Hantu itu Bernama Pertemanan: Sebuah Catatan Remaja Bipolar

“Nad, kira-kira hari ini materi IT tentang apa ya?”

Nadia tidak menggubris saya sama sekali. Jari-jemarinya sibuk bergerak lincah di atas layar ponselnya. Menoleh pun tidak. Tak lama, Ola, teman saya yang lain datang. Dia segera bergabung dan menyapa kami. Kepala Nadia berganti posisi. Dia menunjukkan deretan gigi putihnya sembari berkata, “Hai juga Ola!”

Ola membuka dengan pertanyaan yang persis saya tanyakan tadi. Nadia membalas dengan raut wajah berseri bak peri. Namun, semakin asyik perbincangan mereka, semakin menghilang sosok saya di antara mereka. Sebesar apapun saya berusaha untuk terlibat, Nadia selalu menutup celah untuk saya masuk. Bahasa gampangnya sih, saya dikacangin.

***

Dulu, awal masuk SMA, saya hampir putus asa karena tidak berhasil memiliki satu teman pun di sekolah. Nadia adalah orang pertama yang mau saya ajak berteman. Namun, kali ini, saya dicampakkan tanpa sebab oleh seseorang yang menjadi alasan saya untuk tetap masuk sekolah. Seapes inikah saya dalam hubungan pertemanan? 

Saya ingat, saat kelas IX, setiap pagi di gerbang sekolah, Mama selalu mengucapkan kalimat keramat kepada saya, “Selamat berteman!”

Di depan Mama, saya memaksa diri untuk tersenyum. Meski kalimat itu ditujukan untuk memberi semangat kepada saya, tapi rasanya seperti kutukan. Ada sebuah batu besar di pundak yang membuat berat langkah saya menuju kelas.

Sebagai seorang remaja dengan bipolar, berteman merupakan suatu hal yang menyeramkan buat saya. Jika boleh memilih, saya lebih senang tidak pergi ke sekolah. Sekolah adalah sebuah medan pertempuran, bertemu banyak orang, berbasa-basi, berganti topeng demi sebuah “piala” bernama circle. Saya muak.

Itulah mengapa seringkali saya merasa senang saat menemukan alasan untuk menghindari sekolah. Misalnya, saat izin kontrol psikiatri, acara keluarga, sakit fisik akibat fase depresi saya kambuh, dan alasan cringe lainnya yang bagi orang lain mungkin tidak masuk akal.

Saat jauh dari sekolah, saya bisa kapan pun bermesraan dengan kasur kesayangan. Kasur adalah satu-satunya tempat saya bernaung, sekaligus berlindung dari tumpukan karung berisi beban hidup yang terasa amat berat.

Menyandarkan kepala ke bantal kapuk empuk, sambil memeluk sapi berisi dakron nan gemuk, terpaan angin lembut kipas angin tua dengan derit khas klutuk-klutuk, adalah bentuk kebahagiaan saya yang sesungguhnya. Saya tak perlu muluk-muluk mengeluarkan uang untuk jalan-jalan bareng teman, makan di kafe atau restoran yang lagi ngetren, atau foto-foto di spot selfie Instagram-able. Mbelgedes!

Tapi, justru itulah yang menjadi masalah saya. “Hobi” yang saya lakukan ini malah membuat saya dicap sebagai gadis nolep yang soliter.

Di usia yang mendekati dewasa awal ini, perkara berteman seharusnya adalah hal mudah dan biasa, tapi bagi saya justru sebaliknya. Di usia ini, saya tidak tahu bagaimana caranya mendekati teman sebaya. Kebingungan ini membuat saya takut. Takut canggung, takut kehabisan bahan omongan, dan puncak ketakutan itu adalah takut ditolak.

Saat berada dalam fase takut, insting mamalia saya–mekanisme fight or flight–untuk bertahan hidup muncul dengan sendirinya. Fight, saya “bertarung” dengan ketakutan itu dengan menjadi people pleaser, ingin menyenangkan hati semua orang, yang sayangnya seringkali berakhir tidak menyenangkan dan merugikan diri sendiri.

Kegagalan untuk fight, akhirnya membuat saya memilih untuk flight. Saya menghindar, menjauh, atau malah menghilang. Bagaikan seorang prajurit yang melarikan diri sebelum gelora di medan perang dimulai.

***

Berbeda dengan teman-teman yang lain, perkembangan kemampuan sosialisasi saya terhambat sejak kecil. Menjalani hidup nomaden bersama orang tua tunggal, saya mengalami berbagai paparan kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar. Tak seorang pun menjadi pelindung saya saat itu. Mama pun bergumul dengan ribuan kesulitan, agar perut kami tetap terisi. Saya bisa mengerti, tapi saya sendiri merasa tersakiti.

Setiap kali mencoba berteman, sensasi pertama yang saya rasakan adalah tatapan tajam orang lain. Setajam pedang yang mengarah tepat ke ulu hati, menghujam tanpa memberi kesempatan untuk melawan.

***

“Kepergian” Nadia telah membuat kelebatan cahaya yang sempat memantik kesadaran saya, perlahan berpendar meredup. Saya menjadi semakin was-was. Pikiran-pikiran buruk kembali mencoba menguasai. Sekeras apapun saya mencari tempat persembunyian, sepertinya sudah terlambat. Sudah pertengahan semester, dan memulai pertemanan baru pada sisa 180 hari ke depan terasa sangat tidak masuk akal.

“Ting!”

Sekonyong-konyong, suara denting notifikasi mengusik lamunan. Notifikasi itu datang dari sebuah balon pesan yang berbunyi:

“Bebb, besok gue otw ke Surabaya. Kejutan banget kan? Hehehe, udahin ya galaunya. Gue emang nggak bisa bikin kata mutiara, tapi loe harus inget ini. Gue bakalan selalu ada buat loe. Peluk jauh dari gue pokoknya!”

“Ah, pesan dari Flo ya?” batin saya kosong.

Tunggu. Pesan dari Flo? 

Setitik cahaya memaksa masuk ke dalam kekelaman dalam pikiran saya. Kenapa selama ini saya tidak menyadari keberadaannya?

Flo adalah teman saya semasa SMP yang saya kenal sejak kelas VII. Awalnya, saya hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Kami bertemu melalui sebuah komunitas literasi.

Saya tidak memiliki ekspektasi apapun ketika pertama berkenalan dengan Flo, apalagi kepikiran untuk menjadikannya sebagai teman baik maupun sahabat karib. Hubungan kami sebatas kenalan. Bahkan, selama kelas VII dan VIII, kami sempat lost contact.

Tetapi semua berubah menjelang kelas IX. Kami menjadi sering berkomunikasi, baik itu di dunia nyata maupun maya. Hubungan kami berkembang dengan sendirinya, tanpa kami sadari. Dari seseorang yang sekadar saya kenal, hingga sekarang menjadi sahabat terbaik.

Walaupun kami tinggal berjauhan, berbeda kota, komunikasi di antara kami terjalin dengan sangat baik. Bersamanya, saya bisa menjadi diri sendiri apa adanya, tanpa harus berpura-pura. Mengalir begitu saja.

Hadirnya kembali Flo di tengah keputusasaan saya terhadap pertemanan di SMA seolah membangunkan saya dari mimpi buruk. Saya tersadar, bahwa pertemanan tidak bisa dipaksakan. Semua berlangsung secara alami.

“Lebih baik punya banyak teman atau teman sedikit tapi mentalmu stabil?” tanya psikiater saya pada suatu sesi psikoterapi. Saya galau. Manakah yang harus saya pilih? Di satu sisi, saya ingin dikenal banyak orang. Tapi di sisi lain, dikenal banyak orang belum tentu membuat saya merasa nyaman. 

Setelah berdiskusi dengan Mama, saya menyimpulkan bahwa segala sesuatu tidak akan pernah berjalan lancar jika saya terlalu melekat. Saat keinginan memiliki banyak teman menjadi sebuah keharusan, maka saya terjebak dalam pikiran hitam dan putih saja. Dengan begitu, saya memaksakan diri atas hal-hal di luar kendali, yang tanpa saya sadari, telah menyakiti diri saya sendiri.

Satu Flo buat saya sudah cukup. Tidak lagi harus memaksakan diri untuk diterima oleh semua orang. Selain itu, belum tentu orang-orang yang saya inginkan sebagai teman sesuai dengan kebutuhan mental saya.

Dengan support dari Flo, Mama, dan psikiater saya, saya kembali menemukan jalan terang. Saya mampu melihat kenyataan. Saya boleh berkeinginan, tetapi tanpa memaksakan. Ada sebuah kewajiban yang tak tertulis, namun jelas harus saya ikuti jika ingin terbebas dari tekanan ini, yaitu ikhlas. Melepaskan kemelekatan, membiarkan sesuatu berjalan sesuai kehendak-Nya.

Saya sadar, bahwa perjuangan saya untuk pulih masihlah sangat panjang. Namun, saya yakin, dengan merasa cukup hanya memiliki seorang sahabat, juga hadirnya Mama yang selalu ada buat saya, serta mengikuti setiap petunjuk yang psikiater berikan, saya bisa melihat dunia dengan sudut pandang yang lebih luas. Mungkin itu bukan dunia yang sempurna, tapi setidaknya menjadi stabil adalah karunia sederhana yang menjadi fokus utama dan harus selalu diperjuangkan.

Saya jadi ingat pertanyaan seorang senior di acara LDKS organisasi kesiswaan yang belum lama ini saya ikuti. “Awal kamu masuk, kalau nggak salah kamu pernah bilang sebagai people pleaser. Nah, sekarang kamu memilih untuk membaur bersama teman-teman yang berbeda frekuensi tapi kamu nggak nyaman, atau sendirian tapi kamu senang dan bangga dengan dirimu?”

Mendengar pertanyaan itu, saya sempat terdiam dan merenung. Setelah berbagai peristiwa yang telah dilewati, saya mengulum senyum penuh keyakinan dan menjawab, “Mungkin kalau saya masih saja menjadi people pleaser, saya akan memilih opsi pertama, Kak. Namun, saat ini saya memilih opsi kedua. Saya ingin berdiri dengan kedua kaki sendiri dengan penuh kebanggaan karena sudah bisa sampai di titik ini. Saya berkata kepada diri saya, ‘aku bangga denganmu, diriku’.”

Kim Yumna Halim (Kimmy). Penulis remaja. Pelajar kelas X SMA. Penyintas gangguan bipolar.

[red/bp]

10 thoughts on “Hantu itu Bernama Pertemanan: Sebuah Catatan Remaja Bipolar

    1. Terimakasih banyak, Ibu. Mohon doa semoga saya bisa selalu berkarya dengan segala kekurangan dan kelebihan saya. Amiinn

  1. Bagus sekali .. selalu percaya diri yuma … kami semua teman temanmu sayang sekali ke yuma .. maaf klo kadang duantara kami ada yg cuek , ketus dll yg membuat yuma tdk nyaman ..maaf ya

    1. Hai kim, anak korea
      Bagus sekali tata kalimatnya
      Dan semoga selalu menjadi contoh yang baik ya, cerita yang menginspirasi
      Semoga menjadi motivator idaman ya kim
      Ok , always good attitude yeah!

  2. Sebuah konsep tentang circle itu benar adanya. Kim, selama ini, I didn’t realise it. Prinsip saya sedari dulu, sekolah untuk belajar, mencari teman untuk sebuah koneksi, untuk masa depan. Sesuai pesan ibu saya, “Berteman yang baik dengan orang lain, agar di kemudian hari, mungkin saja ia bisa dimintai pertolongan, contohnya mungkin tentang ekonomi.”

    Hidup di tengah-tengah krisis ekonomi begini, rasanya pelik. Diriku yang lain harus muncul agar ekspetasi orang sesuai, kemudian mereka mau berteman dengan kita. Dan akhirnya, satu hubungan terjalin, satu koneksi terjalin, satu harapan terbentuk. Dunia yang fana ini penuh kebohongan. Begitu caraku bertahan selama ini.

    Kemudian, dengan tidak sadar selama ini, kita yang sudah lama mengenal, bisa dibilang baru mendapat hidayah dari Allah Swt., aku menyadarinya sekarang There was something different about u. Aku nggak harus menaruh diriku yang lain untuk memenuhi ekspetasi manusia seperti yang selama ini aku lakukan. Ketika kita berkomunikasi, rasanya nggak ada paksaan, berjalan begitu saja. Rasa ini kemudian berkembang kepada perasaan nyaman yang tidak tersadari.

    Jika bagimu satu diriku sudah cukup dibanding memiliki banyak teman, maka satu dirimu sudah lebih cukup bagiku untuk jadi diriku, tanpa harus berpikir tentang peliknya dunia. Kim, dunia luar begitu gelap bagi kamu maupun aku.

    Aku adalah manusia yang tidak sempurna. Thank you for consider me as a real friend, teman yang apa adanya. Tidak menuntut ekspetasi yang munuk-munuk. Selama aku masih ada di dunia ini, i will try to be a good friend to u. Kamu adalah teman-sahabat-kawan terbaik yang pernah aku temui. Aku bersyukur bertemu kamu diantara hiruk-piruk manusia di jaman sekarang. Tidak perlu memaksakan untuk hal-hal yang mungkin tidak bisa dilakukan. Untuk eksis di dunia ini, kamu tidak perlu mengenal banyak orang dan menjadi orang yang mereka ekspetasikan. Kamu sangat sangat lebik baik, untuk menjadi dirimu sendiri, agar mentalmu lebih baik. Dunia ini hanya sementara, nothing last forever (expect my love for u). Tetap berbuat baik dan menjalin silaturahmi yang baik dengan orang lain, Kim. Kemudian mungkin, untuk sebagian orang, berdoa kepada Tuhan itu tidak instan. Meski seberat apapun hari esok, tolong jangan lupakan Tuhan. Maafkan diriku jika selama ini aku pernah salah tentang presepsiku terhadap jiwa, juga tentang kamu.

    Beberapa kata bahkan belum cukup untuk membalas tentang apa yang selama ini telah terjadi. Masih ada kata yang terpendam. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, kamu masih punya diriku.

    Tetap hidup, cepat sembuh, dan suatu hari nanti, why don’t we go somewhere only we know? Doaku selalu menyertaimu, Kim.

    -Flo :>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *