Gemerlap Jakarta dan Kebisingan Toa

Kebisingan Toa

“Gemerlap Jakarta seolah sebuah antitesa dari kebisingan toa. Fenomena arogansi beragama atau justru cerminan kepahitan yang gagal diredamnya.”

Setelah sukses melewati masa pandemi dua tahun dengan aman dan sehat, akhirnya saya terpapar covid juga. 

Akhir Januari sampai pertengahan Februari saya terpaksa isoman di Jakarta. Hal yang tidak enak karena harus isoman saat di luar kota. Meskipun terpapar dengan gejala ringan, energi rasanya hilang, sehingga benar-benar inginnya istirahat, makan banyak, nonton film, dan tidur, berharap proses pemulihan berlangsung lebih cepat. 

Tetapi alangkah berat memperoleh hak beristirahat dengan tenang dan nyaman di kota ini. Suara toa dari masjid, mushala, dan langgar di sekitar tempat tinggal tak henti bersahut-sahutan memekakkan telinga di luar waktu kumandang suara adzan. Dan sialnya kamar tidur saya ada di lantai 3, praktis efek pantulan suaranya saya terima langsung dalam ketinggian tersebut. 

Rumah yang saya tinggali kebetulan memang bersebelahan dengan perkampungan padat di wilayah Jakarta Selatan, salah satu wilayah dengan jumlah masjid atau mushala terbanyak di DKI Jakarta.

Jumlah masjid atau mushola di DKI Jakarta dari data di tahun 2019 sebanyak 10,7 ribu. Adapun persebaran terbanyak di Jakarta Timur (3,3 ribu) dan Jakarta Selatan (2,4 ribu). Bisa dibayangkan jika rata-rata satu masjid/mushala minimal memiliki dua sampai empat toa, artinya ada 21,4 – 32,1 ribu toa mengepung kehidupan kita setiap harinya. 

Perihal penggunaan pengeras suara ini sebenarnya sudah diatur dengan teliti lewat Surat Edaran (SE) dari Kemenag. Antara lain pihak yang menggunakan pengeras suara harus orang yang memiliki suara fasih, merdu, enak, tidak cemplang, dan tidak sumbang atau tidak terlalu kecil. Bukan pada waktu tidur, istirahat, sedang beribadah, atau melakukan upacara. 

Jika melantunkan pengajian, yang waktu yang diperbolehkan adalah 10 menit sebelum dan sesudah waktu Adzan. Tapi pada prakteknya tidak seperti itu. Tidak heran media asing sempat menyoroti masalah ini: Jakarta, ketakwaan atau kebisingan?

Sebagai pemeluk Islam sejak lahir, tentu tidak ada masalah dengan suara adzan dan iqomah, apalagi yang diucapkan dengan suara merdu yang selalu membuat rindu. 

Tapi suara yang keluar dari masjid, mushola, atau langgar sejak 10 tahun terakhir tidak hanya itu. Dimulai dari jam 3 dini hari, muter kaset pengajian keras-keras, teriakan membangunkan sahur, jeda dengan adzan yang indah dilanjutkan dengan ceramah yang seringnya sambil ngotot teriak-teriak. Dan semua ini baru usai menjelang jam 6 pagi.

Pada siang dan sore hari pada hari kerja, praktis suara adzan dan iqomah saja yang terdengar. Sesekali saja diselingi ceramah. Keriuhan biasanya dimulai dari semalam waktu isya, dan baru hening menjelang jam 10 malam. Weekend, tanggal merah, apalagi hari-hari besar agama Islam, jangan ditanya. Mungkin keheningan hanya bisa didapat beberapa jam saja menjelang larut malam tiba. 

Bahkan, tanpa mempedulikan kepentingan bersama, ada kalanya suara-suara ini berlanjut hingga selesai jam 00.30. Sangat keterlaluan, jika dipikir dalam sudut pandang orang yang mencoba beristirahat. 

Saya mengamati, pola ini berlaku terus menerusmenerus. Seolah semua orang berebut untuk beradu keras didepan pengeras suara. Menyuarakan apa? keimanan, ketakwaan, atau arogansi keberagamaan? Tuhan, toh, tidak tuli. Itu jika kita berbicara yang terkait Tuhan. 

Jika bicara terkait dengan manusia, ada hak orang tua, orang sakit, dan bayi untuk mendapatkan istirahat dan ketenangan. Dan hak-hak ini mestinya juga dihormati.

Apakah ini ghirah syiar Islam ataukah hanya salah satu cara menghegemoni, kemudian mempersekusi jika ada yang tidak sepaham dengan tuduhan penistaan agama? Kita sama-sama tahu, yang menjadi masalah utama bukan kerasnya suara adzan, tetapi penyalahgunaan pemakaian toa atau pengeras suara untuk hal-hal di luar kumandang adzan.

Saya yang beragama Islam saja sering merasa terganggu, entah bagaimana saudara-saudara sebangsa yang beragama lain, yang tidak mengerti arti dari hal-hal yang disuarakan lewat toa atau pengeras suara tersebut.

Sudah saatnya pemangku kebijakan berlaku tegas tentang ambang batas kebisingan untuk seluruh tempat ibadah khususnya masjid dan mushala. Polemik tentang toa memang seakan tak ada habisnya, tetapi pemerintah agaknya kurang serius dalam memberi perhatian. Terbukti, penyalahgunaannya masih terus terjadi. Padahal, Arab Saudi yang notabene negara tempat agama Islam bermula, telah membatasi penggunaannya. 

Toa mulai digunakan di Jakarta sejak tahun 60-an, saya bisa memahami jika kemudian alat ini menjadi pilihan favorit pengeras suara di langgar, surau atau masjid-masjid, karena relatif murah dan mudah penggunaannya. 

Di jaman teknologi belum secanggih sekarang, pemakaian toa memang rasional, supaya daya jangkau dakwah yang disampaikan atau panggilan kumandang adzan bisa terdengar sampai jauh.

Tetapi jika 62 tahun telah berlalu dengan kemajuan teknologi yang luar biasa, banyak aplikasi—seperti Muslim Pro, misalnya—yang isinya lengkap, mengumandangkan adzan dengan berbagai pilihan style, pengajian dan ceramah. Juga tersedia berbagai pilihan media, mulai dari podcast, streaming video, dan lain sebagainya. Sudah saatnya penggunaan toa direduksi dan diatur pada tempatnya dengan bijaksana.

Alangkah elok jika lompatan teknologi berjalan linier dengan lompatan penalaran umat. Bahwa agama, keimanan, ketakwaan, dan religiusitas bukan melulu urusan vertikal. Ada juga dimensi horisontal dan kemanusiaan, yang justru sering terabaikan. Kebaikan dalam hubungan horisontal mestinya ditekankan dalam pemahaman agama, karena kesadaran moral bersifat inheren.

Salah satu teks, “Sampaikan dariku meski satu ayat,” dikoleksi oleh Bukhari Muslim—yang menjadi latar belakang favorit penyalahgunaan toa—tidak bisa dipahami secara mentahan sebagai kewajiban bagi setiap orang untuk ber-tabligh dan menyampaikan ajaran Islam, tanpa didasarkan pada konsepsi komprehensifnya. 

Fenomena pemahaman agama dalam masyarakat menjadi dangkal, berfokus pada hal-hal yang bersifat simbolis. Saya menduga, jangan-jangan suara toa dan penyalahgunaan pemakaiannya sejatinya merupakan gambaran atas perjuangan kualitas iman mereka yang tertekan oleh nasib dan kerasnya kehidupan Jakarta.

Demi menjaga keimanan dan ketakwaan, katanya. Ataukah ini hanya penjagaan semu, sehingga menjadikannya mudah terpantik isu remeh, dan kemudian bersembunyi di balik pembelaan atas keimanan saat diminta pertanggungjawaban? 

Akhirnya agama di kota ini tak lagi jadi solusi. Kearifan dan toleransi yang harusnya menjadi cerminan dari sebuah keimanan, seringkali malah tak terlihat. Agama hanya menjadi pelarian. Bisa jadi, gemerlap Jakarta adalah kilauan yang menyakitkan di mata banyak orang yang hanya bisa menyaksikan dari kaca benderang. 

Kalau sudah begini, saya jadi ingin pulang, rindu Bali dengan kesunyiannya yang magis. [red/bp]

Georgie T Kadarusman, interior designer penyuka kopi tubruk.

3 thoughts on “Gemerlap Jakarta dan Kebisingan Toa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *