Perihal Cinta Orang-Orang Biasa

Kata Pak Sapardi, cinta itu sederhana, sesederhana kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api sebelum membakarnya. Ia memang sederhana, sebelum aspek-aspek turunannya bisa membuat semuanya jadi amat sangat rumit. 

Cinta memang diawali dari urusan rasa. Belakangan, ia akan berkelindan dengan aneka soal, bagi beberapa orang termasuk pertimbangan aspek materialisme dan kebendaan dalam diri 2 orang, bahkan 2 keluarga. Contoh paling sahih untuk perkara ini bisa ditengok di 3 pedoman ala Jawa: bibit, bebet, bobot.

Benar adanya jika cinta sesederhana rasa suka atau kagum. Bisakah seorang mahasiswa mencintai artis idolanya, atau seorang perempuan mencintai karakter pria dalam drama Korea? Tentu saja bisa.  Lantas, apakah bisa lebih dari itu? 

Banyak orang boleh bilang cinta saja tidak akan cukup untuk sebuah hubungan atau kehidupan. Dalam menjalani hubungan berlandas cinta, tetap dibutuhkan aspek pendukung lain, baik di dalam maupun di luar diri. Entah sifat, kecerdasan, ketaatan pada agama hingga kemampuan finansial. Aspek pendukung ini pula yang harus membuat banyak orang merelakan cintanya pupus. 

“Papa-mamanya sudah membesarkan dan membahagiakan dia, lalu kamu tiba-tiba datang ngajak hidup susah?” Kalimat ini mudah ditemukan di kalangan warganet. Bahwa, sebuah hubungan tidak bisa hanya karena soal asmara dan rasa. 

Lantas, bagaimana orang-orang yang keadaan dirinya tidak memungkinkan untuk memberi jaminan kemapanan atau kestabilan materialistik? Misalnya, cinta 2 orang petani sederhana atau cinta kaum pekerja dengan gaji UMR Yogyakarta? 

*** 

Manusia adalah makhluk unik, kompleks, dan kadang rumit di satu sisi. Setidaknya 3 hal inilah yang juga membuat perihal cinta menjadi sedemikian lucu. Banyak orang boleh mengira bahwa “mencintai apa adanya” adalah pepesan kosong belaka kiwari ini. Agaknya pula, konsep mencintai belakangan bergerak demikian materialistis-pragmatis. Kaum perempuan kadang melihat pasangannya sebagai sumber kemapanan baru, sementara kaum laki-laki kadang sekadar meletakkan pasangannya sebagai objek dari kehidupan pribadinya. 

Di tengah riuh rendah manusia soal percintaan dan aneka dramanya, ada banyak sekali pasangan yang menjalani percintaan dengan konsepsi “menerima apa adanya” dan kenyataannya itu tidak seburuk anggapan khalayak. Tidak semua orang di dunia ini punya kesempatan untuk memberikan kado, mengajak ke bioskop, atau menawarkan mahar mahal pada pasangannya. Itu semua, nyatanya, tidak membawa cinta pada degradasi makna yang menakutkan. 

Bayangkan seorang anak manusia yang sudah terbiasa hidup nelangsa sedari belia, bertemu pasangan dengan latar belakang serupa lalu memutuskan menikah. Realitas yang seperti ini tentu tidak memungkinkan untuk dijalani dengan kalimat semacam, “Jika sudah menikah, kamu tidak usah kerja, biar aku saja,” atau, “Aku akan membahagiakanmu, dan menjadikanmu ratuku,” atau ungkapan lain yang kiranga cocok dengan sudut pandang kebendaan. 

Sangat mungkin pernikahan mereka akhirnya justru lebih sering saling berbagi duka, menjalani kehidupan dengan apa adanya, dan berharap seluas-luas kesabaran dari diri pasangannya. Si lelaki harus bekerja lebih keras demi tambahan uang 20 ribu sehari dan si perempuan harus sedemikian cerdas mengencangkan ikat pinggang. Apakah itu mengurangi rasa dan makna dari sebuah cinta? 

Pernahkah melihat sejoli di pasar malam sudut kecamatan? Yang sekadar berjalan-jalan menikmati riuh rendah suasana, lalu sebelum membeli jagung bakar lalu menikmatinya dengan penuh suka cita? Bukankah itu juga cinta walaupun hanya dirayakan dengan begitu sederhana? 

Sebagaimana wajarnya manusia, mereka mungkin juga punya mimpi untuk berbuat lebih demi cinta dan pasangan mereka. Mentraktir makan di restoran atau memberikan nafkah yang lebih banyak. Sayang, keadaan tidak memungkinkan untuk itu. Pada akhirnya, cinta menemukan jalannya sendiri untuk mewujud. Toh, cinta juga sangat bergantung pada realitas subjeknya. Definisi cinta kaum selebritas dengan orang-orang biasa tentu akan sangat berbeda. 

Seorang buruh pabrik dengan upah UMR Yogyakarta misalnya, tentu tidak akan pernah mendefinisikan keseriusannya atas cinta dengan jaminan membuatkan rumah sesegera mungkin setelah menikah. Bukan karena ia tidak mau bekerja keras, namun karena keinginan itu hampir dikatakan mustahil di tengah harga rumah ratusan juta dan upah 2 juta. Pasangannya boleh saja menolak, tapi apa mau dikata jika begitu kenyataannya? 

Bagi orang-orang biasa yang jauh dari aneka previlese untuk mengupayakan sesuatu secara cepat, realitas adalah bagian tak terpisahkan jika bicara cinta. Keadaan dirinya mungkin jauh dari kata berkecukupan secara materi. Untuk itu, ia harus meminta kesediaan hati pasangannya untuk masuk dan ikut menikmati kesederhanaan dan segala seluk beluknya. Bisa jadi doa-doa mereka akan terkabul segera, walau bisa juga tidak. Menawarkan sesuatu yang ideal bisa jadi malah terkesan seperti upaya menutupi kenyataan. Sementara, banyak orang bilang cinta harus dilandasi kejujuran 

Toh, cinta dan kebahagiaan tidak melulu soal materi. Jika ini tolok ukurnya, para selebritas dan orang-orang kaya akan menjadi juara, tentu. Namun, kadang kenyataan berkata sebaliknya. Berapa banyak kabar perceraian datang dari pasangan dengan predikat mapan secara materi? Coba, kurang bahagia apa mereka jika kebahagiaan diukur dari aspek kebendaan? 

Sebaliknya, orang-orang biasa mengajarkan bahwa cinta sesungguhnya bisa amat sederhana. Pasangan petani yang sama-sama menikmati teh panas di pagi hari sebelum berangkat ke sawah misalnya. Atau, sejoli buruh yang menutup hari sekadar dengan menonton televisi di rumah kontrakan. Bukankah itu bagian dari cara mereka merayakan cinta? 

Kadang, dalam kesederhanaan itu tadi, aspek-aspek penunjang sebuah hubungan percintaan malah semakin menguat. Sejoli tadi menikmati teh penuh cengkrama, tanpa disibukkan urusan foto atau membuat story Instagram. Sementara di rumah kontrakan, sepasang suami istri itu saling mendengar satu dan lainnya, merengkuh duka lelah bersama, sembari mengumpulkan kekuatan untuk menjalani esok hari. 

Bagi orang-orang biasa, ada kalanya cinta bisa menjelma ke wujud yang paling sederhana, secara alami tanpa membawa degradasi makna bagi pelakunya. Orang lain boleh menaruh iba, namun dari merekalah kita seharusnya bisa belajar tentang makna bahagia. Bahwa, bahagia tidak melulu rumit dan itu nyata adanya. 

Bertemu lawan jenis, saling suka, berbagi komitmen, bertukar resah tentang segala duka yang mungkin terjadi, lalu selebihnya menjalani hari-hari dengan penuh berani. Tanpa banyak kalkulasi materialistik, pragmatisme, maupun ketakutan berlebjh yang mengambil alih. Sungguh, itu semua hanya bisa dijalankan oleh “orang-orang biasa”, orang-orang yang jarang diletakkan sebagai role model ataupun couple goal para penghamba modernitas. 

*** 

“Biasa” yang dimaksud dalam cerita ini bukan melulu soal ekonomi dan materialisme semata. Lebih jauh daripada itu, “biasa” adalah sebuah makna kesederhanaan dalam memandang hidup. Paras akan menua, kekayaan mungkin akan sirna, dan duka cita mungkin tidak akan berlaku selamanya. Lalu, bagaimana cinta akan bertahan selepas 10 atau 20 tahun sejak diucap pertama kalinya? 

Menutup catatan ini, saya membayangkan andaikata Ibu Rachmi Hatta di masa mudanya sepragmatis pemikiran segelintir remaja belasan hari ini, tentang pasangan mapan dan mau menggunakan aneka previlese demi kebahagiaan keluarga. Apa mau dikata, tabungannya untuk membeli mesin jahit harus lenyap karena kebijakan pemotongan mata uang. Sementara suaminya, Bung Hatta, terlalu lurus untuk menggunakan jabatan demi kebahagiaan sang istri. 

“Papa mamanya udah membesarkan dan membahagiakan dia, lalu kamu tiba-tiba mengajak menikah hanya dengan mas kawin buku filsafat?” mungkin begitu bilang para warganet jika kisah cinta Bung Hatta dan Rachmi Hatta terjadi hari ini. 

Sungguh, cinta kadang terlalu dibuat rumit untuk hidup yang sesungguhnya bisa dipandang secara sederhana.

Syaeful Cahyadi. Penulis dan pekerja sosial. Tinggal di Yogyakarta.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *