Di Balik Tiga Kata Sakti “Tidak Apa-Apa”

“Semua ada masa-masanya. Sadari saja kesedihan itu, lalu lepaskan.”

Seorang sahabat baik saya sedang bersedih belakangan ini. Ada satu hal kecil yang sangat mengganggu pikirannya. Hal kecil yang sebenarnya tidak penting, dan tidak berpengaruh secara langsung dalam kehidupannya, tapi toh pada kenyataannya sangat mengganggu. Lama-kelamaan, ia justru merasa sebal kepada dirinya sendiri lantaran tidak kunjung mampu mengatasi kegalauan itu.

Seorang sahabat yang lain juga sedang mengalami masa-masa berat. Ia rutin pergi ke dokter untuk memeriksakan diri dan minum obat. Terkadang ia sedikit berkeluh kesah kepada dokternya, dan dokternya memaklumi. 

“Tidak apa-apa jika kamu merasa tidak baik. Itu wajar. Di mana-mana, manusia memang seperti itu, ada titik lemahnya. Tetap semangat, ya.” Perkataan sang dokter inilah yang disampaikan olehnya saat mendengarkan cerita sahabat yang saya sebutkan di awal tadi.

“Tidak apa-apa. Semua ada masa-masanya. Sadari saja kesedihan itu, lalu lepaskan. Kalau sekarang kamu masih belum bisa mengatasinya, tidak apa-apa, memang butuh waktu. Tidak usah dipaksakan.” 

Tidak Apa-Apa

Tiga kata sederhana yang jika diucapkan pada saat yang tepat, efeknya bisa menenangkan dan membantu orang lain agar dapat berpikir dengan lebih jernih. 

Tiga kata sederhana ini juga pernah saya rasakan sekitar 20 tahun lalu. Adik perempuan saya, yang saat itu masih kuliah, pernah mengalami musibah kecil yang cukup menyedihkan. Usai libur semesteran selama satu bulan di kampung halaman, adik saya balik ke kosnya di Jakarta dengan menumpang mobil travel. Biasanya, ia menumpang travel dalam bentuk bus, tetapi saat itu ia kehabisan tiket. Barang bawaannya antara lain sebuah koper, sebuah kardus, dan sebuah tas selempang kecil yang selalu melekat di badannya. 

Tiba di Jakarta pagi buta, sopir mengantarkan penumpang ke alamat tujuan, satu demi satu. Adik saya kebetulan diantar paling akhir. Saat tiba di tempat kosnya, barang yang tersisa di bagasi mobil hanyalah sebuah koper miliknya. Kardusnya raib.

Adik saya ternganga. Sopir travel tidak bisa membantu apa-apa. Ia tidak memperhatikan penumpang mana yang tadi membawa turun kardus tersebut. 

Ketika adik saya mengabarkan bahwa kardus itu hilang, ibu saya merasa sedih bercampur kecewa, lantas menelepon saya. 

“Adikmu, tuh, kardusnya dibawa turun sama siapa, ndak tahu. Padahal selama liburan kemarin, ibu sering ajak dia belanja, beli macam-macam baju baru. Celana jins dua, T-shirt beberapa, ada Dagadu, ada Poshboy, belum jaket, baju senam, baju renang, dan lain-lain! Semua ada di dalam kardus! Hilang begitu saja!”

Ditelepon pagi-pagi di hari libur setelah malam sebelumnya bergadang, nyawa saya belum terkumpul sepenuhnya. Mendengar cerita ibu saya, sontak saya merasa jengkel. Adik saya itu kok ya cuek banget. Mestinya, setiap kali ada penumpang turun, ia ikut melihat barang-barang apa saja yang diturunkan, dong. Bukannya terus tidur dan tidak peduli. 

Saya langsung menuju ke telepon umum koin yang tersedia di tempat kos, dan menelepon adik saya. Pikir-pikir, dia harus diomeli supaya lain kali lebih berhati-hati. Baju-baju itu kan cukup mahal, dan dibeli dengan uang hasil jerih payah orang tua.

“Halo,” ujar adik saya dari seberang sana. Begitu pelan dan lirih, nyaris tak terdengar.

Sontak nyawa saya terkumpul sepenuhnya. Saya menyadari bahwa suara adik saya lirih bukan karena dia belum sarapan (adik saya tidak pernah melewatkan waktu makan), melainkan karena sedih dan barangkali trauma. Kehilangan sesuatu karena dicuri itu bisa bikin trauma, lho.

Dalam hal ini, sebetulnya yang paling nelangsa tentu adik saya. Ia pasti merasa bersalah karena baju-baju baru yang dibeli dari hasil jerih payah orang tua lenyap begitu saja. Padahal bukan salahnya, melainkan salah orang yang mengambil kardus tersebut. Rasa nelangsa rupanya bisa merambat lewat kabel telepon. Kejengkelan saya langsung sirna. 

“Sudah makan?” Saya bertanya. 

“Sudah.” 

“Baguslah kalau sudah makan, soalnya kan habis menempuh perjalanan jauh. Yang penting sehat. Jangan sampai masuk angin. Kamu ndak papa, tho?” 

“Iya, ndak papa kok.”

“Kopermu yang isi makanan aman, kan? Ya sudah, yang penting stok cemilan dan abon utuh. Sana, istirahat dulu. Besok kan kuliah.”

Hening.

“Soal kardus yang hilang, ya mau gimana lagi. Tidak apa-apa. Berarti memang bukan jodohmu. Tidak usah dipikirkan. Begini saja, nanti sore kalau pergi beribadah, doakan kakakmu ini menang judi togel, biar kita bisa belanja lagi. Doanya harus yang keras biar kedengeran.”

“Huuu …” dari ujung sana adik saya meng-huuu sembari tertawa kecil.

Sungguh mati saya tidak pernah judi togel. Sepertinya lucu, jadi saya sebut saja. Tujuannya supaya adik saya bisa tertawa. Pikir punya pikir, itu yang paling penting, kan. Peduli setan dengan baju-baju baru itu. Toh, adik saya punya banyak baju lama yang masih sangat layak dan nyaman dipakai, stok makanannya melimpah, ia bisa kuliah menyongsong masa depan cerah, dan tetap bahagia.

Telepon ditutup. Untung tadi saya tidak jadi ngomel-ngomel ke adik. Untung saya tidak menyalahkannya. Untung saya memilih untuk mengucapkan tiga kata sakti itu, “Tidak apa-apa.” Dari situlah, kebahagiaan bermula. Semoga.

Santi Kurniasari, orang yang tidak apa-apa.

[red/rien/bp]

2 thoughts on “Di Balik Tiga Kata Sakti “Tidak Apa-Apa”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *