Mengenang Buya Syafi’i Maarif

esai

“Buya, mengenangmu adalah mengenang perjuangan jutaan rakyat negeri ini melawan kemiskinan dengan memegang tinggi moral serta integritas.”

Beberapa waktu lalu, ketika mendengar kabar Buya sakit (lagi), dalam hati saya membatin, “Buya sudah sepuh sekali. Tapi tentu Buya akan kembali sehat, bukan? Seperti yang sudah-sudah.”

Kabar sakitnya Buya sudah sering kita dengar. Tapi selalu setelahnya disusul dengan kabar sembuhnya. Lalu, ucapan syukur dan foto Buya yang baru, dengan aktivitas kesehariannya–yang selalu tampak begitu bersahaja–akan muncul lagi menyejukkan beranda.

Buya … kemarin hingga detik ini, saya hanya mengenal Buya dari cerita teman-teman, juga dari tulisan-tulisan Buya sendiri. Rasanya tak ada tokoh yang tulisannya saya baca sebanyak Buya. Saya pikir, seharusnya tak akan ada bedanya. Kemarin, ketika Buya masih ada, atau sekarang setelah Buya pergi. Karena toh sama saja, saya selalu hanya sampai sebatas “membaca” Buya. 

Tapi nyatanya tetap saja, berkali-kali air mata mengalir setiap membaca obituari Buya yang ditulis oleh banyak orang.

Ah, Buya. Sungguh kami-kami yang mendaku pengagummu, muridmu, kawan sepersyarikatanmu, tapi nyatanya terlalu bebal untuk mampu mengikuti laku hidupmu. Berkata terinspirasi, tapi hanya sebatas di bibir saja.

Di mana kami yang selalu memujamu ini berdiri, ketika engkau mengkritik keras pemerintah karena kebijakan-kebijakan yang gagal meng-arus utama-kan rakyat kecil? 

Kapan kami yang selalu berkata mengagumimu ini, sanggup mengikuti laku hidup bersahajamu? Saat pikiran Buya selalu memikirkan tentang ilmu, tentang umat, kepala kami hanya sibuk memikirkan bagaimana mencari uang dan menambah tabungan. 

Di manakah kami, yang selalu bilang betapa menginspirasinya engkau, tapi selalu gagal mempertahankan integritas karena takut jadi miskin dan ketinggalan gegap gempita panggung kehidupan dunia?

Buya, mengenangmu adalah mengenang kepahitan dan kesulitan hidup di waktu muda. Kisah Buya membuat kami sejenak lupa untuk mencemburui kisah sukses muda-mudi jaman sekarang yang gilang gemilang penuh juta dan miliar. 

Mengenangmu Buya, adalah mengenang perjuangan jutaan rakyat negeri ini melawan kemiskinan dengan memegang tinggi moral serta integritas.

Buya adalah monumen perjuangan hidup seorang pecinta ilmu. Ahli ibadah yang sungguh panjang sabar. Lahir di pelosok terpencil Sumatera, bersekolah di sekolah dasar dan menengah yang biasa, terseok-seok kuliah di universitas tak ternama, seperti cerita jutaan kita. 

Masa rumah tangga muda yang tak pernah punya uang cukup sampai harus kehilangan putra karena saking miskinnya. Tapi di tengah semua keadaan sulit itu, Buya tak pernah berhenti belajar dan berpikir, juga mengajar. Komitmen Buya sebagai guru, lalu sebagai dosen pun tak ada tandingannya. Di tengah iklim sekolah, ketika seorang guru atau dosen jadi orang penting, maka keleleran-lah muridnya, Buya yang sudah jadi tokoh nasional, tak pernah terlewat membaca dan memberi masukan tugas/ makalah mahasiswa.

Mengenang Buya adalah mengingat Muhammadiyah. Organisasi yang dicintainya hingga sendi-sendi tubuhnya. Organisasi yang selalu dipikirkan kemajuan dan kebaikannya. Dan ironisnya juga adalah organisasi yang belakangan ini paling banyak melahirkan manusia-manusia bodoh pembencinya. Apalah kami ini yang hanya bermulut besar saja, Buya. Mengaku warga persyarikatan tapi selalu lari ketika persyarikatan membutuhkan.

Buya, setelah kepergianmu entah kemana kami bisa memperoleh teladan zuhud sepertimu. Kemana lagi kami bisa menemukan seorang tokoh nasional, yang tak sedikitpun ingin memanfaatkan namanya untuk sekedar memotong antrian ruang tunggu rumah sakit, atau memperoleh seat VVIP ketika bepergian. 

Pernah miskin tak membuatmu lalu serakah ketika kesempatan terbentang luas. Segala kepahitan hidup tak membuatmu ingin membalas dendam pada kehidupan dengan memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi. Tak hanya dirimu, engkau didik keluargamu kuat menjalani laku hidup sejalan denganmu. Kemana lagi kami harus mencari semua teladan itu.

Ah, Buya. Mungkin kami yang terlalu bebal dan tidak tau diri. Usiamu sudah 86 tahun. Tak terhitung teladan dan ajaran yang sudah kau contohkan untuk kami ikuti. Saat Buya sudah lelah, kami masih saja mengharapmu terus tegak dan hadir menopang kami, menjadi suluh dan penerang bagi kami. Padahal kami yang bebal ini tak segera bertambah pandai karena malas belajar dan menempa diri. Betapa bodoh dan meruginya kami, Buya.

Selamat jalan, Buya Syafii Maarif. Insya Allah lapang jalan Buya. Inna insya Allahu bikum lahiqun

Allahumaghfirlahu …. 

Nia Perdhani, ibu, pedagang, warga persyarikatan yang selalu merindukan Buya.

[red/rien]

One thought on “Mengenang Buya Syafi’i Maarif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *