Hantu dan Pragmatisme Mereka Menyikapi Pembangunan

Tatkala alam dihancurkan atas nama pembangunan dan negara lebih sering membiarkan, masyarakat beserta sistem kebudayaannya akan selalu punya cara untuk melawan semua itu. Entah dengan berjejaring, membentuk kantong-kantong perlawanan, melayangkan protes, atau mengadvokasi secara legal-formal, walaupun itu semua berakhir dengan kekalahan.

Dengan suatu peristiwa tertentu, alam raya kadang menyampaikan ketidaknyamanan atas ulah-ulah manusia. Peristiwa macam ini kadang disederhanakan manusia dengan penyematan kata “angker”. Kata ini biasanya dilekatkan pada pohon, gunung, hingga pohon tua yang dipercaya dihuni oleh sekelompok hantu.

Tatkala bukit sulit dialihfungsikan atau batuan penghambat pembangunan jalan sulit diledakkan, narasi mistis merebak. Konon, ini indikasi bahwa para hantu penunggu tempat-tempat itu menolak. Fakta ini seakan memberi oase kepada manusia, bahwa Negara boleh saja diam melihat alam hancur namun para hantu tidak akan diam, mungkin begitu katanya. Padahal, misalkan memang ulah para hantu, itu semua tidak terlepas dari kepentingan mereka.

***

Aliansi manusia dan hantu adalah hal lawas dalam kebudayaan manusia. Hantu dan aneka sebutannya muncul dalam kehidupan manusia lewat ranah kepercayaan, tradisi, hingga ekonomi. Pada budaya populer, relasi ini juga mudah ditemukan di berbagai karya, misalnya manusia yang kewalahan menghadapi musuh lalu meminta tolong pada sekelompok hantu. Sebutlah seperti pada The Mummy dan The Lord of The Rings.

Relasi serupa juga mudah ditemukan di halaman sejarah lokal. Pendiri Mataram Islam, Panembahan Senopati, disebut pernah meminta tolong penguasa Laut Kidul agar mengerahkan tentara gaib untuk membantu Mataram memenangkan perang melawan Pajang.

Di Indonesia, terdapat contoh berlimpah tentang prasangka relasi manusia dengan hantu. Makhluk satu ini sering jadi kambing hitam aneka peristiwa. Mulai dari penyebab terjadinya kecelakaan, gangguan jiwa, kekayaan yang datang mendadak, hingga kesurupan massal.

Di beberapa daerah, jamak ditemukan narasi tentang para hantu yang menjaga tempat tertentu, entah bukit, hutan, atau sebuah pohon tua. Keberadaan mereka membuat tempat-tempat tadi agak sulit ditaklukkan manusia, termasuk ketika manusia datang dengan alat berat dan hendak melakukan pembangunan. Kadang, itu diikuti dengan kejadian-kejadian di luar nalar seperti kesurupan atau kematian misterius.

Yang luput dipahami, hantu-hantu menghalangi pembangunan bukan karena mereka kontra pembangunan atau menjadi SJW antikapitalisme. Sama seperti manusia, mereka melakukan penolakan karena bertahan untuk tinggal bersama koloninya. Penolakan tadi bukan berada pada konteks membantu umat manusia melainkan lebih pada alasan pragmatis semata.

Sama seperti aneka masalah lain di dunia, cerita di atas kadang terjadi karena kurangnya komunikasi. Itu semua bisa diselesaikan dengan menjalin komunikasi yang baik antara kedua belah pihak. Sama seperti proses sosialisasi dan mekanisme ganti rugi pada manusia, langkah ini juga efektif diterapkan bagi para hantu. Itulah kenapa, pembangunan kadang juga menggunakan pendekatan mistis agar berjalan lancar. Dengan langkah ini, terbangun komunikasi antara pihak pengembang dengan hantu-hantu penunggu suatu tempat.

Mekanisme paling umum dalam ranah ini adalah dengan cara memindah para hantu. Sederhananya, para hantu dirayu dan dibujuk agar mau pindah ke tempat baru. Supaya lancar, hadiah-hadiah sogokan turut diberikan. Entah dengan penyembelihan hewan atau sesajian tertentu. Kadang, jika yang dihadapi adalah hantu kasta bawah, mereka akan pindah dengan sendirinya tanpa manusia harus repot.

Kenyataan ini membuka fakta bahwa sebenarnya para hantu juga punya bermacam pragmatisme. Mau bagaimanapun, mereka membutuhkan tempat tinggal. Toh, di luar ilmu pengetahuan positif, ada banyak sekali makhluk di dunia ini. Tidak hanya manusia, hewan, dan tumbuhan tetapi juga makhluk-makhluk tak tampak lainnya, termasuk para hantu.

Penolakan para hantu terhadap pembangunan tentu saja tidak sebanding dengan penolakan para manusia dengan segala kompleksitas permasalahan dan analisanya. Mereka sekadar berupaya mempertahankan rumahnya. Menariknya, pragmatisme para hantu tadi ternyata mendapat sambutan hangat oleh kebudayaan manusia. Terlepas dari relasi lawas dalam aneka konteks kebudayaan dan kepercayaan, fenomena ini sangat menarik untuk diulas lebih mendalam.

***

Kepercayaan bahwa hantu turut membantu menolak pembangunan sangat mungkin disebabkan oleh kegamangan umat manusia sendiri. Bayangkan, ketika sekelompok warga desa tidak berkutik tatkala pembangunan meluluhlantakkan desa dan mereka bingung harus meminta tolong pada siapa. Negara absen dalam pendampingan sementara meminta tolong pada LSM kadang tidak sesederhana kelihatannya.

Ketika momen ini terjadi, agaknya, secara alami manusia akan mempercayai anomali apapun yang terjadi, termasuk dari di alam sekitarnya. Manusia lantas merasa mendapatkan dukungan gaib bagi perjuangan atau kecemasan mereka soal pembangunan. Hantu, atau makhluk gaib lokal lainnya, lantas diidentifikasikan sebagai sosok dibalik peristiwa tersebut. Narasi semacam ini bisa tentu saja bisa diterjemahkan beraneka rupa.

Salah satu hal paling menarik adalah bagaimana manusia kehilangan kepercayaan akan adanya perlindungan dari institusi resmi mengenai kegelisahan mereka tentang pembangunan. Sebab, kadang, pembangunan memang tidak dijalankan sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Sementara, masyarakat tidak tahu lagi harus mengadu pada siapa.

Akibatnya, kepercayaan masyarakat kepada para hantu semakin meningkat. Manusia tidak lagi sempat memikirkan berbagai kemungkinan tentang para pengembang yang bisa saja melobi para hantu tadi. Mungkin, masyarakat akan sekadar berharap sebesar-besarnya supaya hantu-hantu tadi tetap eksis dan turut membantu menyuarakan keberatan mereka pada pada pembangunan. Ini mirip dengan bagaimana beberapa orang percaya bahwa Sabdo Palon dan Ratu Adil akan datang demi kehidupan lebih baik. Bukan karena sepenuhnya percaya, namun karena gamang harus berharap pada siapa lagi.

Betapapun, sangat sulit menemukan contoh nyata bagaimana para hantu dan manusia bisa bersama-sama menolak datangnya pembangunan ke sebuah wilayah. Bahkan, wilayah-wilayah di Indonesia yang punya praktik mistisme kental tetap saja tidak bisa berkutik menghadapi datangnya pembangunan yang serampangan. Pada akhirnya, mereka berjuang dengan caranya sendiri dan mungkin saling mengharapkan bantuan dari pihak luar. Manusia mengharap hantu menujukkan kekuatannya, begitupun sebaliknya.

Pragmatisme para hantu ini juga bisa jadi bukan tanpa alasan. Bayangkanlah bahwa ratusan atau ribuan tahun mereka telah kecewa pada umat manusia. Hutan dibabat, bukit digunduli, alam raya diubah sesuka hati sesuai kebutuhan dan akhirnya para hantu tadi kecewa pada tindak tanduk manusia. Ini belum termasuk perkembangan kebudayaan yang kian menempatkan unsur mistisisme dalam ranah seremonial belaka akibat adanya pengaruh kebudayaan dan kepercayaan baru. Bisa jadi, kekecewaan panjang mereka melahirkan pragmatisme hingga mereka enggan membantu manusia.

Pada akhirnya, hantu dan segala keangkerannya bukan lawan seimbang bagi umat manusia dengan segala kecerdasannya. Hantu boleh saja menolak pembangunan karena istana gaib di sebuah pohon angker akan dihancurkan. Namun, manusia akan datang dengan segala goda asalkan kebutuhan mereka terpenuhi. Entah si hantu mau minta kembang, ayam cemani, kepala kerbau, atau tumbal nyawa sekalipun, itu akan mudah saja dipenuhi.

Jangankan keangkeran para hantu, protes alam raya dan ketetapan Tuhan saja masih bisa digoda oleh manusia demi kebutuhan manusia. Akan selalu ada alasan dan penemuan untuk perubahan iklim akibat kerakusan manusia. Bukit, gunung, pantai ciptaan Tuhan saja bisa dinegosiasikan demi kelancaran pembangunan.

Sikap pragmatis hantu dalam menatap pembangunan oleh umat manusia pada akhirnya wajar semata. Mereka sedang berhadapan dengan makhluk paling cerdas di alam semesta dan bisa mencipta segala hal lewat tangan kecilnya. Jemari besar penuh bulu para genderuwo atau kemampuan para siluman bersalin rupa tentu bukan musuh seimbang bagi sepuluh jari manusia, berikut kemampuan makhluk satu ini bersilat kata.

Syaeful Cahyadi, penulis dan pekerja sosial, tinggal di Yogyakarta.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *