Mbudeg dan Stoikisme 

“Setiap orang memiliki kendali sepenuhnya terhadap pikiran dan tindakannya”

Sudah setahun ini, saya dan anak-anak tinggal terpisah. Mereka bersama neneknya di Lampung, dan saya tinggal di Palembang untuk bekerja. Beberapa waktu lalu, saya mendapat kesempatan tinggal bersama anak-anak selama seminggu.

Selama sepekan bersama itu, saya mengalami banyak kejadian menarik. Salah satunya, saat anak sulung saya bercerita bahwa ia ditanya-tanyai oleh mahasiswa saya.

Bagi anak yang tidak terlalu mudah bergaul, berada di kerumunan dan diberondong pertanyaan tentu saja tidak menyenangkan. Oleh sebab itu, saya bertanya kepadanya apa yang dilakukannya untuk menghindari rasa tak nyaman. 

Ternyata, anak saya menjawab bahwa dia berpura-pura tidak mendengar. “Mbak sudah terlatih mbudeg, Bunda,” demikian katanya. Mbudeg dalam bahasa Jawa berarti berpura-pura tuli.

Tentu saja saya terkejut mendengar jawaban tersebut. Menurut saya, sikap itu tidak baik. Saya khawatir kebiasaan itu membuatnya jadi acuh, apatis, atau bahkan nirempati di kemudian hari. Tentu saya juga cemas di kemudian hari saat saya menasihatinya, dia bersikap mbudeg

Namun, bagi anak saya, sikap itu adalah sikap yang tepat. Dia memberikan argumen yang cukup kuat. Menurutnya, ada banyak pertanyaan itu yang tidak perlu dijawab. Hal itu karena pertanyaan itu berulang dan telah dijawabnya. Atau pertanyaan yang menurutnya memang tidak perlu dijawab.

Sejak kecil, anak saya yang berambut keriting itu memang sudah kenyang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak harus dijawab. Pertanyaan orang-orang tentang mengapa rambutnya keriting sementara rambut orang tuanya lurus menjadi salah satunya. 

Pertanyaan itu mungkin tampak sepele dan hanya sekadar mencari informasi. Tapi jika ditelusur lebih jauh, pertanyaan itu terasa seperti guyonan yang tidak pas. Alih-alih untuk lucu-lucuan, pertanyaan semacam itu berpotensi menjadi perundungan verbal yang terselubung. Dan tentu saja anak saya menjadi tidak nyaman karena pertanyaan-pertanyaan itu. 

Mulanya, segala sesuatu yang tampak lucu atau ditujukan untuk lucu-lucuan itu terasa seru dan menarik. Lama-lama terasa sarkasnya. Sementara, jujur saja, stok sabar kadang menipis. Dampaknya, reaksi yang muncul kadang merugikan.

Argumentasi anak saya itu terasa berbenturan dengan pikiran-pikiran saya. Saya memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi di masa depan. Tak hanya itu, saya mencemaskan sesuatu yang bahkan belum terjadi. 

Sementara, anak saya menjelaskan pendiriannya itu dengan menghubungkan pengalamannya dan situasi terkini. Artinya, anak saya sedang mencari dan menerapkan solusi terbaik versinya untuk masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan saya? Saya justru menyakiti diri saya dengan menderita sebelum waktunya. 

Pada saat sampai pada pemikiran tersebut, saya akhirnya bisa melihat sikap anak saya dalam perspektif yang berbeda. Anak saya sebenarnya tengah melakukan tindakan mengendalikan dirinya. Pengendalian diri itu membuatnya tidak perlu bereaksi yang tidak perlu.

Dan teringatlah saya pada stoikisme. Stoikisme, atau disebut juga stoa, adalah aliran filsafat kehidupan dari masa Yunani kuno. Stoikisme berkembang pada masa sulit berupa situasi perang, kelaparan, dan berbagai hal buruk lain. Dalam situasi demikian, penderitaan menjadi sangat terasa. Dan tentu saja dibutuhkan cara untuk menanggapi situasi buruk itu.

Stoikisme berfokus pada upaya pengendalian diri. Pada intinya, setiap orang memiliki kendali sepenuhnya terhadap pikiran dan tindakannya, dan tentu saja tujuannya adalah menciptakan kebahagiaan. 

Stoikisme berpendapat bahwa daripada menyalahkan dunia, akan lebih baik jika orang dapat mengubah sudut pandang pemikirannya. Stoikisme juga menarik garis yang tegas pada apa yang bisa dikendalikan dan tidak bisa dikendalikan. Dengan demikian, tindakan yang diambil difokuskan pada hal-hal yang memang bisa dikendalikan itu. 

Pertanyaan berulang yang diajukan mahasiswa saya pada titik tertentu melelahkan buat anak saya. Daripada sibuk membangun citra diri sebagai anak yang ramah, dia memilih untuk diam. Toh, dia sudah menjawab pertanyaan itu. Dan menurutnya, jawabannya sudah sangat jelas dan tidak perlu diulang-ulang. 

Menjawab ataupun tidak, anak saya tetap punya potensi dianggap sebagai orang yang tidak ramah. Jika ia menjawab tanpa senyum, nada ketus, dan diksi yang tidak tepat maka tidak ramah akan tetap disematkan padanya. Dan itu adalah sesuatu yang di luar kendali anak saya. Pandangan dan pemikiran mahasiswa saya pada dirinya tidak bisa diprediksi dan diaturnya. 

Sementara itu, mengambil sikap mbudeg juga diperlukan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan sensitif. Pertanyaan tentang ayahnya, tentang hidupnya yang mendadak berubah, dan banyak hal serupa. 

Pertanyaan-pertanyaan itu tentu membingungkan untuknya. Ia belum benar-benar mampu memahami situasi sulit yang sedang dihadapi. Penjelasan akan sesuatu yang tidak dipahami hanya akan berpotensi menimbulkan pertanyaan baru. Dan tentu saja pertanyaan itu akan membuatnya lebih bingung lagi. 

Dengan mengambil sikap mbudeg, anak saya mencoba mengendalikan pikiran dan reaksinya. Bahkan, mbudeg itu adalah reaksi dirinya pada situasi tidak nyaman yang dihadapinya. Ia tidak perlu mendengarkan pertanyaan itu dan dengan demikian ia tidak perlu menjawabnya. 

Memikirkan hal ini membuat saya menyadari bahwa semesta sedang menegur (melalui anak saya) dengan cara sederhana. Kebahagiaan kecil vang sesungguhnya bisa dirasakan saat ini jadi tidak terasa karena saya sibuk mencemaskan hal-hal yang belum terjadi. Padahal, bisa saja hal-hal tersebut memang tidak akan terjadi. 

Tentu saja, saya tidak berharap dia mbudeg untuk semua hal. Namun, kali ini saya setuju padanya. Toh, pertanyaan-pertanyaan kepo memang tak pernah ada habisnya. Dan sialnya, jawaban atas pertanyaan itu di kemudian hari hanya akan menjadi bahan olok-olok yang menyakitkan. Pertanyaan itu pun hanya berhenti sekadar menjadi sebuah pertanyaan. Ia tidak lalu berubah menjadi sesuatu yang lebih baik dari bersikap mbudeg yang dipilih anak saya.

Katarina Retno, Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia.

[red/bp]

2 thoughts on “Mbudeg dan Stoikisme 

  1. Lho malah hidup tenang mbak kan mereka yang berpikir demikian, kita toh tak bisa mengendalikan pikiran org ke kita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *