Memutus Trauma Antargenerasi dalam Keluarga

“Sebagian besar gangguan mental disebabkan karena kesalahan pada pola asuh.”

“Lagi-lagi nggak ada yang beres!”

Teriakan Mama sepulang kerja membuat saya menyesal. Dengan bercucuran air mata, saya berlari mengejar Mama. Di tangannya terangkat sebuah bak berisi cucian yang lupa saya jemur di lantai atas. Mama terus menaiki tangga, tanpa mengindahkan tangisan saya. Dalam hati, saya merutuki diri saya sendiri. Ah, sial! Kenapa saya bikin kesalahan lagi terhadap Mama?

Saya takut. Saya sangat takut kehilangan Mama ketika Mama marah. Saya mengikutinya menaiki tangga ke lantai atas. Saya tarik baju Mama cukup keras. Tubuhnya limbung, hampir saja dia terjatuh dari tangga. “Lepaskan! Kamu mau Mama celaka?” bentak mama sambil menatap saya dengan tatapan penuh bara api.

Kacau. Napas terasa seperti tercekik. Saya menggaruk keras leher saya sampai kulit leher saya memerah. Saya juga menjambak keras-keras sampai helaian demi helaian rambut saya tercabut paksa. Tak sampai di situ, saya mencubiti kedua lengan saya sampai membiru. Anehnya, saya bahkan tidak merasakan nyeri di bagian tubuh yang saya sakiti tadi. Ada apa dengan saya?

Mama, satu-satunya orangtua yang saya miliki, adalah sosok yang sangat saya cintai sekaligus saya benci. Emosi Mama mudah sekali tersulut, bahkan untuk sebuah kesalahan kecil. 

Masih segar dalam ingatan, saat saya masih duduk di bangku kelas 1 SD. Saya mengalami tekanan dari segala sisi secara bersamaan. Di sekolah saya di-bully, disakiti, baik secara verbal maupun fisik oleh teman-teman. Di lingkungan tempat tinggal pun tak jauh berbeda. 

Namun sayang, Mama yang seharusnya menjadi tempat saya kembali setelah “berperang” dengan dunia luar, justru menjadi racun bagi saya. Saya semakin kesakitan, tetapi tak berdaya untuk melawan. Saya membenci diri saya sendiri. Saya tak tahu lagi bagaimana cara melampiaskan rasa sakit yang saya rasakan. Saya menemukan kepuasan ketika sedang menyakiti diri sendiri. 

Sebenarnya, Mama pun kebingungan dan ketakutan dengan keadaan saya. Tetapi pada saat itu, dia tidak tahu harus ke mana mencari pertolongan. 

Sampai pada suatu hari, terjadi sesuatu dengan Mama. Dia menderita insomnia. Berhari-hari, berbulan-bulan. Sudah berkali-kali pergi ke dokter, tapi tak membuahkan hasil. Hingga akhirnya, Mama didiagnosis oleh seorang psikiater sebagai penyintas post-traumatic stress disorder (PTSD).

Dari serangkaian sesi psikoterapi yang Mama lakukan untuk dirinya, dia menyadari bahwa perilaku self-harm yang sering saya lakukan, berasal dari pola asuh yang mama terapkan kepada saya. Mama segera meminta pertolongan kepada psikiater khusus anak dan remaja di rumah sakit yang sama. Dan benar, teka-teki tentang saya terkuak. Saya adalah seorang penyintas bipolar tipe 3.

Dari situ saya menyadari, diagnosis gangguan mental memiliki kaitan yang erat dengan keluarga terdekatnya (dalam hal ini orang tuanya). Karena keluarga merupakan sumber pengetahuan pertama dan utama bagi seorang anak.

Dilansir dari CNN Indonesia, menurut Natalia Widiasih, seorang psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RSCM Jakarta, sebagian besar gangguan mental disebabkan karena kesalahan pada pola asuh. 

Demikian pula halnya dengan yang saya alami. Kerasnya pola asuh dan lingkungan yang tidak bersahabat telah meninggalkan trauma, sehingga memicu gangguan afektif bipolar. 

Namun demikian, saya beruntung mempunyai mama yang aware dengan kesehatan mental, sehingga saat menyadari ada yang salah dengan dirinya, dia segera mencari bantuan profesional.

Psikoterapi membawa perubahan besar kepada kami. Mama tidak lagi menjadi “singa yang terluka”. Emosi Mama pun menjadi lebih stabil. Dia bisa memahami apa yang saya inginkan, sehingga komunikasi di antara kami menjadi semakin cair. 

Dari kondisi itu, saya semakin mengenal dan memaafkan Mama. Saya bisa memahami luka batin yang Mama hadapi. Betapa paparan kekerasan berulang yang dialaminya selama bertahun-tahun; dari orang tuanya, keluarganya, pasangannya, dan lingkungan kerjanya, telah membentuknya menjadi seseorang yang keras tapi rapuh pertahanan jiwanya. 

Saat kami menyadari dan menerima trauma masing-masing, maka keadaan mental kami berdua semakin membaik. Kami menjadi sering menghabiskan waktu bersama, berdiskusi tentang mindfulness, berolahraga, menjalani hobi yang sama, dan menyibukkan diri dengan hal-hal yang membuat kami terus aktif, sehingga tidak membiarkan diri kami dikuasai oleh pikiran-pikiran buruk.

Baik saya maupun Mama, sama-sama mengalami trauma masa kecil. Saya mewarisi trauma masa kecil Mama. Tetapi Mama bertekad untuk memutus rantai intergenerational trauma dalam keluarga kami. Mama mengobati dirinya, sambil memperbaiki perilaku dan memaafkan segala yang menimpanya di masa lalu dari kedua orang tuanya.

Tidak ada kata terlambat untuk mengakui dan memperbaiki kesalahan. Jika trauma adalah racun, maka cinta kasih, pemaafan, dan penerimaan dari keluarga adalah penawarnya.

Kim Yumna Halim. Pelajar SMP, pecinta buku, kucing, dan corat-coret tulisan.

[red/bp]

2 thoughts on “Memutus Trauma Antargenerasi dalam Keluarga

  1. Dear Kim, this is so beautiful and so much needed for everyone.
    I, too, have struggled with my childhood trauma
    and I’m working on myself as a mother of 2 girls to cut this generational trauma.
    so glad that you and your mama got the chance to heal.
    sending love and light

    1. Million thanks, Aunty! Me too, I’m happy that I’m not alone to heal this pain. Sending virtual hug to you and your daughters❤️

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *