Ki Hajar Dewantara dan Bagaimana Seharusnya Pendidikan Indonesia Dijalankan

Ki Hajar Dewantara juga mengembangkan metode pendidikan “momong” yaitu singkatan dari “among” dan “ngemong”, artinya pendidikan itu bersifat mendidik dan mengasuh.”

Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara menjadi tolok ukur pendidikan di Indonesia. Ia mengaitkan budaya Indonesia dengan pengolahan potensi peserta didik secara integratif. Konsep tersebut lahir sebagai upaya mewujudkan kondisi kehidupan yang bermakna, bernilai, bermartabat, dan bersahaja, karena saat itu Indonesia sedang dijajah oleh bangsa lain. 

Para penjajah tahu persis upaya mencerdaskan bangsa itu sangat berbahaya sebab bisa mengancam stabilitas pemerintahannya kelak. Sehingga jalan terbaik yang ditempuh oleh penjajah yaitu dengan membatasi sarana pendidikan dan kesempatan menimba ilmu bagi masyarakat Indonesia.

Keterbelakangan generasi muda saat itu menjadi titik perjuangan Ki Hajar Dewantara mencari solusi bagaimana mencerdaskan dan memberikan kesadaran kepada  masyarakat Indonesia akan kebutuhan serta hak-hak hidupnya. 

Menurutnya, pendidikan merupakan sarana mengembangkan manusia secara utuh dan penuh. Lahirnya Perguruan Taman Siswa sebagai langkah awal gerakan perjuangan dalam bidang pendidikan.

Seiring perkembangan zaman dan dinamika kehidupan manusia, konsep pendidikan di Indonesia berkembang dan semakin kompleks. Perkembangan serta kompleksitas tersebut seiring dengan pemikiran manusia serta kebutuhan hidup yang semakin beragam ditambah dengan adanya pengaruh teknologi informasi yang semakin cepat.

Indonesia sempat mengadopsi sistem pendidikan barat dengan dasar-dasarnya perintah, hukuman, dan ketertiban yang bersifat paksaan. Menurut Ki Hajar sistem pendidikan seperti ini sama dengan memperkosa kehidupan batin peserta didik. Alih-alih membangun budi pekerti, melainkan memperlemah mentalitas generasi mendatang. Selain itu aspek kognitif lebih ditekankan dibandingkan aspek yang lain sehingga banyak generasi Indonesia yang cerdas tetapi dangkal budi pekertinya. 

Ki Hajar Dewantara berpendapat metode pendidikan yang harus diterapkan di Indonesia mengacu pada sistem pendidikan bangsa timur yang mengedepankan kehalusan rasa, kasih sayang, cinta damai, sopan santun, jujur, dan tertib.

Nilai-nilai tersebut disemai melalui pendidikan keluarga dan pendidikan anak usia dini. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum pada pidato yang disampaikan Ki Hajar pada penganugerahan Honoris Causa oleh Universitas Gajah Mada pada 7 November 1956:

“Pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Dengan maksud agar segala unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya. Dan dapat kita teruskan kepada anak cucu kita yang akan datang.”

Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga mengembangkan metode pendidikan “momong” yaitu singkatan dari “among” dan “ngemong”, artinya pendidikan itu bersifat mendidik dan mengasuh. Praktisi pendidikan dalam konteks ini diminta untuk membangun kesadaran tanpa paksaan dan hukuman.

Guru ditempatkan sebagai pengasuh peserta didik dalam rangka mengembangkan potensi-potensi diri dengan memberikan pemahaman nyata sehingga peserta didik memahami langkah terbaik bagi dirinya sendiri dan lingkungan sosial. 

Metode pendidikan tersebut masih berkaitan pula dengan tiga fatwa Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yaitu pertama, tetep, antep, mantep, artinya pendidikan membentuk ketetapan pikiran dan batin, tidak mudah terombang-ambing dengan segala hal yang bertentangan dengan nilai dan norma.

Kedua, ngandel, kandel, kendel, lan bandel, artinya berpendirian tegak, memiliki prinsip hidup, dan keberanian. Ketiga neng, ning, nung, lan nang, artinya pendidikan itu menciptakan kesenangan perasaan (neng), keheningan (ning), ketenangan (nang), dan renungan (nung). 

Demikian filosofi, landasan, metode, serta konsep pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara yang dapat dijadikan sebagai refleksi wajah pendidikan saat ini. Konsep-konsep tersebut tidak sekadar digaungkan kembali, tetapi dimaknai serta diterapkan secara utuh demi tercapainya hakikat manusia merdeka dan manusia seutuhnya, di era manusia yang tampak utuh jasadnya, namun retak akalnya ini.

Hana Amalia, seorang ibu rumah tangga dengan sejuta mimpi, yang hobinya menulis

[red/pap]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *