda.

Tiga bulan berselang, jika tiada aral melintang, padi siap dipanen. Panen pun nyatanya tidaklah sederhana. Para petani harus memisahkan gabah dari tangkai padi, menjemurnya, menggiling, dan barulah beras siap dimasak.

***

Semua tahap di atas tentu saja tidak seperti kisah-kisah dongeng tentang petani yang selalu kuat dan menggarap sawahnya dengan riang gembira. Ada kalanya para petani mesti mempekerjakan orang lain untuk membantu menangani lahan. Bayangkan saja, tentu mustahil seorang petani mengerjakan sendiri semua tahapan di atas pada lahan seluas ribuan meter persegi. 

Tidak, sekali lagi, ini tidak seperti kisah dongeng saat desa dan petani masih identik dengan sikap gotong royong. Mereka tentu harus membayar tenaga yang dipekerjakan, seperti saat menyewa traktor untuk membajak, atau meminta orang lain membantu menyiangi rumput. Sebagai gambaran, biaya sewa traktor dan operatornya untuk lahan 300 meter bisa mencapai 400 ribu rupiah.

Tidak ada kisah bahwa petani lain akan membantu dengan sukarela pekerjaan sesamanya. Toh, semua petani juga punya tanggungan pekerjaannya masing-masing. 

Biaya lain juga dibutuhkan saat membeli pupuk dan pestisida. Harganya bervariasi, tergantung merek dan kebijakan pemerintah kala itu. Di masa sekarang misalnya, ada perbedaan harga hingga 150 ribu untuk pupuk subsidi dan non subsidi per karungnya. Sayangnya, mencari pupuk subsidi pun tidaklah mudah. Sayangnya lagi, para petani mengakui kualitas keduanya berbeda. Pupuk non subsidi lebih mahal namun punya kualitas jauh lebih baik.

Banyak orang mungkin menganggap panen adalah akhir dari penantian panjang para petani. Padahal sesungguhnya tidak. Panen juga soal pertaruhan sekaligus permulaan, akan dibeli berapa padi mereka oleh para tengkulak? Bisa saja murah, bisa saja mahal, dan petani tetap tidak bisa meminta harga seenaknya.

Ada sistem tak kasat mata yang menundukkan mereka: mekanisme pasar. Banyak orang mungkin tidak tahu, harga beli gabah di tingkat petani jauh dari kata membahagiakan. Misalnya, sekilo gabah terkadang dibeli dengan harga dua ribu rupiah. Setiap masa panen, harganya berubah tanpa petani bisa meminta dan menolak.

Sebagai gambaran lain, lahan padi siap panen seluas 1.000 meter ketika dibeli tengkulak hanya ada di kisaran 2 juta rupiah. Nominal itu harus dinanti tiga bulan lamanya dengan segala pertaruhannya, itupun harus dipotong dengan biaya-biaya lain selama tahap produksi. Lalu bagaimana dengan si petani penggarap? Dapat jatah berapa ratus ribu dia untuk kerja kerasnya selama tiga bulan?

***

Saat para petani beradu keras dengan nasib, di pusat antah berantah, jabatan menteri pertanian menjadi sebuah jabatan politis yang diisi orang-orang yang bahkan belum pernah bekerja sebagai petani. Mereka tidak pernah tahu rasanya, bagaimana para petani kelelahan setelah bekerja seharian, lalu pulang ke rumah dan menonton televisi. Dan kotak kaca itu menampilkan berita bahwa pemerintah hendak mengimpor beras dari negeri seberang.

Banyak orang tidak sadar, ada bulir-bulir peluh petani pada sepiring nasi, yang diiringi dengan kekecewaan berkepanjangan dan daras asa yang tiada ada pernah putusnya. Mereka akan terus bertani, tak peduli lakon rezim seperti apa. Sembari, mungkin, menanti zaman datang lebih adil. Atau, mungkin malah negara yang datang dengan uang ganti rugi, demi pembangunan tol dan waduk? [red/BP]

Syaeful Cahyadi, Penulis lepas dan pekerja sosial. Tinggal di Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *