Ketika Kejujuran Dipertanyakan

“Apakah kejujuran itu hanya sebatas diajarkan dalam pelajaran agama saja dan tidak ada artinya dalam dunia nyata?”

Beberapa tahun lalu, saya mengajak anak saya pergi ke tempat wisata. Saat hendak membeli karcis masuk, petugas bertanya, “Anaknya umur berapa, Bu? Lima tahun ke bawah cukup bayar setengah harga.” 

“Umur enam tahun, Pak.”

Kalau saya bilang anak saya berusia lima tahun, saya bisa menghemat uang karcis. Namun saya sudah bertekad untuk jujur, terlebih jika menyangkut urusan uang. Selain masalah prinsip, hal ini barangkali ada kaitannya dengan pengalaman puluhan tahun yang lalu.

Dulu sekali, di tahun 1990-an, saya sangat ingin bersekolah di sebuah SMA swasta terkenal. SMA ini termasuk sekolah favorit, yang uang gedung dan uang sekolahnya cukup mahal. 

Pada saat itu, murid dikenakan uang gedung dan uang sekolah yang berbeda-beda. Anak dari keluarga berada dikenakan biaya lebih mahal, sedangkan anak dari keluarga sederhana dikenakan biaya lebih ringan. Tujuannya baik, agar murid dari semua kalangan dapat bersekolah di sana. 

Namun tujuan baik itu terkadang kalah oleh prinsip ekonomi, yaitu melakukan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil sebesar-besarnya. Alhasil, pada saat mendaftar ke SMA favorit tersebut, banyak anak dari keluarga berada yang mengaku kurang mampu.

Pihak sekolah tidak memegang data layaknya petugas pajak masa kini. Jika calon murid datang dengan penampilan sederhana, saat wawancara mengaku miskin, dan aktingnya mumpuni, pihak sekolah niscaya akan mempercayainya dan membebankan biaya yang ringan. 

“Kalau ditanya punya TV atau tidak, jawab saja tidak punya,” nasihat seorang kakak kelas.

“Kalau ditanya pekerjaan orang tua, pilih yang paling sederhana. Misalnya orang tua si A punya toko emas dan usaha reparasi elektronik. Dia menjawab, orang tuanya terima reparasi radio. Alhasil, si A dikenakan biaya murah hingga lulus.”

Pada saat itu saya sangat naif dan termakan pendidikan orang tua dan pelajaran agama di sekolah, yang mengajarkan agar orang berkata jujur. Jadi saya tidak terlalu memperhatikan nasihat kakak-kakak kelas. Lagipula akan aneh jika saya mengaku tidak punya TV, namun tahu banyak tentang kehebatan MacGyver dan Knight Rider, misalnya.

Saat wawancara, saya menjawab semua pertanyaan dengan jujur apa adanya. Saya memang tidak berasal dari keluarga kaya, jadi ya tidak takut disangka kaya. Namun saat membayar, ternyata saya dikenakan biaya tinggi, jauh lebih tinggi dari teman saya yang bapaknya berdagang hasil bumi dan punya gudang besar.

Jelas-jelas teman saya ini perekonomiannya jauh lebih mampu. Lha bapaknya juragan bapak saya, kok.

Kebetulan bapak saya mengenal seorang guru senior yang punya jabatan cukup tinggi di SMA tersebut. Bertanyalah bapak saya padanya.

“Anaknya juragan saya dikenakan biaya rendah, sedangkan anak saya dikenakan biaya tinggi. Kenapa bisa begitu ya?”

Guru senior ini memang punya akses ke hasil wawancara calon murid. Tak lama kemudian dia menghubungi bapak saya. 

“Anak juraganmu itu pintar. Ia mengaku orang tuanya membuka toko pancing kecil-kecilan.”

“Sedangkan anakmu itu bodoh. Ia mengaku orang tuanya membuka toko sepatu dan usaha sampingan membuat jajan pasar. Jadi ya wajar saja kalau dikenakan biaya lebih tinggi. Lha anakmu bodoh.”

Orang tua saya tidak menyalahkan saya. Justru mereka yang selalu mengajarkan saya agar berkata jujur, kok. Biaya juga sudah disiapkan. Hanya saja saya heran setengah mati.

Bagaimana mungkin seorang guru yang notabene profesi terhormat, berasal dari institusi pendidikan beragama, seorang penganut agama yang taat pula, yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran, menyebut bodoh seorang anak yang berkata jujur? Sedangkan anak yang berbohong dibilang pintar? 

Apakah kejujuran itu hanya sebatas diajarkan dalam pelajaran agama saja dan tidak ada artinya dalam dunia nyata? 

Saya memutuskan untuk bersikap sombong sekalian, meski hanya dalam hati. Jengkel rasanya. Saya bayangkan si guru senior itu ada di depan saya, lalu saya bilang begini.

“Saya menjawab jujur karena memang tidak ingin berbohong. Boleh kan, kalau orang memilih untuk jujur? Tidak perlu minta izin Anda juga, sih.”

Lagipula saya tidak perlu berbohong. Buat apa? Ini kan hanya soal uang. Hanya uang. Sedangkan orang tua saya sanggup membayar. Kalau misalnya tidak sanggup, ya kami cari sekolah lain. Saya tidak sudi berbohong demi uang! Kalau Anda mau sebut saya bodoh, silakan. Ora urus!

Usai bermonolog dalam pikiran, saya merasa lega. Pikir punya pikir, ada bagusnya juga pengalaman ini, karena dari situ saya jadi bertekad untuk selalu jujur soal uang.

***

Belasan tahun kemudian, dalam sebuah acara, saya ketemu dengan si guru senior yang saat itu sudah pensiun. Tentu dia sudah lupa pada saya.

Dalam acara itu saya membawakan sebuah lagu. Kebetulan saat itu saya sudah belajar vokal klasik selama tiga tahun, sehingga suara saya agak lumayan. (Sekarang sih sudah tidak bisa karena jarang berlatih, hahaha). 

Usai acara, si guru senior berkata kepada saya, “Kamu nyanyinya bagus sekali! Belajar di mana?”

Saya jawab saja dengan jujur, bahwa saya sudah tiga tahun belajar vokal klasik pada seorang guru yang sangat hebat.

Setengah sebal, saya membatin, “Ya. Orang bodoh juga bisa menyanyi, Pak.”

Santi Kurniasari, dulu pernah ingin jadi penyanyi opera.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *