Menjadi Seorang Ayah

ghibahin

“Banyak kisah dan itu seringkali membuat dada sesak oleh karena ketidak-beresan seorang ayah atau ibu.”

Aku menyaksikan momen menjadi seorang ayah dari handphone genggam milikku, seorang lelaki muda melafalkan kalimat-kalimat adzan di telinga kanan anaknya yang baru lahir. Lelaki muda itu tampak khusyu dan syahdu, sementara si bayi berjenis kelamin perempuan itu tengkurap di dada ibunya dengan pipi kiri di bawah. Meski video itu berdurasi sekian detik, tetapi aku merasakan keharuan mendalam, entah bagaimana bisa.

Tentu saja aku kenal lelaki muda itu, aku tahu namanya. Rumah kami sangat dekat, dan dia adalah teman main sejak kecil walau usianya jauh lebih muda ketimbang aku. Lalu beberapa ingatan tentangnya mulai berkecambah, jauh di masa silam. Kurasa waktu begitu lekas bergegas, tahu-tahu dia sudah memiliki seorang anak, dan aku makin merasa kalau diriku sudah tua. Hahaha.

Lima atau enam tahun sebelumnya, kiranya lelaki muda itu adalah “anak-anak”. Seorang siswa di sebuah bangku sekolah, seorang teman bagi teman-temannya, dan seterusnya, dan tentu pada hari itu dia adalah anak dari ayah dan ibunya.

Memang tak ada yang aneh dari fase ini. Maksudku, tiap orang adalah anak-anak di zamannya, lalu menikah lalu punya anak jika sudah waktunya. Maka ketika lelaki muda itu memposting sepotong berita di akun WhatsApp-nya–kurasa itu sangat berharga baginya–mengabarkan bahwa anaknya telah lahir dengan selamat pukul sekian. Kemudian pada bagian selanjutnya dia juga mengunggah sebuah video dirinya melantunkan adzan di telinga kanan bayi perempuannya itu, kutahu dia adalah seorang ayah. Tak bisa dibantah lagi olehku atau siapa pun.

Aku tidak bisa datang ke tempat di mana anaknya dilahirkan sebagaimana orang-orang lain yang bisa datang, tidak pula ke rumahnya dengan sekaleng biskuit, misalnya. Maka tulisan pendek ini sekadar ingin menyapanya dari jauh, layaknya seorang kenalan dari zaman kuno (anggap saja demikian), dan dengan ini aku berkata: gud-jab, Brada!

Mungkin kapan-kapan aku akan bertanya padanya bagaimana rasanya menjadi ayah bagi anak pertamanya? Pertanyaan yang mungkin lumrah diutarakan oleh orang-orang yang belum merasakan, tentu saja. Tetapi bisa jadi aku tidak perlu bertanya. Cukuplah aku mengerti.

Dan bila kelak bertemu, aku tidak tahu kapan ini akan terjadi–satu, dua, atau tiga tahun setelah ini–pada saat itu, aku akan mendapati seorang gadis kecil berayun-ayun di kedua lengannya. Lalu, mungkin aku akan berkata padanya, seakan seorang bijak, “Kamu tahu? Dari sekian hal yang berarti di dunia, dialah satu-satunya yang paling mengagumkan, dan karena itu dia teramat berharga ….” Amboi! Sungguh teramat bijak, kan? Hahaha.

Mungkin karena aku menemukan kesedihan-kesedihan yang tak patut dirasakan oleh bayi-bayi yang baru menatap dunia atau bagi anak-anak yang baru belajar warna-warna pada sayap kupu-kupu, bunga-bunga, laut dan langit dalam cerpen-cerpen yang aku baca. Banyak kisah dan itu seringkali membuat dada sesak oleh karena ketidak-beresan seorang ayah atau ibu. Oleh sebab itu semua, saat menulis catatan ini, sekian pertanyaan tiba-tiba berputar-putar di kepalaku mengenai bayi yang baru lahir itu, meski mungkin sedikit keterlaluan: seperti apa nasibmu kelak, Nak? 

Kehidupan macam apa yang bakal kamu jalani? Tentulah di kedua tanganmu tergenggam takdir Tuhanmu, dan apa yang ditakdirkan terhadapmu tak akan meleset. Meski demikian, apakah orang-orang di sekelilingmu, terutama ayah ibumu mengerti perihal apa yang membuatmu bahagia? 

Bila nanti kamu mulai belajar memberi warna pada gambar-gambar, menghitung dan menghafal nama-nama tumbuhan misalnya, apakah pohon-pohon masih tumbuh di tempatmu? Apakah tanah-tanah masih cukup luas bagi penghidupan? Apakah air-airnya masih jernih? 

Saat kamu mulai bertumbuh, kiranya hal apa yang kamu pikirkan, Nak? Apa yang ingin kamu perbuat? Apa yang hendak kamu hidupkan di dalam dirimu? 

Namun, terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang tampak begitu pesimis, aku berharap hal-hal baik selalu menghampirinya. Dan aku memang selalu berharap demikian bagi jiwa-jiwa yang lahir ke bumi, siapa saja. 

Selain itu, aku yakin lelaki muda itu akan menjadi seorang ayah yang baik. Dia pastilah menyayangi anaknya, melindunginya dari hal-hal buruk, dan memberinya kedamaian layaknya para ayah di seluruh penjuru bumi yang menyayangi anak-anak mereka melebihi apa pun. Yah, dia tidak mungkin berbuat sebaliknya.

Aku tahu, lelaki muda itu tahu apa yang mesti dia lakukan sesaat setelah dirinya bukan “anak-anak” lagi. Dan, kurasa dia bahkan lebih mengerti ketimbang aku. 

Acik Giliraja. Lahir dan besar di Sumenep. Menyukai puisi dan cerita pendek. Saat ini tinggal di Jakarta. 

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *