Perempuan yang Berpendidikan

Bukan lagi saatnya kita mengkotak-kotakkan manusia sebatas beda gender saja. Tapi mari kita menghargai seorang manusia berdasarkan visi dan etos kerja, apapun gendernya.

Seringkali, stigma negatif ditempelkan pada para perempuan yang memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, atau menjadi wanita karier. Walau saat ini, khususnya di kota besar, stigma tersebut sudah tidak terlalu santer terdengar, namun tetap saja ada kelompok masyarakat yang berpandangan bahwa wanita di usia matang seharusnya segera menikah.

Padahal tidak ada salahnya bagi perempuan untuk memilih strata pendidikan setinggi-tingginya. Toh perempuan akan menjadi madrasah pertama bagi anaknya jika ia memiliki keturunan kelak. Anak yang cerdas akan lahir dari rahim perempuan yang cerdas pula. 

Namun tidak dimungkiri bahwa masih banyak yang tidak setuju dengan pendapat kami, selaku kaum perempuan yang ingin melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya dan bekerja sesuai passion yang kami miliki.

Yah, padahal sebenarnya jika kita bisa memiliki gelar dari hasil mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan bisa bekerja sesuai passion, itu akan sangat berguna bagi kita pada masa depan. Betul? 

Bayangkan saja jika pada masa yang akan datang kami hanya diam di rumah masing-masing tanpa bisa bersosialisasi di masyarakat, membantu orang tua dan kakak kakak yang telah ikut berjuang membiayai pendidikan selama kami menuntut ilmu, dan tidak bisa ikut berkontribusi dalam rumah tangga jika sudah menikah nanti. 

Selain menjadi wanita yang berpendidikan baik, kami juga harus mempunyai manner yang baik, agar nantinya tidak hanya pintar, namun juga mempunyai budi pekerti yang lujur. 

Kemudian kalau ditinjau dari segi gender pula kami kaum perempuan selalu dinilai tidak pantas menjadi pemimpin dan lain-lain (memang di dalam al-Qur’an ada penafsiran bahwa pemimpin itu lebih baik seorang laki-laki).

Tetapi jika ternyata di suatu organisasi atau suatu institusi dan tempat-tempat lainnya ada perempuan yang lebih baik memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin, dibanding laki-laki, bagaimana cona? Menurut saya itu lumrah saja, karena seharusnya kita bisa menilai seseorang dari kinerja, dan bukan hanya gendernya.

Di samping peran perempuan dalam dunia pendidikan, masalah gender juga patut kita perhatikan. 

Gender menurut saya adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang harus dipahami berdasarkan pemahaman masyarakat mengenai nilai dan tindakan. Jika dihubungkan dengan pendidikan, tentunya masih berkesinambungan. Mengapa tidak?

Bisa kita lihat pada masa kini banyak masyarakat berpendapat bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena nantinya juga akan di rumah mengurus keluarga, memasak, mencuci, menyusui, melayani suami dan lain sebagainya. 

Pendapat seperti itu menurut saya sudah terlalu kuno untuk masa sekarang. Pada masa sekarang ini teknologi sudah semakin maju, semua serba mesin, informasi apapun bisa kita ketahui melalui teknologi informasi yang sudah semakin maju pula. 

Perkembangan teknologi juga hendaknya diimbangi dengan perkembangan pandangan kita tentang pendidikan perempuan, serta kesetaraan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Bukan lagi saatnya kita mengkotak-kotakkan manusia sebatas beda gender saja. Tapi mari kita menghargai seorang manusia berdasarkan visi dan etos kerja, apapun gendernya.

Oleh karena itu, sebagai perempuan, mari saya ajak kita untuk tidak pernah menyerah maupun menyesal karena sedang menjalani atau sudah menyelesaikan pendidikan kita.

Mari kita sama-sama berjuang untuk menghidupkan emansipasi wanita, seperti yang telah digaungkan oleh ibu kita “Kartini”. Jadilah perempuan yang berpendidikan dan bersahaja di masa yang akan datang. Maju terus perempuan Indonesia!

Hana Qoulan Ma’rufa. Anak terakhir dari empat bersaudara.

[red/yes]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *