Ilmu Tanpa Amal: Sesuatu yang Sia-Sia

ghibahin

Seorang kakak kelas saya di SMA pernah berkisah berdasarkan pengalamannya bahwa ilmu seseorang akan semakin melekat pada diri orang tersebut apabila ia mengajarkan pada orang lain.

Suatu ketika, seorang teman bercerita kepada saya mengenai sikap kawan barunya di sekolah. Dia mengaku kesal karena sikap sang kawan, sebut saja A yang pelit ilmu. Padahal, dia termasuk cukup pintar di kelas dan sering dipuji oleh banyak guru. 

Menurut pengakuan teman saya ini, A jika ditanyai oleh teman-temannya mengenai latihan soal selalu bersikeras tak mau mengajarkan atau bahkan malah berkata yang kurang sopan. Sikap buruknya ini membuat teman-teman sekelas sering merasa tak nyaman dan tidak menyukainya.

Sikap si A mengingatkan saya terhadap pesan seorang ustaz sewaktu saya di pesantren. Kepada kami, para santrinya, ustaz saya berpesan bahwa sebagai seorang manusia kita harus mendahulukan untuk belajar adab terlebih dahulu sebelum menyelami luas dan dalamnya sebuah ilmu. 

Adab merupakan sesuatu hal pokok yang memang harus sudah tertanam pada seseorang yang berilmu karena sejatinya setelah seseorang memiliki adab dan ilmu, maka harus ada bentuk pengamalan dari ilmu dan adab yang telah dipelajari tersebut. 

Ada sebuah mahfudzot atau nasihat dari peribahasa Arab yang berbunyi “Al-‘Ilmu bila amalin kasysyajari bila tsamarin”. Artinya yaitu ilmu tanpa amal bagaikan pohon yang tak berbuah. 

Mahfudzot ini mengibaratkan ilmu adalah sebuah pohon yang selalu kita nantikan hasil atau buahnya. Akan tetapi, apabila sikap kita tidak mencerminkan seseorang yang berilmu maka buah sebagai hasil dari ilmu itu tak dapat kita rasakan kenikmatannya.

Ada dua makna yang dapat kita ambil dari nasihat tersebut. Pertama, mengenai seseorang yang berilmu, tetapi sikapnya jauh berbanding terbalik dengan ilmu yang dimilikinya. Seseorang yang memiliki sikap seperti ini dianggap sebagai orang yang merugi. Seseorang yang mencari ilmu tentunya mengharapkan hasil yang baik dari sulitnya belajar. 

Tetapi, bagi seseorang yang bersikap tak mencerminkan ilmu yang ia miliki, bukan buah atau hasil yang dipetik, melainkan hinaan atau kebencian yang didapat. Seperti si A yang dikisahkan oleh teman saya tadi, tentunya karena perkataan si A yang kurang sopan membuat banyak teman menjauhi dan tidak menyukainya. 

Makna kedua yaitu mengenai orang yang berilmu, tapi tidak mau mengajarkan ilmu tersebut pada orang lain. Orang seperti ini sering kita sebut sebagai orang yang pelit ilmu. Seseorang yang pelit ilmu, pada umumnya ingin ilmu yang ia dapat hanya untuk dirinya sendiri dan tidak ingin orang lain memahami ilmu tersebut. 

Ia cenderung tak ingin orang lain dapat mempelajari ilmu tersebut melebihi pemahaman yang ia miliki. Seseorang yang bersikap seperti ini, tentunya tak mungkin dapat menuai keberkahan dari sebuah ilmu yang ia dambakan hasilnya. Sikap si A yang juga pelit ilmu dan tidak mau mengajarkan ilmunya kepada teman-temannya tadi, tentu merupakan sikap yang tidak patut ditiru. 

Dari kisah si A tadi, kita dapat melihat bagaimana perbedaan tanggapan teman-teman sekelas si A apabila si A memiliki sikap yang santun, senang mengajarkan ilmunya, atau berkata-kata yang sopan untuk menolak permintaan teman yang memintanya untuk mengajari latihan soal. 

Tentunya, kehidupan si A akan berjalan lebih baik. Ia akan mendapatkan banyak teman di sekolah, semakin disenangi guru, dan tentunya keberkahan dari ilmu yang ia amalkan. Manfaat menebarkan ilmu yang kita miliki kepada orang lain, tentu tidak hanya bermanfaat untuk orang lain saja, melainkan juga untuk diri kita pribadi.

Mengamalkan Ilmu

Seorang kakak kelas saya di SMA pernah berkisah berdasarkan pengalamannya bahwa ilmu seseorang akan semakin melekat pada diri orang tersebut apabila ia mengajarkan pada orang lain. Ilmu yang ia ajarkan tadi bahkan terkadang tak hanya melekat, namun juga bertambah. 

Ia bercerita bahwa semasa sekolah ia sering mengajarkan soal-soal latihan pada teman-temannya yang kurang paham. Ilmu yang ia berikan pada teman-temannya ini tentu dapat menjadi ladang pahala baginya dan ternyata juga dapat semakin melekat di ingatannya. 

Pertanyaan dari rasa penasaran teman-temannya membuat kakak kelas saya ini semakin semangat untuk mempelajari jenis soal-soal yang lain. Dengan begitu, manfaat mengajarkan latihan-latihan soal tadi tak hanya bermanfaat untuk orang lain saja, tetapi juga bagi diri kita sendiri.

Sebagai makhluk sosial yang pasti selalu membutuhkan bantuan orang lain, sudah seharusnya kita saling membagi ilmu dan pengetahuan kita dengan sesama. Menebarkan sedikit ilmu yang kita miliki kepada orang lain, tentu merupakan sebuah langkah kecil yang dapat bernilai besar. 

Sedikit hal yang kita lakukan, bisa saja menjadi sebuah hal berarti untuk orang yang kita ajarkan. Pada hakikatnya, ilmu yang mengandung keberkahan akan dapat menuntun seseorang kepada kebaikan. Ilmu yang bercahaya semoga dapat menuntun langkah kita menuju surga. 

Dzakiyach Aufa Furqony. Mahasiswi Pendidikan Kimia, Universitas Sebelas Maret

[red/yes]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *