Guru yang Tidak Peduli

“Dan ketika mereka tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan, harapannya adalah mereka tidak akan saling menyakiti sesama. Bukankah itu yang kita semua inginkan?”

Empat hari ini, saya libur menjadi jamaah Facebook. Hal ini saya lakukan sebetulnya bukan tanpa alasan. Vadin, anak saya, sempat mengalami rasa tidak percaya diri dan itu mengingatkan saya pada kejadian beberapa waktu silam saat saya masih duduk di bangku TK. Ketika itu, beberapa hal yang saya lakukan ternyata tidak cukup diapresiasi oleh guru. 

Saya pernah dituduh melakukan sesuatu yang buruk (saya lupa apa persisnya). Ada seorang anak perempuan yang menangis dan dia bilang saya melakukan sesuatu yang jahat. Padahal, saat itu saya duduk diam tidak melakukan apa-apa. Saya masih ingat betul kejadiannya sampai detik ini, karena saya merasa tidak baik-baik saja dengan tuduhan itu. Dan sayangnya, tidak ada seorang guru pun yang percaya. 

Saya bahkan masih ingat bagaimana guru TK dulu melempari saya dengan kaos kaki yang– entah milik siapa–tertinggal di kelas. Dan saya tidak tahu perbuatan apa yang telah saya lakukan sehingga ia menganggap saya pantas diperlakukan seperti itu.

Hal-hal itu, sejujurnya, membuat harga diri dan rasa percaya diri saya terasa payah. Mungkin sampai sekarang ini. 

Jadi, ketika saya melihat ada gelagat serupa pada Vadin, hari Rabu lalu sepulang sekolah, rasanya alarm dalam kepala saya berbunyi nyaring. Untungnya, Vadin selalu mau bercerita tentang kesehariannya di sekolah. Ada kejadian apa saja, atau dia main dengan siapa saja di sekolah selama hari itu.

Sejujurnya, sekolah Vadin yang sekarang ini secara umum sudah cukup baik buat kami. Sekolah cuma sampai pukul 11.30, nggak ada LKS, dan buku paket disediakan oleh sekolah. PR-nya juga masih wajar buat saya, bahkan terlampau mudah. Kalau tidak diminta menulis lirik lagu nasional, ya menjawab pertanyaan gampang 1 sampai 5. Buat kami yang nggak terlalu memprioritaskan akademik, kondisi itu sudah pas, nyaman sekali.

Sayangnya, di kelas tiga ini, Vadin memiliki wali kelas bertipe “ya ampun”. Hal ini mulai saya rasakan ketika Vadin bercerita betapa awal pertemuan mereka disambut dengan ancaman. Gurunya bilang kalau nanti pada ramai dan berisik, anak-anak akan ditali di ruang guru.

Me be like: Hah??? 

Lalu dalam grup Whatsapp pun, gurunya tidak komunikatif dalam membersamai kami para wali murid. Awalnya, saya masih berprasangka baik: Oh, mungkin karena belum kenal saja. Oh, mungkin karena gurunya (setelah saya lihat NIP-nya) lahir pada tahun 1964. Jadi bisa dibilang beliau sudah senior, sepuh, sudah mau pensiun. You name it. Jadi komunikasinya kurang bisa cair.

Namun, tentu ada hal yang harus saya sadari, bahwa guru angkatan sepuh ini (meski tidak semua guru sepuh selalu begitu) banyak yang karakter mengajarnya kaku, konservatif, dan galak.

Kadang saya nggak habis pikir, tahun sudah 2022 tapi metode pengajaran sejak saya mulai sekolah di era ’90-an seakan tidak ada bedanya. Beberapa hal saya memang masih bisa memaklumi, tapi ada hal yang rasanya harus mulai diperbaiki jika ingin pendidikan di negeri ini benar-benar menjadi lebih baik.

Sebagai contoh, kejadian hari Rabu kemarin. Vadin ada kelas melukis di hari tersebut. Hari Selasa dia sudah bersemangat karena ada pelajaran yang–meski diampu oleh guru yang sama yaitu wali kelasnya–paling tidak terasa jauh lebih menyenangkan. 

Untuk memfasilitasi semangat Vadin, Selasa malam kami pergi ke toko buku untuk membeli sekotak pensil warna. Vadin memilih sebuah kotak pensil warna yang bergambar Toothless, salah satu tokoh naga dalam film How to Train the Dragon. Itu adalah tokoh naga favoritnya. Ditambah ketika pensil warnanya dibuka, ada pensil berwarna emas, warna yang sedang jadi kesukaannya saat ini. Makin bersemangatlah Vadin tentunya menyambut esok hari.

Hari Rabu sepulang sekolah, dia keluar kelas dengan wajah dongkol, merengut, tidak ceria. Sebagai ibu, tentu saya bertanya, “Ada apa, Din?”

Dia cerita bahwa tadi dia dan teman-temannya diminta menggambar ikan seperti yang ada di dalam buku tema, lalu diberi warna. Vadin menorehkan warna emas, dan warna lainnya. Lalu kata Vadin, guru walinya ini bilang, “Gambaran iwak opo iki!” dengan nada kurang menyenangkan. Tentu, saya tidak melihat atau mendengarnya secara langsung. Tapi dari cara Vadin bercerita, saya bahkan bisa merasakan betapa tidak memiliki rasa menghargai sekali, gurunya ini.

Saya kemudian bertanya lagi, apa yang kemudian Vadin lakukan. Vadin bilang, dia lalu mengganti gambarnya dan mewarnai ikannya dengan warna oranye dan hitam. Nano-nano hati saya saat mendengar ceritanya. Ingin rasanya saya mendatangi gurunya, tapi saya tahu, nantinya situasi malah jadi lebih buruk karena saat itu saya masih diliputi perasaan emosi.

Sayangnya, buku gambar itu sekarang dikumpulkan, ditinggal di sekolah. Jadi, saya tidak bisa memastikan gambar seperti apa yang membuat gurunya bisa bereaksi seperti itu. Saya bertanya kepada Vadin, sambil menepuk-nepuk pundaknya, “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah sudah lebih baik?” 

Saya menambahkan, apakah ada yang saya bisa lakukan untuk membuat perasaannya lebih baik? Vadin hanya menggeleng.

Saya bilang kepada Vadin (setelah mengambil napas banyak-banyak), “Ibu Gurumu itu bisa jadi kurang banyak melihat jenis ikan-ikan di Bumi, Din. Bagi dirinya, mungkin ikan yang cantik dan indah itu seperti yang dia pernah lihat. Nah, persoalannya, kita sama-sama nggak tahu, kan, ikan apa saja yang sudah dia lihat, dan ikan seperti apa yang menurutnya cantik dan bagus. Bisa jadi yang dia lihat ya cuma ikan mas.”

Syukurlah Vadin ngakak mendengar itu. Hati saya menjadi sedikit plong. Saya biarkan seharian itu Vadin menggambar hal yang dia suka. Mau pakai warna emas sebanyak-banyaknya ya boleh. Bebas. Akhirnya dia menggambar Toothless dan teman-temannya.

Piye, ya? Sejujurnya, saya prihatin. Guru yang mengajar seperti wali kelasnya Vadin ini ada berapa banyak yang masih bertahan di sekolah-sekolah? Saya membayangkan betapa bertahun-tahun sebelum angkatan Vadin, murid-murid yang bertemu dengan beliau ini harus mengalami pendidikan yang “mencekam”. Nggak menyenangkan babar blas. Guru SD lho, ini!

Bukankah sekolah dasar itu seharusnya diisi dengan lebih banyak pelajaran-pelajaran yang menyenangkan? Ini yang akan membuat mereka nantinya tumbuh jadi pribadi-pribadi yang menyenangkan, riang, dan merasa aman karena ada seseorang yang bisa dipercaya dan mau menjadi pendengar. Dan ketika mereka tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan, harapannya adalah mereka tidak akan saling menyakiti sesama. Bukankah itu yang kita semua inginkan?

Sejak kejadian itu, Vadin mulai malas berangkat sekolah. Ogah-ogahan dan mulai senang berangkat mepet-mepet jam masuk kelas. Bahkan dia sudah melabeli gurunya dengan sebutan “Ibu yang Tidak Peduli. Vadin mulai sering bertanya pada saya tentang apakah ini bagus, apakah ini akan membuat gurunya marah, apakah ini benar, dan hal-hal yang menurut saya seharusnya tidak perlu dikhawatirkannya. Bukankah merdeka belajar, katanya?

Kurikulum merdeka? Merdeka apanya? Jika gaya mengajar pendidiknya tidak ikut berubah, mau Kurikulum ’99, Kurikulum 2013, atau ganti kurikulum lagi sekalipun, mungkin tidak akan terlalu banyak membawa perbedaan. (Tentu saja, saya perlu mengapresiasi bahwa Kurikulum Merdeka menghasilkan buku-buku dan muatan materi yang lebih baik, lebih eye-catching, dan merangsang minat anak untuk membukanya, utamanya buku pelajaran Bahasa Indonesia.) 

Usut punya usut, rupanya banyak juga para ibu yang mengeluh akan kekakuan Ibu Guru ini, dan juga ketidakramahannya dalam mendampingi anak-anak. Tidak hanya Vadin yang diperlakukan begitu, ada juga anak lain yang mengalami. Kami sebagai orang tua merasa serba salah, karena kami berusaha menghormati posisinya, sekaligus mempertimbangkan bahwa sebentar lagi beliau purna tugas.

Cerita ini bukan bermaksud untuk merendahkan institusi pendidikan tertentu. Saya menyadari apa yang dialami Vadin ini mungkin hanya sebagian kecil dari situasi yang bisa terjadi di dalam ruang-ruang kelas. Sekolahan Vadin baik, hanya mungkin apa yang saya ceritakan ini semoga bisa menjadi perhatian dari para pemerhati, pelaku, dan pegiat pendidikan di manapun, bahwa mungkin di tempat-tempat terpencil yang tidak terlihat, masih banyak perilaku-perilaku pengajaran yang kurang bersahabat. Tidak adakah cara untuk memperbaikinya?

Ini bukan tentang sekolahnya. Mau sekolah negeri, swasta, bisa saja peristiwa seperti ini terjadi, karena semuanya tergantung dari gaya mengajar masing-masing individu pendidik.

Harapan saya, ke depannya semua anak di negeri ini mendapat perlakuan yang lebih hangat dan mendapat ruang yang aman untuk mereka bertumbuh. Sebagai orang dewasa tentu kitalah yang harus mewujudkannya. Tidak perlu berharap terlalu banyak kepada negara. Pun kepada sekolah. Yang bisa kita lakukan sebagai orang tua untuk melindungi anak-anak kita adalah dengan hadir sebagai teman yang tak lelah mendengarkan cerita-cerita dalam keseharian mereka.

Semoga Bu Guru Vadin tadi (dan guru-guru pengajar tingkat dasar lain, di mana pun) yang masih mengajar dengan sikap kurang ramah, bisa menemukan kebaikan dan kelembutan hati.

Walaupun sudah lewat, saya ucapkan Selamat Hari Anak Nasional. Semoga makin banyak anak mendapatkan ruang gembiranya.

Sandra Srengenge. Pembakul buku dan penulis cerita anak. Tinggal di Klaten. 

[red/rien/bp]

2 thoughts on “Guru yang Tidak Peduli

  1. Guru jamanku, lempar penghapus karena ngobrol dibelakang, cubit perut karena baju dikeluarkan, pukul tangan karena telat.

    Ya Alloh dulu kok itu indah ya… 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *