Mengapa Mengajarkan Konsensual kepada Anak-anak?

Consent

“Dengan mendiskusikan atau mengonfirmasi satu sama lain, membuat masing-masing individu memahami dan menghormati batasan yang mereka buat.”

Meski bayi sendiri, nggak boleh dicium ya? Kalau gemas gimana?

Sebuah komentar masuk menanggapi postingan komunitas saya dalam rangka mengkampanyekan anti kekerasan terhadap anak. 

Saya tergelitik untuk segera menjawabnya dengan menjelaskan dari sisi kenyamanan, pemahaman akan bagian tubuh yang anak miliki serta mengajarkan anak asertif memberlakukan defense mechanism bila merespons perlakuan fisik dari orang lain di luar ayah dan ibu kandung.

Masalah konsensual memang sering menjadi isu yang dipertanyakan ketika bersinggungan dengan kekerasan seksual. Bahkan untuk orang dewasa sekali pun, tak jarang isu ini ramai diperdebatkan. 

“Oh, kalo consent berarti boleh berhubungan seks dengan pacar?” 

Atau, “Dia diem aja. Jadi, saya menyimpulkan dia memberi consent. Jadi, nggak bisa dibilang pemaksaan dong!”

Apa, sih, sebenarnya consent itu? 

Consent atau konsensual adalah persetujuan antara dua orang atau lebih ketika melakukan aktivitas. Pada definisi ini merujuk pada aktivitas yang melibatkan afeksi, termasuk aktivitas seksual.

Dengan mendiskusikan atau mengonfirmasi satu sama lain, membuat masing-masing individu memahami dan menghormati batasan yang mereka buat. 

Lalu, bagaimana konsensual pada anak-anak? Toh, mereka belum cukup umur untuk melakukan aktivitas seksual? Bagaimana orang tua mengajarkannya? 

Salah satu jawaban terbaik adalah dengan menghormati batasan perlakuan fisik kepada anak-anak. Sebaiknya, orang tua tidak terus menerus menggelitik, memeluk, mencium, atau bergelut dengan anak-anak ketika mereka sudah mengatakan tidak mau atau cukup.

Ingatlah, walau anak-anak belum melakukan hal-hal seksual secara aktif, tubuh mereka telah menunjukkan secara alami rasa nyaman ketika bagian tertentu disentuh. Seperti halnya teori psikoseksual yang dikemukakan Sigmund Freud, yang juga mengungkapkan bahwa respons negatif orang tua terhadap reaksi alami anak juga tidak baik untuk tumbuh kembang mereka.

Para ahli psikologi pertumbuhan serta pegiat kesehatan reproduksi yang lain menjelaskan, orang tua perlu mengedukasi anak tentang konsensual dan bagaimana mempraktekkannya sedini usia satu tahun dan terus berlanjut sesuai tumbuh kembang anak tersebut. 

Beberapa langkah berikut bisa menjadi tips untuk mengajarkannya. 

Pertama, untuk anak-anak yang masih sangat belia, beri contoh dari bagaimana kita meminta izin untuk menyentuhnya serta mendorong mereka untuk minta ijin sebelum menunjukkan afeksi secara fisik kepada saudara, teman termasuk orang lain.

“Yuk, kita tanya dulu sama Dek Rosi, boleh nggak dia dipeluk?” Atau …

“Kak Peter, ini adik minta cium. Mau nggak, Kak?” 

Tunjukkan juga reaksi bisa menolak atau menerima, ditolak atau diperbolehkan, meskipun yang memintanya anggota keluarga sekalipun.

Kedua, ajarkan anak-anak untuk menghormati kata TIDAK dan respons menolak yang ditunjukkan seseorang, ketika dia sudah memberhentikan kita untuk tidak menunjukkan afeksi secara fisik. 

Sebaliknya, anak-anak sendiri juga perlu belajar mengatakan TIDAK pada situasi tidak nyaman untuk perlakuan seseorang kepadanya. 

Mereka perlu belajar mengatakan itu dengan tegas dan jelas serta memahami bahwa tidak masalah bila setelah itu tak bisa lagi menjalin interaksi dan pertemanan dengan orang tersebut, sebagai reaksi atas sikap kita sebelumnya.

Ketiga, ajarkan mereka untuk mempercayai perasaan tidak nyaman ketika berinteraksi dengan seseorang atau saat bersama orang lain di tempat dan situasi tertentu.

Jelaskanlah bahwa sebagai manusia, otak kita mampu memberi sinyal bila menemui sebuah situasi tidak menyenangkan, yang secara alami muncul sebagai tanda defense mechanism atau melindungi diri dari bahaya. Gunakan kemampuan mereka itu untuk menghindar dari kejadian buruk. 

Terakhir, seiring bertambahnya usia mereka, obrolan tentang konsensual bisa terus dilanjutkan dan ditambah dengan pemahaman akan tubuh dan kesehatan reproduksi. 

Ajari bahwa meski konsensual berarti meminta izin sampai menunggu persetujuan, tidak berarti mereka boleh sembarang menyentuh orang lain secara seksual sampai orang tersebut berkata tidak. 

Konsensual tidak demikian pemahamannya, bukan tentang menunggu kata tidak atau sikap menolak. 

Mungkin suatu saat anak akan protes karena merasa sudah tahu dan bosan mengobrol tentang konsensual, tetap lanjutkanlah untuk selalu mengingatkan mereka. 

Dengan kebiasaan membicarakan isu konsensual, mereka akan melihat selalu ada peluang untuk mendiskusikannya bersama orang tua, ketika suatu waktu mereka menemui sebuah permasalahan terkait isu yang sama. 

Menutup tulisan ini, saya mengutip Dr. Susi Fitri, M. Si., Kons, seorang narasumber dalam webinar tentang kekerasan seksual pada anak, yang berlatar dosen bimbingan konseling. Ia menemukan banyak mahasiswanya yang berusia dewasa muda memiliki trauma tertentu terkait kekerasan semasa anak-anak:

“Bersamaan dengan anak belajar toilet training, ajarkan mereka untuk berani menolak. Nggak mau ditemani saat mandi, buang air kecil atau buang air besar, ya nggak apa-apa. Jangan maunya anak-anak patuh atau menurut terus sehingga tak bisa berkata tidak. Ya, nggak apa-apa juga jika mereka nggak mau berinteraksi dengan orang tertentu karena merasa nggak nyaman. Jangan karena alasan kesopanan, mereka mau-mau saja lalu kemudian diperlakukan dengan tidak pantas.” [red/bp]

Ivy Sudjana, suka membaca, menulis, dan travelling. Tinggal di Bantul.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *