Ngajarin Bahasa untuk Penutur Asing dan Pengalamannya yang Bikin Kikuk dan Ngeri

ghibahin

“Sendawa yang saya kira elemen inheren pada umat manusia, ternyata masuk dalam golongan hal-hal yang tidak berlaku universal.”

Saya adalah mantan guru bahasa Indonesia, mengajar penutur asing selama beberapa tahun di Yogyakarta. Catat ya, penutur asing, bukan bule. Sebanyak dan sesering apapun saya menjelaskan, tetap saja teman dan kerabat menyebut saya mengajar bule. Padahal, pernah dalam satu tahun siswa terbanyak kedua berasal dari Jepang, hanya kalah sedikit dari Australia. Suatu waktu bahkan murid saya seorang guru bahasa Arab dari Riyadh, Arab Saudi.

Sebagian orang–jika bukan semuanya–memandang bahwa mengajar bule itu hal yang gampang tapi tampak prestisius. Soal prestisius, karena ini menyangkut perspektif orang luar dan terkait perasaan, tentu tingkat subjektivitasnya amat kental. Saya sendiri sebagai pelaku merasa biasa-biasa saja, tidak menganggap pekerjaan ini lebih mulia dari pekerjaan lainnya.

Orang mengira, mengajar bahasa Indonesia itu gampang karena bahasa Indonesia tidak mengenal tenses seperti bahasa Inggris. Dan bagi native speaker, bahasa Indonesia dianggap sudah ngelotok di luar kepala. Nyatanya nggak semudah itu, Mukijan!

Bisa dibilang, bahasa Indonesia bagaikan terbagi menjadi dua entitas yang berbeda: lisan vs. tulisan, formal vs. informal. Ibarat parpol, kira-kira ya seperti PPP dan PKS. Sama-sama ketua umumnya pernah dicokok KPK, eh, sama-sama partai Islam, tapi laku politiknya berbeda.

Misalnya, dalam konteks formal, kita memakai “apa kabar?” sementara dalam konteks informal dengan teman kita memakai “mau ke mana?” atau “udah makan, belum?” sebagai padanan tegur-sapa di bahasa Inggris “how are you?” atau sejenisnya.

Untuk klaim kedua, sebenarnya susah untuk memastikan siapa yang berhak disebut sebagai penutur asli bahasa Indonesia. Dalam kasus saya, bisa dibilang bahwa bahasa pertama saya adalah bahasa Jawa. Bahasa Indonesia mulai diserap lewat sekolah, radio, televisi, buku, koran, dan majalah. Jika yang jadi acuan baku bahasa Indonesia adalah siaran berita di TV, maka saya tidak bisa mendaku diri seorang native speaker, sebab aksen medok saya akan muncul di sana-sini.

Selain urusan teknis menyangkut pengajaran unsur-unsur linguistik bahasa Indonesia sendiri, ada hal-hal lain yang membuat pengajaran bahasa Indonesia bukan perkara sederhana, dan tak semudah menjelaskan sesuatu yang gampang dimengerti.

Menjaga keteguhan iman, saya rasa, adalah tantangan terbesar dalam pekerjaan ini. Biasanya, di kelas ada satu murid dan satu guru. Paling banyak, empat murid dan satu guru. Seprofesional-profesionalnya saya, beberapa kali saya jatuh dalam kenistaan zina mata.

Beberapa murid perempuan saya suka memakai atasan yang terlalu rendah (lucu juga ya, sudah di atas kok bisa rendah). Harusnya mata bertemu mata,tapi mata ini suka tergoda untuk travelling ke tempat yang tak semestinya. Pernah suatu kali saya tertangkap basah, dan itu adalah peristiwa terkikuk yang pernah saya alami!

Seorang rekan guru perempuan sekali waktu mengeluh. Dia ingin bertukar kelas. Awalnya, dia bilang tidak tahan dengan bau si murid cowok yang sepertinya tidak pernah mandi pagi dan tidak setiap hari ganti baju. Kebayang, kan, gimana rasanya selama dua jam berada di dalam ruangan yang tak lebih besar dari sembilan meter persegi, dan hidung harus berjuang untuk menyaring oksigen yang sudah “tercemar”?

Sebetulnya, hal ini biasa para guru jumpai, maka ekspektasinya si rekan guru juga bisa menangani. Ternyata ada satu lagi kelakuan si murid yang bikin teman guru ini ngotot tak mau mengajarnya. Si murid ternyata nggak pernah pakai celana dalam, bikin si mbak guru yang lajang ini bergidik ngeri!

Sebelum diangkat sebagai guru, saya dan rekrutan seangkatan mendapatkan pelatihan intensif selama hampir dua bulan. Materi yang diberikan di antaranya adalah perbedaan lintas budaya dan bagaimana perilaku yang culturally sensitive dan politically correct. Misalnya, kami tidak boleh menanyai murid tentang gaji, status pernikahan, dan orientasi seksual mereka.

Namun, sebaik apapun pelatihan, pasti ada saja yang terlewat. Suatu hari, setelah diangkat menjadi guru, seusai menaruh seperangkat alat makan kotor bekas makan siang di dapur, saya berjalan hendak kembali ke ruang guru untuk menyiapkan kelas berikutnya.

Saat melewati gazebo, saya bersendawa lalu mengucap hamdalah, yang cukup kencang untuk didengar seorang murid berkebangsaan Perancis yang tengah mengobrol dengan salah seorang guru di gazebo itu. Si murid langsung menengok ke saya dan menghardik, “That’s uncivilized!

Sendawa saya adalah ekspresi rasa kenyang, rasa syukur, dan rasa bahagia. Sendawa yang saya kira elemen inheren pada umat manusia, ternyata masuk dalam golongan hal-hal yang tidak berlaku universal. Alhasil, saya disebut sebagai orang yang tak beradab. Ngenes!

Beragamnya murid, berarti beragamnya kendala belajar mereka. Misalnya, orang Jerman kalau mengucap “r” akan terdengar seperti “r” orang cadel, bergetar dan dalam … Apaan, sih. Hehehe. Maksudnya, mestinya artikulasinya terjadi di rongga gigi (alveolar) tapi justru mendekati celah suara (glottal).

Terhadap mereka-mereka ini, kami mesti memaklumi dan menerapkan sympathetic listening, yakni tidak perlu ngotot mengoreksi karena mereka sudah cetakannya begitu. Apalagi kalau mereka baru belajar di level pemula. 

Selain harus bersimpati, kami juga tidak boleh cepat-cepat mengambil kesimpulan. Murid Korea dan Jepang biasanya tidak bisa membedakan “r” dan “l”, dan kadang kebalik-balik: malam jadi maram, marah jadi malah.

Suatu hari seorang murid ditanya oleh salah seorang guru, “Kamu suka yang mana?” Si murid dari Korea itu menjawab, “Saya suka raba-raba!” Untungnya, kelas itu tentang nama-nama hewan. Coba kalau kelasnya soal hobi atau kegiatan favorit, mungkin si guru akan buru-buru berpikir bahwa muridnya mau ngajakin dia “ena-ena”!

Masih soal ini. Ada satu cerita tentang seorang murid dari Jepang. Di minggu-minggu terakhir masa satu tahun belajarnya, si murid melaporkan kepada salah seorang guru tentang hal yang hampir setiap hari terjadi di hotelnya. Setiap kali dia membeli makanan atau minuman di restoran hotel (melalui telepon), pasti yang diantar adalah apa yang dia mau, ditambah satu buah pisang. Misalnya, dia minta kopi dan kentang goreng, yang datang adalah kentang goreng, kopi, dan satu buah pisang. Selalu begitu selama satu tahun, sampai dia amat benci dengan pisang!

Si guru yang dilapori merasa sudah mengajarkan hal-hal dasar saat di level beginner. Untuk memastikan apakah si murid melakukan kekeliruan, si guru memintanya untuk mempraktikkan bagaimana dia menyampaikan pesanannya ke restoran, meskipun sebenarnya dia yakin bahwa kemampuan berbicara si murid dengan kosakata yang sangat luas tidak memungkinkan dia melakukan kesalahan elementer.

Si guru ini mungkin lupa bahwa selain kacau dalam pelafalan “l” dan “r” kebanyakan orang Jepang juga bermasalah dengan pelafalan “n” diakhir kata dan biasanya berubah menjadi “ng”. Jadi, ketika si murid bermaksud: “Saya mau pesan kopi dan kentang goreng,” yang terdengar oleh pihak restoran adalah “saya mau pesang, kopi, dan kentang goreng.”

Pada saat seperti inilah kami, guru bahasa Indonesia, pengen kaya cakwe yang belum laku: nyender diem aja. [red/yes-bp]

Sugiyanto Widomulyono

One thought on “Ngajarin Bahasa untuk Penutur Asing dan Pengalamannya yang Bikin Kikuk dan Ngeri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *