Memaklumi Ledakan Emosi saat Menstruasi

Suatu pagi, saya bertengkar dengan istri, disebabkan oleh hal yang sebenarnya menurut saya sepele yaitu masalah keran air. Selanjutnya, hampir seharian itu berbagai persoalan sederhana akhirnya dipermasalahkannya. Mulai dari soal handuk, makanan, baju anak, pemanas air, hingga soal kopi. Dan sasaran kemarahannya, lagi-lagi, tidak lain tidak bukan ya saya ini. 

Setelah marahnya mereda, saya baru tahu bahwa sumber masalahnya tak sesederhana yang saya kira. Rupanya, istri saya sedang menstruasi. Sebuah siklus biologis wanita yang selalu diikuti dengan perubahan psikologis. Sederhananya, pada siklus ini sering muncul ledakan-ledakan emosi.

Setelah mengaku sedang menstruasi, istri saya minta maaf. Saya pun tak kalah menyesali sikap saya yang sempat melayani emosinya dengan emosi pula. Saya semakin menyesal karena gagal menangkap hal esensial biologis yang sedang terjadi pada istri saya.

Masalah menstruasi wanita ini memang bukanlah hal yang sederhana meski ia pada dasarnya merupakan sebuah rutinitas setiap bulannya. Jika hal yang rutin ini gagal diantisipasi dengan baik, bisa meruncing menjadi problem yang sangat serius. Hanya karena masalah sepele, kedua belah pihak malah jadi saling emosi, berlanjut tak bertegur sapa, atau bahkan sampai piring berterbangan dan pecah.

Situasi seperti ini tentu banyak terjadi dalam sebuah keluarga, misal suami dengan istri, ayah dengan anak perempuan yang beranjak remaja, kakak beradik, atau bahkan dalam hubungan yang sebatas perkawanan. 

Kodrat wanita memang menggunakan perasaan. Bukan berarti mereka tidak rasional, tapi faktor emosi dan perasaan wanita cenderung mendahului nalarnya.  Emosi diciptakan sangat lentur, fluktuatif, sulit diterka, dan cenderung mengejutkan. Berbeda dengan nalar yang stabil, tidak berkurang atau bertambah (perubahan fisik pada otak lah yang biasanya membuat nalar berubah, misalnya Alzheimer yang menyebabkan menurunnya kemampuan bernalar). Dan biasanya, emosi ini memuncak pada wanita saat mereka menstruasi. 

Puncak emosi wanita saat menstruasi ini tentu bukanlah hal yang menyenangkan bagi kaum pria. Ketika wanita sedang menstruasi, dia menjadi sangat sensitif. Apapun bisa menyulut emosi dan boleh menjadi sasaran kesalahan. Para pria bahkan perlu menanamkan dalam benak mereka, bahwa saat seorang wanita menstruasi, mereka bisa menyalahkan apapun, bahkan langit, angin, hingga rumput yang bergoyang sekalipun.

Bagi pria, ledakan emosional semacam ini tentu tak masuk akal. Tapi dengan memaklumi kondisi tersebut tadilah yang justru menjadi cara yang paling masuk akal ketika menghadapi wanita yang sedang menstruasi. 

Secara alamiah, pada dasarnya hubungan antar manusia dibangun atas dasar kesamaan frekuensi. Ketidaksamaan frekuensi akan menyebabkan satu sama lain tidak “nyambung” atau bahkan saling menolak. Itu juga yang harus dipahami kaum pria ketika seorang wanita menstruasi. 

Saat menstruasi, frekuensi wanita yang sedang tinggi adalah frekuensi emosi, bukan rasionalitas. Maka untuk menerima frekuensi gelombang tersebut, seorang pria harus menyesuaikan frekuensi emosinya, sehingga bisa memunculkan perasaan penuh empati dan juga pengertian.  Sejatinya, respon-respon seperti itulah yang biasanya dibutuhkan oleh wanita saat emosinya meletup. Agaknya, keluwesan dalam penyesuaian frekuensi inilah yang membuat seorang wanita yang sedang menstruasi merasa lebih mendapatkan respon dan penerimaan yang tepat dari sesama rekan wanita juga, alih-alih dari kaum pria. 

Sebaliknya, karena frekuensi pria adalah cenderung berpusat pada nalar, mereka menjadi lebih sulit mencerna situasi yang dianggap irasional seperti ngambeknya seorang wanita karena alasan-alasan yang gagal dipahami oleh kaum pria. Karena itu, para pria juga layak mendapat pemakluman dari para wanita karena bukan perkara mudah bagi mereka untuk menyesuaikan frekuensi emosional tersebut. 

Pandu Wijaya Saputra. Penulis, tinggal di Cisauk, Kabupaten Tangerang.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *