Kapan Sebaiknya Memutuskan Untuk Menikah?

Menikah

“Kalau masih banyak utang, apalagi utang konsumtif, lebih baik pikir-pikir lagi untuk menikah.”

Keputusan untuk meninggalkan masa lajang menuju jenjang pernikahan bukanlah hal yang mudah bagi kebanyakan orang. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan secara matang sebelum berhadapan dengan Pak Penghulu.

Apalagi menikah tidak hanya menyatukan dua hati yang kasmaran, menikah juga menyatukan dua keluarga besar. Dan bukan tidak mungkin, pernikahan juga akan mempertemukan sirkel pertemanan kedua calon mempelai. 

Bagi sebagian orang, menikah itu mudah. Semudah mendatangi pimpinan pondok pesantren, kemudian sorenya langsung akad, dan malamnya bisa tidur sekamar. Tapi faktanya, perjalanan cinta tidak seperti film Ketika Cinta Bertasbih

Menyatukan kedua insan tidak seperti menyatukan mur dan baut yang sudah pasti cocok sesuai nomor. Tuhan menciptakan manusia lengkap dengan pikiran dan perasaan, yang terkadang kedua unsur tersebut menjadikan manusia membuat ribet urusannya sendiri. Tak terkecuali pernikahan.

Misal, calon mempelai laki-laki ingin resepsi secara sederhana, tetapi calon mempelai perempuan ingin resepsi yang mewah, menyewa gedung, dengan band pengiring Sheila On 7. Dua hal itu saja sudah menjadi potensi konflik yang harus disikapi dengan bijak oleh kedua belah pihak.

Ribet-ribet ini terkadang menjadi bahan overthinking bagi seseorang yang belum menikah, namun kapan sebaiknya Anda memutuskan untuk menikah? Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebelum Anda mengganti status di KTP dari ‘belum menikah’ menjadi ‘kawin’.

#1 Ketika Finansial Sudah Cukup

Nasihat klasik mengatakan “mbojo kui nek wis mapan”. Mapan di sini artinya sangat subyektif bagi setiap orang. Ada yang menganggap kemapanan itu kalau penghasilan sudah dua kali UMR. Tapi setidaknya, ada indikator yang bisa saya gunakan untuk mengategorikan kondisi mapan atau berkecukupan.

Pertama, ketika Anda sudah mampu secara konsisten menabung selama 12 bulan. Menabung adalah bukti bahwa penghasilan Anda cukup untuk hidup. Kalau masih banyak utang, apalagi utang konsumtif, lebih baik pikir-pikir lagi untuk menikah. Kan, nggak asik kalau malamnya habis ”menanam jagung”, besok paginya dapat pesan WhatsApp dari kolektor pinjol.

Kedua, ketika Anda tidak merasa berat untuk menyumbang kondangan. Tradisi menyumbang angpao saat kondangan memang tidak bisa lepas dari budaya kita. Jika Anda merasa, “Duh, kok, kondangannya di akhir bulan,” artinya kesiapan finansial Anda masih perlu perbaikan. Mungkin dengan cara menjadi reseller baju paruh waktu atau jualan Pop Ice di depan rumah.

#2 Ketika Sudah Bisa Masak

Memasak adalah kemampuan dasar manusia, baik laki-laki atau perempuan, keduanya wajib memiliki kemampuan memasak minimal “ngenget” sayur semalam.

Kalaupun benar-benar tidak bisa masak, setidaknya harus mau belajar masak. Kita bisa memanfaatkan Youtube untuk urusan ini. Ingat, tak selamanya kita bisa menggantungkan diri pada GoFood atau jasa ART untuk urusan pemenuhan kebutuhan gizi keluarga. 

Siapa yang tidak bangga, jika kelak sang anak berkata kepada teman-temannya, “Seenak-enaknya masakan koki, masih enak masakan orang tua”.

Memang, menikah itu membangun rumah tangga, bukan rumah makan, tapi dalam berumah tangga juga butuh yang namanya makan. 

#3 Ketika Mampu Menentukan Skala Prioritas

Memutuskan untuk menikah artinya harus meletakkan kepentingan keluarga di atas kepentingan keluyuran ataupun nongkrong. Jika keinginan nongkrong masih lebih besar daripada keinginan berkumpul dengan anak dan istri, pertimbangkan lagi keputusan untuk menikah.

Bagaimanapun juga, menikah adalah komitmen untuk saling peduli dan saling menjaga, tidak hanya mengikat dengan status menikah tapi si suami malah terus asyik nongkrong layaknya bujangan di akhir pekan. Ingat, keluarga juga perlu perhatian.

#4 Ketika Sudah ada Pasangannya

Tiga hal di atas tentu saja boleh anda bantah, tetapi tidak dengan hal yang satu ini. Mau Anda menyandang crazy rich, punya tabungan crypto, atau punya saham di BCA, Anda hanya diperbolehkan menikah kalau sudah ada calon yang bersedia menerima pinangan Anda.

Entah dengan cara pacaran atau ta’aruf, syarat menikah meniko namung kalih: kalih sinten?

Itulah beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila Anda sudah bosan ngeloni guling dan ingin tidur bersanding dengan pasangan halal. [red/bp]

Dhimas Raditya Lustiono, Perawat di ruang Rawat Darurat yang mencoba belajar menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *