Klithih, Sepemahaman Saya

Klitih

“Geng yang muncul pada era ini, berasal dari geng sekolah, tapi berekspansi dengan merekrut anggota dari luar. Ditengarai, salah satu model inisiasinya adalah menyerang orang tak dikenal. Itu untuk uji keberanian.”

Saya mau cerita sekilas, sependek pengetahuan saya.

Di zaman saya SMA, saya bukan pelaku tawuran. Meski begitu, sedikit banyak saya tahu kegiatan teman-teman yang hobi tawuran. 

Jadi, dulu kala, kalau satu sekolah sama sekolah lain ribut, tawur, kadang ada kegiatan semacam klithih juga. Seingat saya, istilahnya “nithili” (dari kata tithil, mengambil sedikit demi sedikit-Red). Modusnya, satu-dua motor nyegat di jalur dekat SMA lawan, kemudian siswa dari sekolah lawan yang naik sepeda motor sendirian disikat. Rata-rata maksimal dipukuli atau di-kepruk pakai helm, tidak sampai menggunakan senjata tajam. Dan baik pelaku maupun korban jelas statusnya sama: siswa SMA yang bermusuhan.

Itu terjadi jauh setelah masa geng lawas ala Joxzin dan Qzruh, dan istilah klithih waktu itu belum musim. Klithih masih bermakna jalan-jalan santai melihat-lihat suasana. Sightseeing, lah.

Menyusul masa setelahnya, geng-geng kembali bermunculan. Tapi saya tak berani menyebutnya, karena pentolannya sekarang sudah berkuasa dengan baju baru yang lebih elegan, dan lebih berhasil mengkapitalisasi kekuatan baik kekuatan paramiliter maupun kekuatan ekonomi.

Nah, mereka dulu kadang menerapkan cara standar, kadang juga ramai-ramai motoran pada malam hari. Jika berpapasan dengan motor lain yang mbleyer (menggeber gas-Red), si pem-bleyer itu dikejar, lantas digebuki. Karena menghindari bawa senjata tajam, biasanya mereka membawa obeng. Pernah ada kejadian satu motor menyalip mereka, salah injak persneling, jadi seperti mbleyer. Dikejarlah dia, dipukuli, ditusuk obeng. Tewas.

Korban itu anak tunggal. Bapaknya yang ternyata orang kaya, tidak terima. Para pelaku masuk penjara. Tapi justru karena itulah, geng pelaku itu jadi semakin mendapatkan reputasinya.

Saya mengetahui itu karena bersahabat sangat dekat dengan salah satu tangan kanan pentolannya. Tapi sahabat saya itu sekarang sudah almarhum.

Di masa itu, selain modus menghajar siapa pun yang nyalip mereka, apalagi mbleyer-i mereka (baik anak geng maupun bukan), pola klasik bentrok antar anggota geng tetap ada. Jadi identitas jelas pelakunya juga ada: sesama anggota geng.

Dalam generasi yang muncul kemudian, mulai hadir bibit-bibit klithih sebagaimana pemaknaan belakangan. Itu terjadi sekitar tahun 2010. Geng yang muncul pada era ini, berasal dari geng sekolah, tapi berekspansi dengan merekrut anggota dari luar. Ditengarai, salah satu model inisiasinya adalah menyerang orang tak dikenal. Itu untuk uji keberanian.

Waktu itu suasana sudah mulai terasa tidak nyaman, sebab yang diserang mulai acak. Bisa anak muda pecicilan, bisa juga bapak-bapak yang tidak tahu apa-apa. Tapi kejadian seperti demikian, belum cukup masif.

Meski belum banyak terjadi, pelakunya jelas anggota geng tersebut. Di saat yang sama, ketika geng itu bentrok dengan geng lain, yang terjadi ya standar saja, yaitu berkelahi antar-anggota geng. Kedua pihak sama-sama “anak geng”.

Belakangan, klithih yang kita kenal itu, terjadi dalam pola yang jauh lebih kabur dan membingungkan. Tidak jelas gengnya, pelaku cuma bermotor dua orang, yang diserang juga random. Ingat anak UGM yang bagi-bagi menu sahur dan tewas dibacok waktu itu. Juga orang Sleman yang bawa mobil pick-up dan kacanya digebuk besi, dibalas dengan ditabrak dan pelaku penggebukannya tewas. Atau kasus di Godean, ketika sebuah mobil dilempar batu, bapak-bapak di dalam mobil tersebut meninggal, tapi karena (kalau tidak salah) serangan jantung.

Jelas, korban-korbannya bukan anggota geng, bukan anak SMA, bukan pula orang pecicilan yang mbleyer atau nyalip di jalan. Pelakunya juga tidak cukup jelas anggota geng mana, karena tidak pernah terlihat berkumpul dengan komunitas atau geng tertentu.

Inilah yang paling bikin resah. Sebab siapa pun yang jalan-jalan di malam hari punya potensi dibacok. Berbeda sekali dengan modus di zaman-zaman sebelumnya: selama kau bukan anak geng dan tidak nyalip atau mbleyer-i arakan motor, kau pasti aman. Kalau sekarang, rasa aman itu semu. Siapa pun engkau, laki atau perempuan, potensi dibacok itu selalu ada. Dan ini yang sungguh-sungguh membuat orang sulit merasa aman saat cari gudeg malam-malam di Jogja. 

(Makanya, kalau jalan di atas jam 12 malam, meski pake mobil pun saya ngebut. Biar nggak dipepet atau dikepruk. Padahal saya bukan anak geng, maksimal cuma apply jadi anggota Persatuan Garangan Nasional-nya Cak Eko. Hehehe.)

Nah, yang terjadi dalam kasus sabetan gir yang baru saja itu (Minggu, 3 April 2022) bukan klithih dalam makna serangan yang random. Pelaku maupun korban sama-sama dalam rombongan. Bahkan kelompok korban juga sempat mengejar kawanan yang mbleyer-mbleyer. Itu sama sekali bukan random. Meski belum tentu mereka geng, tapi ya lebih mirip street fight pada umumnya.

Dalam kasus tersebut, tidak ada “orang yang tidak tahu apa-apa, tiba-tiba disabet celurit”. Berbeda sekali.

Bahwa klithih yang random itu ada, ya jelas. (Dan saya setuju kalau pelakunya tertangkap, minimal dengkulnya di-bedhil aja. Toh, saya dan keluarga saya juga bisa jadi korban mereka).

Tapi pemetaan modus mesti jelas, semua yang diketahui dan ditanyakan juga mesti jelas, agar penanganannya juga tepat sasaran. Kasus gir jelas berbeda dengan klithih random. Ada potensi geng di situ, dan mestinya digulung gengnya sekalian jika terkonfirmasi peristiwa itu melibatkan geng.

Saya bukannya bilang kasus gir itu tak meresahkan. Keduanya, baik kasus gir dengan klithih random, sama-sama meresahkannya. Cuma kalau ukurannya sekadar perkara meresahkan, tukang parkir yang mendadak muncul di Indomaret juga meresahkan. Tapi mereka bukan klithih, kan? [red/bp]

Iqbal Aji Daryono, penulis tinggal di Bantul.

2 thoughts on “Klithih, Sepemahaman Saya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *