Menyoal Gula Tiga Kilogram

“Setiap orang itu punya kadar manisnya sendiri-sendiri.”

Ada apa sih dengan gula tiga kilogram? 

Belum lama ini, lini masa saya disesaki oleh berita-berita terkait gula tiga kilogram ini. Saking ramainya, “gula tiga kilogram” seakan-akan menjelma menjadi sebuah lema yang seharusnya bisa ditambahkan di KBBI daring.

Iya, saya tahu, “gula 3 kilogram” ini awalnya merupakan bagian dari diksi-diksi terpilih (selain caci-maki nama binatang) dalam sebuah review viral minuman Chizu Red Velvet yang mengundang kontroversi itu. Saya jadi berpikir, seandainya si reviewer tidak di-somasi Es Teh Indonesia selaku produsen minuman tersebut, akankah “gula tiga kilogram” bisa setenar sekarang ini? 

Saya jadi kasihan dengan sang “gula tiga kilogram” ini. Ia jadi ikut terseret-seret dalam perkara ini, berseliweran di lini masa, berbaur dengan warta politik, hoaks, click-bait, info jualan, sampai berita terkait birahi (duh!).

Kehadirannya saat ini seperti menjadi objek selanjutnya yang pantas diobok-obok, setelah perkara utamanya yaitu pro-kontra netizen terkait somasi ini sudah mulai redup, membosankan, atau malah larut tenggelam dalam kubangan teh. Sehingga, seperti yang telah saya ungkapkan di awal, kehadirannya menjadi sumber inspirasi berbagai media untuk mengulitinya habis-habisan. Perhatikan, deh. Pada akhirnya, banyak konten yang diangkat media berkaitan dengan kandungan gula, efek minuman bergula, atau hal lainnya seputar per-gula-an ini. 

Dari catatan saya, laman suaramerdeka.com dan bisnis.com pada 26 September lalu sama-sama mengangkat topik tentang takaran asupan gula yang boleh dikonsumsi dalam satu hari. Di tanggal yang sama, laman detik.com juga mengangkat topik tentang kandungan gula dalam minuman kemasan.

Sepertinya, topik yang menjadi favorit untuk diangkat terkait hal ini sepertinya adalah tentang efek mengonsumsi gula yang berlebihan. Dari catatan saya, paling tidak ada empat artikel dari berbagai laman yang membahas topik ini. Mulai dari bisnis.com pada 26 September 2022, republika.com pada 27 September 2022, tirto.com pada 28 September 2022, dan detik.com pada 28 September 2022. 

Saya bukannya anti dengan artikel bertema kesehatan seperti itu, tapi saya merasa bahwa maraknya artikel-artikel tersebut mungkin saja karena terpicu diksi “gula tiga kilogram” tadi. Padahal, kita tahu bahwa tidak mungkin minuman tersebut menggunakan takaran gula sampai tiga kilogram, kan? Sang “gula tiga kilogram” pun seakan menjadi pesakitan atas hal yang diimajinasikan si reviewer tadi. 

“Salah saya sebenarnya apa sih? Kok, saya jadi ikutan kebawa-bawa? Itu kan dia aja yang lebay karena merasa minumannya kemanisan!” Mungkin ini yang akan diucapkan gula tiga kilogram, seandainya ia bisa ngomong. 

Ah, seandainya sang “gula tiga kilogram” adalah sesosok makhluk hidup bertangan, pasti langsung saya ajak tos. Apa Sobat Ghibah tidak iba? Dia itu hanya korban hiperbola. Plis, deh.

Nggak mungkin juga kaleee, gula sebanyak itu jadi takaran seporsi minuman. Dan lagi, ya, menurut saya, setiap orang itu punya kadar manisnya sendiri-sendiri. Bisa saja, si reviewer kebetulan standar manisnya di bawah takaran sang kedai minuman.

Contoh lainnya adalah keluarga tante saya, yang sudah terbiasa minum teh manis kental setiap sore, mungkin merasa kurang sreg kalau belum mengonsumsi gula minimal tiga sendok kecil sebagai pengiring makan. Tapi bagi seorang Nicholas Saputra mungkin malah tidak perlu menambah gula lagi kalau pesan minuman. Lha, udah manis banget gitu, je … Yaolo, tolong.

Saya sebenarnya bertanya-tanya juga, darimana sejarahnya si reviewer memilih 3kg sebagai takaran dalam cuitannya itu, ya? Kenapa angka 3 yang dipilihnya? Kenapa bukan angka 1, 2, atau sekalian angka 10?

Pertanyaan saya ini terjawab setelah menemukan artikel di www.wno.or.uk yang mengatakan bahwa, “The number 3 was considered as the perfect number, the number of harmony, wisdom, and understanding.” Dengan dukungan sepenuhnya dari google translate, saya coba artikan sebagai berikut, “Angka 3 dianggap sebagai angka yang sempurna, angka keselarasan, kebijaksanaan, serta pengertian.” 

Tapi, apa iya itu yang menjadi dasar sang reviewer menyertakan angka 3? Jangan-jangan, beliau hanyalah penggemar berat band rock ’90-an bernama Blind Melon, yang salah satu lagunya berjudul Three Is A Magic Number? Atau sebenarnya beliau punya misi untuk membuat “gula tiga kilogram” ini merakyat laksana tabung gas 3 kg?

Saya hanya cemas bahwa gula tiga kilogram ini, yang awalnya hanya sekadar diksi, pada akhirnya justru dipercaya sebagai hal yang sebenarnya terjadi. Ah, kasihan sekali. Tetap semangat ya, Gula!

Dessy Liestiyani, wiraswasta, tinggal di Bukittinggi

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *