Enola Holmes 2: Film Detektif yang Sarat Isu Feminisme

“Apakah di film ini Enola akhirnya menemukan teman? Atau bahkan kekasih?”

Enola Holmes 2 buat saya jauh lebih menggigit dan seru daripada film pertamanya. Enola Holmes 2 yang tayang perdana 4 November 2022 di Netflix ini masih setia mengusung isu feminisme. Jika di film pertama sosok perempuan mandiri, kuat, dan pemberani hadir dalam sosok Enola dan ibunya, di sekuel ini Enola melibatkan lebih banyak tokoh perempuan dan lebih kental dengan isu-isu sosial.

Enola yang punya bakat detektif tak kalah dari kakaknya diceritakan mencoba membuka kantor detektif swastanya sendiri. Namun, usahanya tak berjalan lancar karena orang-orang tak percaya dengan kemampuannya. Para calon pelanggan batal menyewanya karena menganggapnya masih terlalu muda dan ditambah lagi, ia hanya seorang perempuan. Saat ia memulai investigasinya, ia bahkan sempat dicibir sebagai “gadis anggun yang tak akan bisa bertarung” dan “kelihatan akan tertiup angin”.

Ketika akhirnya Enola mendapatkan kasus, kasus itu datang dari seorang gadis kecil bernama Bessie, yang meminta Enola menemukan kakaknya, Sarah. Bessie dan Sarah adalah gadis korek api, sebutan untuk gadis-gadis yang bekerja di pabrik korek api. Mereka tinggal di lingkungan kumuh dan sempit yang memprihatinkan.

Awalnya Enola mengira Sarah menghilang karena hubungan asmara dengan kekasihnya, tapi di luar dugaan kasus ini berkembang semakin jauh dan bahkan berhubungan erat dengan kasus rumit yang pada saat yang sama sedang ditangani Sherlock Holmes dan belum terpecahkan. Karena kasus ini, Enola bahkan sempat ditahan dengan tuduhan pembunuhan. 

Tak hanya menyuguhkan aksi seru seperti umumnya film detektif dan otak-atik anagram seperti ciri khas film-film Holmes, Enola Holmes 2 menyelipkan banyak pesan tentang perempuan yang mencoba berdaya lewat tokoh-tokohnya–baik tersirat maupun tersurat–setidaknya ada 3 tokoh utama yang mengusung isu feminisme dalam film ini. 

Pertama, tentu Eudoria Holmes, ibu Enola yang di film pertama diceritakan menghilang secara misterius. Eudoria adalah figur ibu yang unik dan nyentrik. Latar belakang film adalah di era Victoria, sekitar akhir abad 19. Saat itu, gadis-gadis Inggris dari kalangan menengah atas biasanya disekolahkan khusus untuk membentuk karakter sebagai perempuan Inggris terhormat, namun Eudoria mendidik Enola secara mandiri, mengajarinya seni lukis, sains, bela diri jujitsu, penguasaan senjata seperti panah dan anggar, hingga mengajari catur untuk mengasah otak. 

Hasilnya, Enola remaja tumbuh menjadi perempuan kuat dan cerdas. Eudoria kemudian diketahui menghilang karena memperjuangkan hak suara bagi perempuan. Di sekuel ini, Eudoria juga masih tampak konsisten memperjuangkan hak kaum perempuan. 

Kedua, tentu saja tokoh utama, Enola Holmes. Sejak film pertama sudah terlihat dengan jelas bahwa Enola adalah gadis berjiwa pemberontak, tentu saja dalam konotasi positif. Di sekuel ini, Enola semakin menegaskan karakter dan keinginan kuatnya untuk menggapai cita-citanya menjadi detektif ternama, tak kalah dari kakaknya, Sherlock. Upayanya membuka kantor detektif sendiri tentu patut diacungi jempol. 

Enola bisa saja meminta bantuan Sherlock dan Mycroft, namun Enola yang mandiri tak berniat melakukannya. Enola juga tak gentar melakukan investigasi berbahaya sendirian meski Sherlock sudah mewanti-wantinya. 

Sebagai remaja perempuan, Enola juga tak lepas dari percintaan. Ibunya, yang sama independennya dengan Enola di luar dugaan menyarankan kepada Enola untuk mencari “teman seperjuangan”. Apakah di film ini Enola akhirnya menemukan teman? Atau bahkan kekasih? Tidak seru kalau diceritakan di sini.

Ketiga, tokoh Sarah. Gadis korek api yang menjadi target pencarian Enola. Sarah ternyata bukan gadis biasa, meski ia hanya buruh pabrik korek api, Sarah ternyata menyimpan keresahan tentang kondisi sekitarnya. 

Ia diam-diam melakukan investigasi bersama sahabat dan kekasihnya untuk membongkar kebusukan pabrik korek api tempat ia bekerja. Bersama para gadis korek api lainnya, buruh-buruh pabrik korek api yang semuanya perempuan, Sarah memulai gerakan melawan penindasan terhadap buruh perempuan dan menuntut upah yang lebih layak. Sesuatu yang pada masa monarki menjadi hal yang kurang lazim.

Selain tiga tokoh tadi, sebenarnya ada satu lagi tokoh perempuan yang menjadi gong dari film ini, tokoh utama kejahatan yang selama saya membaca novel dan menonton film Sherlock, saya anggap sebagai tokoh laki-laki. Entah apakah tokoh ini adalah orang yang sama dengan tokoh musuh utama Sherlock Holmes selama ini? Kita tunggu saja kemunculannya di sekuel Enola selanjutnya yang semoga ada. 

Yang jelas sebagai film detektif, Enola cukup menghibur dengan ending yang tidak mudah ditebak dan yang lebih penting lagi, karakter-karakter di dalamnya yang mayoritas perempuan mampu menyuguhkan karakter perempuan yang mandiri, kuat, dan pemberani, seperti yang pernah diucapkan Enola, “Hidupku adalah milikku, dan masa depan kita terserah kita.”

Fatma Ariana, seorang ibu yang senang bercerita lewat tulisan.

[red/nat]

2 thoughts on “Enola Holmes 2: Film Detektif yang Sarat Isu Feminisme

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *