Luka Psikologis di Kanjuruhan

“Orang-orang mungkin bisa melupakan kejadian Kanjuruhan, tapi orang-orang yang mengembangkan gangguan stress pasca-trauma merasa terjebak di sana selamanya.”

Apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan pada tanggal 1 Oktober 2022 lalu, sekiranya menimbulkan luka psikologis yang begitu dalam bagi banyak pihak. Korban meninggal dan luka-luka ada ratusan orang, tapi korban luka psikologis bisa mencapai puluhan ribu orang.

Satu orang yang meninggal akan menorehkan luka psikologis bagi sekelompok orang, yang meliputi orang tuanya, saudaranya, gurunya, temannya, dan siapa pun yang berada dalam lingkaran sosialnya. Kalau ada seratusan orang yang meninggal, ya dihitung saja ada berapa ribu orang yang terdampak.

Dari sisi puluhan ribu suporter yang berada di lokasi kejadian, luka psikologis bisa terjadi akibat mengalami kekacauan. Selain karena stress yang tiba-tiba meningkat, siapa sih yang nggak terluka hatinya mendengar tangisan anak-anak dan melihat wajah-wajah ketakutan? Aku membayangkannya seperti horror.

Apakah hanya suporter yang terdampak? O, tentu tidak.

Sudah banyak berita yang mengabarkan bagaimana para pemain Arema yang secara psikologis juga sangat terdampak. Ya piye rumangsamu nek ndelok anak remaja meregang nyawa dalam pelukanmu sendiri? (Hufft, sampai di sini aku perlu menarik nafas dulu karena terguguk sendiri).

Huffft.

Inhale.

Exhale.

Bagi beberapa pemain Arema, jika bukan semua, sepak bola mungkin tak akan pernah sama lagi seperti sebelumnya.

Selain suporter dan para pemain Arema, ada satu kelompok yang potensi luka psikologisnya tidak pernah dibicarakan media (setidaknya aku belum baca sampai sekarang), yaitu pak polisi yang berada di lapangan. 

Di level individu, aku membayangkan potensi luka psikologisnya sangat besar bagi petugas yang bermaksud melakukan pengamanan tapi justru menewaskan ratusan orang. Rasanya, itu seperti kesalahan yang sulit sekali termaafkan (pada level individu ya, aku nggak bicara soal institusi).

Suporter, pemain, dan petugas pengamanan yang berada di lokasi kejadian, they are all victims. Ya kamu semua tau lah victim dari apa. Dan, mahal sekali harga yang harus kita bayar untuk itu. Pemulihan luka psikologis bagi puluhan ribu orang adalah PR yang sangat besar.

Luka psikologis yang dialami oleh sebagian orang mungkin dapat berangsur pulih seiring dengan berjalannya waktu. Namun, bagi sebagian lain yang memiliki kerentanan, luka psikologis itu dapat terus berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma (PTSD/Post Traumatic Stress Disorder). Orang-orang mungkin bisa melupakan kejadian Kanjuruhan, tapi orang-orang yang mengembangkan gangguan stress pasca-trauma merasa terjebak di sana selamanya.

Setelah 6 bulan, mungkin mereka masih dihantui oleh kejadian akhir-akhir ini. Dihantui oleh mimpi buruk dan perasaan terganggu yang menetap akan mempengaruhi kualitas hidup mereka. Mereka bisa melihat hidup dengan cara yang berbeda dan merasa menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Singkatnya, gangguan stress pasca trauma dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam produktivitas kerja, keluarga, dan relasi sosial lainnya.

So, yang tidak nyaman akhirnya bukan hanya individu yang mengalami gangguan, tapi juga orang-orang di sekelilingnya. Karakteristik gangguan psikologis memang begitu, ia tidak hanya mempengaruhi orang yang mengalami, tapi juga mempengaruhi orang-orang yang berinteraksi.

See? 

Tragedi Kanjuruhan itu lebih dari sekadar kerugian materiil dan immateriil di satu waktu, tapi juga berpotensi menimbulkan kerugian berkepanjangan di masa depan, terutama kerugian psikologis yang tak selalu konkrit terlihat.

Tetap ada upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir hal ini, terutama apabila komunitas bisa dibekali dan digerakkan untuk memberikan dukungan psikologis yang tepat. Tekan potensi gangguan stress pasca-trauma dengan pertolongan psikologis pertama (Psychological First Aid/PFA), pantau orang-orang yang mungkin rentan mengalami gangguan stress pasca-trauma, dan bukakan akses bagi mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan mental yang selayaknya.

Banyak kan PR-nya?

Lya Fahmi, Psikolog Klinis.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *