Neytiri di Avatar 2, Pergerakan Perempuan, dan Hari Ibu

neytiri

Perbedaan signifikan antara Hari Ibu di Indonesia dengan Hari Ibu di negara lain, telah menunjukkan ruang lingkup yang lebih luas, bahwa Hari Ibu di Indonesia sesungguhnya adalah perayaan bersama untuk setiap perempuan.

“I need you, with me. And I need you to be strong!” 

Percakapan sederhana nan menyentuh antara JackSully dan Neytiri itu tetiba membuka mata saya tentang konsep kesetaraan sebagai warrior di Pandora, dunia para Na’vi. Adegan menegangkan selanjutnya, Neytiri ikut bertempur bersama suaminya, menolong kedua anak perempuannya, dan menghabisi musuh-musuhnya. 

Kesetaraan? Avatar 2? Ini saya sedang bicara apa? Yang jelas bukan tentang film besutan James Cameron secara keseluruhan, tetapi hanya beberapa penggal adegannya. 

“Jadi tahu, ya, Nak, kalau seorang Ibu —perempuan sih tepatnya— diusik; mereka akan mengerahkan energi, kekuatan fisik dan mental yang melampaui dirinya sebagai perempuan.” Si Bungsu saya, yang sebentar lagi berusia sepuluh tahun, seketika menyetujui tentang women power ini.

Film layar lebar yang saya tonton di awal peluncurannya di Indonesia, menjadi bahan diskusi saya dengan Si Bungsu. Apakah para perempuan dalam film itu diam saja dan hanya berjaga di basecamp ketika perang berlangsung? Ataukah mereka ikut berperang dan melawan musuh? Tonton sendiri ya, untuk menemukan jawabannya, karena tulisan ini bukan resensi film. 

Saya lantas menyadari, peran ibu dan kesetaraan dalam film Avatar 2 serupa dengan keinginan sejati para perempuan di dunia patriarki. Namun hingga kini, pemaknaan umum masyarakat Indonesia tentang perayaan hari ibu baru sebatas bunga, cokelat, serta pernak pernik hadiah yang disiapkan anak untuk ibunya pada tanggal tersebut. 

Yuk, kita diskusikan lebih jauh tentang Hari Ibu.

Pertama, mengapa tanggal 22 Desember?

22 Desember ditetapkan oleh mendiang Presiden Soekarno sebagai Hari Ibu, berdasarkan Kongres Perempuan pertama tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, yang lahir menyusul pergerakan pemuda dua bulan sebelumnya. Ketika itu, kongres yang dipimpin oleh R.A Soekonto tersebut banyak mendiskusikan arah perjuangan perempuan. 

“Sudah waktunya mengangkat derajat kaum perempuan agar kita tidak terpaksa duduk di dapur saja. Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum.” Demikian pernyataan R.A Soekonto, yang dengan jelas mendeklarasikan kebangkitan pergerakan perempuan Indonesia, mengekor pergerakan pemuda.

Bukan hanya itu saja. Dari Kongres Perempuan Indonesia, diciptakanlah organisasi bernama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI), dengan tujuan membantu perempuan dan anak, yang masih relevan hingga sekarang. Di antaranya memberikan beasiswa kepada anak-anak perempuan yang tidak mampu, menguatkan pendidikan, dan mencegah terjadinya pernikahan anak. Juga menerbitkan surat kabar, yang mendorong banyak perempuan untuk menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. 

Lantas, mengapa akhirnya 22 Desember populer sebagai Hari Ibu seperti Mother’s Day, 8 Mei, di Amerika Serikat? Saya pribadi sedikit berasumsi, kemungkinan ada campur tangan patriarki atau kaum feodal yang memasyhurkannya.

Lihat saja bagaimana pemerintahan Orde Baru, yang memposisikan perempuan sebagai pendamping, dengan pembentukan organisasi para istri. Sejak saat itu, bahkan hingga kini, di beberapa instansi masih cukup langka perempuan yang menjadi pimpinan tertinggi, atau yang berkedudukan dan berpenghasilan setara lelaki. 

Kenyataannya, sejarah Mother’s Day di banyak negara, bukan sekadar mengenang jasa seorang ibu. Di Prancis, Hari Ibu diperingati setiap 26 Mei, untuk menghormati para istri yang ditinggal gugur suaminya dalam Perang Dunia I. Di Jepang, setiap 12 Mei, biasa diadakan lomba menggambar sosok ibu bagi anak-anak. Karya pemenang lomba akan dipamerkan di seluruh negeri sebagai wujud penghargaan kepada sosok Ibu.

Hari Ibu di Inggris malah punya makna berbeda. Hari Ibu dirayakan setiap hari Minggu, tiga pekan sebelum Paskah, yang biasanya jatuh antara pertengahan Maret dan awal April. Mothering Sunday menjadi momen berkumpul ibu dengan anak-anaknya. 

Biasanya, para perantau akan pulang ke rumah untuk merayakan Hari Ibu dengan memberikan bunga, kartu ucapan, atau hadiah. Uniknya, hadiah tidak hanya diberikan kepada ibu kandung, tetapi juga kepada siapapun yang setara kedudukannya dengan Ibu; seperti nenek, ibu tiri, dan ibu mertua.

Perbedaan signifikan antara Hari Ibu di Indonesia dengan Hari Ibu di negara lain, telah menunjukkan ruang lingkup yang lebih luas, bahwa Hari Ibu di Indonesia sesungguhnya adalah perayaan bersama untuk setiap perempuan. Perayaan untuk mengajak sesama perempuan untuk tak henti beraspirasi, bergerak, berkarya dan berdaya. 

Beberapa waktu lalu, ketika muncul istilah childless atau childfree sebagai alternatif dalam berkeluarga, isu tersebut sangat panas diperdebatkan di pelbagai kalangan. Pihak yang menentang seolah-olah menuding perempuan sangat bersalah bila tak berkeinginan memiliki anak, atau hanya memiliki sedikit anak. Dengan kata lain, keliru jika perempuan tak mencapai status ibu.

Pada kenyataannya, salah satu sahabat saya justru membuktikan, bahwa pilihan hidupnya dan suaminya untuk tak memiliki anak, tidak mengurangi kemuliaan mereka sebagai manusia. 

Keduanya berkarir sebagai akademisi, dengan tanggung jawab besar, serta jam mengajar dan bimbingan yang padat. Mereka menyebut para mahasiswa sebagai anak-anak ideologi. Keduanya bersungguh hati dan tak kenal waktu, untuk mempersiapkan para mahasiswa menjadi yang terbaik.

Dalam keseharian, suami-istri ini sangat sibuk. Mereka berkata kepada saya bahwa mereka akan merasa sangat berdosa, bila pengabdian dalam dunia pendidikan tidak menyisakan waktu untuk mengurus anak sendiri, sehingga anak terpaksa diasuh oleh kerabat atau pembantu. 

Sebuah pilihan yang menurut saya teramat bijaksana, dibanding orang yang ingin memiliki banyak anak, namun tak mau meluangkan waktu untuk mengasuh, dan malah memilih menyerahkan anak-anak pada lembaga sekolah, apa pun konsep pendidikannya. 

Sahabat saya baru satu contoh dari sekian banyak perempuan yang BUKAN ibu, tapi banyak berbuat bagi sesamanya. Mereka menjadi bukti hidup kebangkitan perempuan, seperti hasil Kongres Perempuan pertama itu. Bagi saya, pengabdian mereka juga harus dirayakan.

Pada akhirnya, saya kembalikan lagi kepada pilihan pribadi setiap pembaca dalam memaknai selebrasi 22 Desember. 

Saya pribadi memilih tidak meromantisasi selebrasi ini untuk perempuan Indonesia yang berstatus sebagai ibu saja. 22 Desember bagi saya adalah hari bangkitnya Perempuan Indonesia. Sebagai pengingat bagi saya, untuk tidak menafikan kontribusi dan aspirasi yang telah kaum perempuan berikan untuk bangsa ini, meski mereka bukan seorang ibu; seperti sahabat saya. 

Selamat berkarya dan berdaya teman-teman perempuan Indonesia! Bersemangatlah melakukan perubahan dan menjadi ibu dari peradaban!

Sedikit pesan untuk teman-teman yang sudah membeli kado untuk ibu masing-masing, yuk kita lakukan ini lebih sering lagi. Luangkanlah waktu untuk menanyakan kabar dan saling mengobrol tentang keresahan ibu. Justru itu bentuk merayakan ibu sehari-hari. Tabik.

Ivy Sudjana, tinggal di Bali.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *