Jakarta dan Kerinduan Setelah Gue Jauh Darinya

ghibahin

Sebelumnya, gue mau minta maaf kalau lo pernah mengalami kejadian-kejadihan pahit di Jakarta. Suwer, gue minta maaf. Nggak tau kenapa, gue ikut merasa menyesal dan nggak enak hati membayangkan lo yang punya trauma dengan Jakarta, dan nggak bisa mencintai kota ini seperti gue. 

Membaca judul tulisan ini aja mungkin sudah terasa absurd buat lo. Mencintai Jakarta? Merindukan Jakarta? Nggak salah, nih? Lah, Presiden aja udah memutuskan untuk memindahkan ibukota, kok. Meninggalkan Jakarta dengan segala “drama”-nya.

Sebutlah satu kata yang paling bisa mewakili Jakarta. Sohib gue yang tinggal di Jogja bilang “ruwet”. Karyawan gue yang anak zaman now bilang “up to date“, teman jalan gue di Bukittinggi bilang “macet”, sementara laki gue bilang “padat”. Gimanapun, buat gue sendiri, Jakarta itu “istimewa”. 

Jakarta nggak cuma jadi kota tempat gue melek pertama kali, kota dimana gue mengisi otak gue, atau kota kenangan gue ciuman pertama kali. Nggak cuma itu yang bikin Jakarta nancep di hati gue. Jakarta itu udah membentuk watak gue sebagai “orang Jakarta”.  

Gue minta maaf kalau istilah “orang Jakarta” terasa sengak buat lo. Istilah itu mungkin aja terdengar mengecilkan warga yang tinggal di daerah-daerah luar Jakarta. Sekali lagi gue minta maaf. Gue sendiri sebenarnya udah 10 tahun terakhir ini tinggal di bumi Sumatera, di Bukittinggi tepatnya. Tapi sampai saat ini, gue ngerasa belum bisa (atau belum mau?) ber-“naturalisasi” menjadi orang Bukittinggi. 

Jakarta telah menguatkan mental gue ketika harus bertemu orang-orang brengsek, melatih kesabaran dan emosi hampir di setiap kesempatan, sampai mengajarkan gue bagaimana caranya menikmati patah hati. Jakarta pula yang membentuk nyali gue ketika dicegat kawanan kapak merah sepulang kerja. Alih-alih gemetar ketakutan, refleks gue malah nantangin mereka berantem. Ini kota gue! Ini rumah gue! Kenapa lo ganggu gue di rumah gue sendiri? Berengsek!

Terus, apa lo pikir Jakarta nggak pernah menggores luka selama lebih empat puluh tahun gue bergelut di sini?

Jakarta sering bikin batin gue berdebat ketika gue dipaksa melihat kemiskinan warganya. Gue pernah melihat anak kecil yang meraung-raung kesakitan ketika punggungnya dikerok ibu penjual tisu di pinggir jalan. Entah ibunya atau bukan, dari yang sering gue sering baca memang ada penyewaan bayi atau balita untuk mengemis. Ada juga seorang bapak tua berpenampilan lusuh yang ternyata Pajero-nya parkir nggak jauh dari tempatnya ngemis di lampu merah. Hati gue juga pernah sakit pas ngeliat sekelompok anak punk ngerubutin sebungkus nasi.

Tapi karakter Jakarta yang sudah begitu mendarah daging membuat gue seperti selalu bisa memaafkan segala kebusukannya. Angkot berhenti sembarangan? Jalanan rusak bertahun-tahun? Pengemis dikoordinasi? Warga buang sampah seenaknya? Di Jakarta ada, di Bukittinggi tempat tinggal gue sekarang ini ya banyak juga. Aneh ketika gue justru empet banget ketika nemu kasus yang sama di Bukittinggi, padahal di Jakarta gue jadi terkesan memaklumi.

Apa di Bukittinggi nggak ada macet? Coba lo ke sini di waktu libur, terutama lebaran atau malam tahun baru. Gue rasa jalan kaki adalah opsi terbaik kalau lo perlu keluar rumah. Berkendara di saat-saat itu, terutama ke arah lokasi wisata dan sekitarnya menjadi satu hal yang mengingatkan gue pada Jakarta: macet parah.

Dan gue malah makin merindukan Jakarta saat itu. Padahal lo pasti setuju kalo kejebak macet itu sama-sama bikin sakit jiwa. Tapi ya itu. Mungkin karena macet sudah jadi rutinitas di Jakarta, sudah jadi bagian dari keseharian gue berpuluh-puluh tahun, gue sudah mengakrabi macet.

Gue ingat, di mobil gue dulu nggak cuma ada cemilan atau minum yang selalu ready untuk menghadapi macet. Baju renang, baju aerobik, bola basket, dan raket badminton juga ready jika suatu saat gue kudu melipir ke lapangan olah raga atau pusat kebugaran karena sudah nggak tahan di jalan. 

Perkara macet ini, laman BBC pernah mengulas kalau Jakarta ada di peringkat 29 dari daftar kota paling lambat di dunia bagi pengendara mobil. Data 2022, perlu rata-rata 22 menit 40 detik untuk menempuh jarak 10 km di Jakarta. Ah, nggak bener itu. Menurut gue, tim risetnya BBC belum pernah ngerasain sendiri gimana rasanya jarak 7 kilometer ditempuh lebih dari 2 jam berkendara!

Gue nggak akan ngaku orang Jakarta kalau nggak pernah merasakan itu. Selain kejebak macet sampai eneg mau muntah, cuma di Jakarta gue pernah terguling karena bus udah tancap gas gila-gilaan sementara kaki gue masih setengah turun. Gue pernah juga kegencet di halte busway pas jam pulang kantor, sesak napas kegerahan. Saat itu, nggak perlu rebutan pun sudah auto kedorong calon penumpang di belakang gue sampai masuk ke dalam busway. 

Gimanapun, gue tetap saja merindukan Jakarta. “Tanah tumpah darah,” begitu kata mendiang bokap kalau menggambarkan sebuah kota yang beliau rasa kenal setiap sudutnya, paham karakter warganya, sampai hafal jalan-jalan tikusnya. 

Mungkin juga karena lama menjalani hidup sebagai warga ibukota negara yang terbiasa dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, gue jadi semakin nggak bisa melupakan Jakarta. Beradaptasi dengan daerah di luar Jakarta seperti Bukittinggi mungkin bisa, tapi “karakter anak Jakarta” nggak bisa semudah itu gue kubur.

Koes Plus bilang, “Ke Jakarta aku ‘kan kembali, walaupun apa yang ‘kan terjadi.” Sampai saat ini, gue mengamini lirik legendaris itu. Jakarta seperti magnet yang mengikat gue untuk datang kembali, dan kembali lagi. 

Dan ketika Jakarta berumur 496 di tahun 2023 inj, gue cuma berharap semoga kota ini masih bisa memberikan kesan yang baik di kemudian hari. Nggak hanya bagi gue, tapi juga lo-lo semua yang mungkin pernah “terluka” di Jakarta.

Dessy Liestiyani. Wiraswasta, anak Jakarta.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *