Menjadi Guru, Saya atau Profesinya yang Dilematik?

“Pak, kalau nabi itu diampuni dosanya ya?” tanya Elang, anak kelas 4 SD.

“Iya,” jawab saya. 

 “Berarti kalo aku jadi nabi, dosaku diampuni ya, Pak?” Saya dibuat melongo dengan pertanyaan tak terduga tersebut. Sudah beberapa bulan ini saya menjadi pengajar di salah satu SD. Sebuah pengalaman baru bagi saya yang sebenarnya menghindari profesi tersebut. Saya tidak pandai menghadapi anak-anak. Saya tidak suka keramaian, saya tidak bisa mengendalikan massa. Tapi toh hari ini saya ada di sini, menjadi seorang pengajar. 

Menjadi seorang pengajar, selain kesiapan untuk bertanggung jawab atas penyediaan sarana fisik dan materi ajar, dibutuhkan juga kesiapan mental, intelektual dan kecakapan untuk menghadapi kejadian-kejadian tak terduga yang kadang menjadikan profesi ini terasa dilematik. Salah satu contohnya adalah cerita saya di atas–munculnya pertanyaan-pertanyaan yang kelewat kreatif dari murid-murid. Pengajar yang tidak cukup cerdas dan cakap seperti saya tentu kehabisan kata-kata, tidak bisa menjawab. 

Lain kali, ketika saya menyebutkan waktu-waktu di mana doa itu mustajab, salah satu anak menyeletuk, “Pak, kemarin aku pas waktu-waktu itu berdoa tapi kok nggak dikabulkan?” Yang lain menimpali, “Berarti kalau kita minta PS5 pas waktu-waktu itu bisa langsung dapat ya, Pak?” Saya tentu dibuat senewen dengan pertanyaan-pertanyaan yang nggak ada habisnya itu. 

Kalau toh bisa menjawab dan mau menjawab, maka perlu uraian panjang yang belum tentu si penanya, yang notabene adalah anak SD itu, mau menyimak jawaban panjang lebar yang saya sampaikan. Maka letak dilemanya adalah pengajar ditantang untuk memberi jawaban yang singkat, jitu dan memuaskan. Iya kalau saya budayawan Cak Nun atau Sujiwo Tejo yang bisa ngomong ceplas-ceplos tapi masuk akal, wong saya cuma anak muda labil yang tidak tahu menahu secara pasti cara mendidik anak. Hahaha.

Dilema lain dari profesi pengajar, terutama pengajar SD adalah materi ajar yang tidak bisa dibikin kompleks, materi ajar di LKS kebanyakan adalah materi yang searah, satu referensi saja, dibuat simpel dan tidak menghadirkan pembanding. Contoh mudahnya misal membahas jumlah ayat dalam Alquran, ada yang menyebut 6236, ada yang bilang 6326, ada yang 6666, biasanya di LKS akan dipilih salah satu pendapat saja, 6666 misal. Nah anak yang tahu pendapat lain biasanya akan protes, “Loh bukannya 6326 ya, Pak?” Itu contoh sederhananya, kadang yang ditanyakan adalah perkara yang lebih rumit lagi.

Tentu saja dibuat sederhana ini karena menimbang kemampuan berpikir anak seusia sekolah dasar. Tapi entah karena pengaruh smartphone atau apa, murid hari ini jadi lebih kritis, materi yang dibuat simpel dan disesuaikan dengan kemampuan berpikir anak seusia mereka justru menjadi senjata makan tuan. Murid-murid justru menanyakan opsi-opsi dari referensi lain yang dipangkas demi membuat simpel materi. 

Dilema di sini adalah pengajar diberi pilihan antara menghadirkan dan menjelaskan referensi lainnya, atau memahamkan murid bahwa memang apa yang mereka pelajari dari buku hari ini hanya satu versi dari ilmu yang sangat beragam. 

Itu dilema yang sifatnya cukup umum, ada juga yang pribadi. Yang terjadi pada saya adalah kenyataan bahwa saya bukan sarjana apa pun tapi kemudian dilibatkan dalam aktivitas mengajar di sekolah tempat saya mengajar hari ini, mungkin karena saya lulusan pesantren dan dikira cukup kompeten untuk mengajar materi diniah. Entah ini kasus yang baru atau sudah biasa di dunia pendidikan Indonesia, atau hanya terjadi di sekolah-sekolah yang petingginya dekat dengan kalangan pesantren saja? 

Ketika saya googling sendiri mengenai apakah lulusan SMA boleh mengajar SD, ada beberapa artikel yang berbeda pendapat, ada yang bilang lulusan SMA boleh mengajar TK, SD, dan SMP, ada yang bilang pengajar SD minimal lulusan Diploma 4 dan harus memenuhi kualifikasi kompetensi pedagogis. Di luar ketentuan formal itu tentu hal ini juga menjadi pertanyaan pribadi, apa dengan mengangkat lulusan SMA menjadi guru akan punya pengaruh buruk tertentu pada wajah sekolah? Apa tidak akan menimbulkan pembicaraan di kalangan wali murid? Dan lain-lain.

Tentu di luar dilema-dilema eksternal itu ada juga dilema internal yang bahkan mungkin lebih njlimet lagi. Misal soal gaji, kalau terlalu kecil akan timbul pertanyaan apakah ideal kalau guru digaji dengan nominal sekian? Kalau minta kenaikan, akan ada pertanyaan soal seberapa layak saya untuk bisa disebut sebagai guru? 

Apa ukuran pasti bagi kelayakan seorang guru? Apakah kalau saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kreatif para murid saya pantas disebut sebagai guru? Tapi kalau saya merasa tidak pantas menjadi guru kemudian mundur dari dunia ajar mengajar, apa sekolah bisa semudah itu mencari SDM pengganti? 

Ini kemudian akan menjadi pertanyaan beruntun yang tidak ada habisnya, pada akhirnya model pendidikan formal di negara kita pun akan kita pertanyakan apakah cukup ideal untuk memfasilitasi kebutuhan belajar anak atau justru membatasi anak dari belajar lebih banyak hal? 

Sebagaimana kata salah seorang bijak yang saya lupa namanya, “Jangan sampai sekolahmu menghalangimu dari aktivitas belajarmu!” Kenyataannya sekolah memang punya batas-batas yang kadang justru menjadi penghambat atas perkembangan murid.

Pada akhirnya semua profesi memang punya tantangannya masing-masing, juga dilemanya masing-masing, hari ini saya menjadi guru dan merasa guru adalah profesi yang dilematik. Esok lusa mungkin saya berganti profesi dan tetap terjebak pada dilema yang sama. Mungkin saya nya saja yang terlalu banyak mikir dan menyebabkan hal-hal yang sebenarnya sepele jadi tampak dilematik. Bisa jadi. 

Anwar Khamdan, guru SD, tinggal di Kutoarjo.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *